Menakar Kinerja 3 Tahun PBNU: dari Kaderisasi sampai Konsolidasi yang Absurd

Jelang akhir tahun kemarin, 2024, KH. Yahya Cholil Staquf menulis renungan lumayan panjang yang dimuat website NU Online. Renungan itu pun beberapa kali muncul di grup-grup WA. Lamat-lamat saya membacanya, renungan tersebut berjudul “Konsolidasi, Sebuah Keharusan bagi NU.”

Hari ini, Rabu, tepat 1 Januari 2025, saya akan berusaha merespon renungan tersebut dengan beberapa kritik dan catatan yang telah saya himpun sebelumnya.

Tulisan yang dianggap renungan itu, masih sangat formal dan normatif, tidak menyentuh pada subtansi. Bukan sekadar konsep konsolidasinya yang absurd, melainkan juga konsep kaderisasinya. Apalagi dalam 3 tahun kepemimpinannya menahkodai PBNU, hampir tidak ada kebijakan dan program dari PBNU yang patut dibanggakan.

Pidato awal pasca dikukuhkan sebagai Ketua Umum PBNU, soal program-program pemberdayaan ekonomi akar rumput memang sebatas “omon-omon.” PBNU telah mengalami disorientasi sedemikian fatal. Seperti perahu yang tidak bernahkoda, hendak berlayar ke mana, kemudi perahunya tidak jelas arah dan tujuan.

Terlebih sejak awal suksesi Gus Yahya dalam memenangkan kursi Ketua Umum PBNU dipenuhi sejumlah anomali. Sedikitnya ada 14 poin yang telah berhasil saya himpun bagaimana PBNU era Gus Yahya seperti katak dalam tempurung. Diawali sistem suksesi yang penuh intrik dan negosiasi tidak fair, sebagaimana telah dijelaskan Prof. Dr. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir).

Berikutnya, inkonsistensi PBNU dalam struktur kepengurusan yang banyak melibatkan pejabat dan politisi parpol aktif, pengurus besarnya juga ada yang terjerat KPK, dan program-program pemberdayaan ekonomi yang masih sebatas omon-omon.

Penunjukkan Erick Thohir menjadi Ketua Lakpesdam juga terbukti tidak efektif, kasus-kasus intervensi PBNU terhadap sejumlah PW dan PC, terlebih pemecatan KH. Marzuqi Mustamar sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, ketidakjelasan proyek GMKNU, dukungan PBNU terhadap IKN tanpa reserve, terlibat aktif dalam mendukung Paslon Prabowo-Gibran saat Pilpres, ormas keagamaan paling gercep menerima konsensi tambang, kebijakan PBNU yang justru memberi sanksi 5 orang kader NU yang berangkat ke Israel, menggangu PKB, membiarkan Gus Ipul merangkap jabatan Walikota Pasuruan dengan Sekjen PBNU dan kini mendapat jatah Menteri Sosial.

Konsep konsolidasi PBNU era Gus Yahya mirip dengan gaya kepemimpinan sentralistik dan otoriter. Kepemimpinan yang justru tidak desentralistik, tidak partisipatif dan tidak kolektif. Bagaimana mungkin konsolidasi yang konon berisi komitmen “koherensi” dan “kinerja”, tetapi dilakukan dengan cara yang semena-mena.

Tegas di satu sisi, melempem di sisi lain. Longgar terhadap Muslimat dan GP Ansor, ketat terhadap JATMAN. Inilah konsolidasi yang dibangun atas dasar fondasi yang rapuh. Di mana kinerja elit-elitnya pun tidak jelas arah dan pencapaiannya.

Apalagi mencatut-catut nama Gus Dur, sebagai tipikal kepemimpinan yang dalam banyak hal dianggap perlu diadopsi. Mestinya PBNU bisa mencatat bahwa ini ormas keagamaan milik umat, bukan milik pribadi. Kepemimpinan sentralistik, jelas-jelas tidak cocok dengan kultur NU.

Sedikit saja buktinya bahwa PBNU jelas-jelas malah mendukung kenaikan tarif pajak 12% ketimbang mendukung rakyat, sampai-sampai Alissa Wahid (yang juga salah seorang elit PBNU) menyampaikan kritik dan penolakan dengan menggunakan kendaraan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) bukan melalui PBNU.

Apa yang dianggap 3 kunci keberhasilan konsolidasi NU: tata kelola, sumber daya dan agenda, juga tampak absurd. Konsep kaderisasi yang monoton, tidak menggunakan pendekatan orang dewasa atau andragogi dan sama sekali tidak relevN dengan segala problem keumatan.

Apalagi jika dilihat terlalu banyak agenda-agenda PBNU yang sangat seremonial dan buang-buang anggaran. Mulai dari diskusi bertajuk Fikih Peradaban sampai yang terbaru proyek seremonial Humanitarian Islam. Tadinya saya mengira bahwa PBNU akan fokus minimal pada 2 lembaganya: Lembaga Zakat Infaq Sedekah NU dan Lembaga Perekonomian NU, untuk apalagi kalau bukan untuk membuka berbagai layanan dan program keumatan yang bermanfaat bagi warga Nahdliyin secara umum.

Kalau rivalnya Muhammadiyah telah berhasil menciptakan inovasi sampai ke level yang “tetek-bengek”: mulai dari mie instan, AC, gudang pangan, dan lain sebagainya, entah PBNU telah menghasilkan inovasi pemberdayaan umat jenis apa? Wallahu a’lam

*Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah,.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *