Kata jomblo digunakan masyarakat untuk menyebut seseorang yang belum atau tidak memiliki pasangan. Tentunya, tiap-tiap jomblo memiliki alasan tersendiri untuk tidak mencari pasangan, atau mungkin memilih tidak menikah sama sekali hingga akhir hayatnya. Entah karena keadaan atau mungkin karena suatu alasan tertentu. Tidak hanya orang awam saja yang memilih menjomblo, ulama-ulama terdahulu tidak sedikit yang juga memilih menjomblo sebagai jalan hidupnya. Padahal, Allah telah menegaskan di dalam al-Qur’an bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasangan, termasuk manusia. Al-Qur’an juga memerintahkan kepada manusia untuk menikah. Tidak hanya al-Qur’an saja, namun juga dikuatkan oleh hadits-hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang perintah dan keutamaan-keutamaan menikah.

Menikah adalah ikatan yang sakral nan agung. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang kokoh), sejajar dengan perjanjian Allah dengan para rasul. Dalam Islam, ketika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Mengapa demikian? Dalam kitab Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa, keutamaan menikah adalah untuk melindungi diri dari penyimpangan dan kerusakan. Dua hal yang umumnya merusak agama manusia adalah perut dan kemaluan. Maka ketika seseorang telah menikah, ia telah menjaga salah satunya, yaitu kemaluannya. Dengan menikah, berarti seseorang menjaga dirinya dari godaan syaitan, membentengi dari gejolak syahw at dan lebih menundukkan pandangan.

Dalam kitab sunan Ibnu Majah diriwayatkan sebuah hadits bahwa:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ

Baca Juga  Berkerumun di Masa Pandemi sebagai Perbuatan Kriminal?

Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Al Azhar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Isa bin Maimun] dari [Al Qasim] dari [‘Aisyah] ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa, karena puasa itu merupakan tameng.”


Dalam kitab Musnad Ahmad, juga disebutkan sebuah riwayat bahwa:

حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ عُمَرَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Telah menceritakan kepada kami [Husain] dan [Affan] berkata, Telah menceritakan kepada kami [Khalaf bin Khalifah] telah bercerita kepadaku [Hafs bin Umar] dari [Anas bin Malik] berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk menikah dan melarang dari membujang dengan larangan yang keras, dan Beliau Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda: “menikahlah dengan seorang wanita yang memiliki kasih sayang serta manghasilkan banyak keturunan, karena sesungguhnya saya berlomba-lomba untuk saling memperbanyak umat dengan para Nabi pada hari kiamat.”

Kedua hadits di atas menegaskan bahwa menikah adalah sebuah perintah dan bernilai sunnah. Serta menjomblo semumur hidup atau ber-tabattul adalah sebuah larangan. Salah satu tujuan pernikahan adalah menghasilkan keturunan atau generasi baru. Generasi yang diharapkan mampu untuk bermanfaat bagi umat dan agama. Namun, ketika seseorang memilih tidak menikah selama hidupnya padahal ia mampu, maka ia telah menghentikan regenerasi. Sehingga estafet perjuangan mewujudkan tegaknya Islam menjadi terhenti, tidak ada penerusnya. Namun, jika kita menilik kembali sejarah, tidak sedikit ulama-ulama yang memilih menjomblo atau bertabattul sebagai pilihan hidupnya. Salah satunya adalah Ath-Thabari. Pengarang kitab tafsir Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an tersebut bukanlah orang yang biasa. Namun, seseorang yang sangat berpengaruh terhadap Islam. Sebab, tidak sedikit sumbangsihnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Baca Juga  Mengenal Silent Spring: Prediksi Rachel Carson

Pemilik nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib itu merupakan sosok yang multitalenta yang sangat sempurna ilmunya. Ia merupakan mufassir, sejarawan, ensiklopedis, ahli bahasa, ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli qira’at. Ia mulai belajar sejak usia yang masih belia dengan kecerdasan yang sangat menonjol. Terbukti, ia telah hafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun. Pada usia 8 tahun ia telah menjadi imam sholat, dan telah menulis hadits sejak usia 9 tahun. Akselerasi yang dilakukan oleh Ath-Thabari tersebut tentu saja tidak lepas dari bimbingan orang tuanya. Berkat didikan kedua orang tuanya, ath-Thabari tumbuh menjadi seorang ulama yang alim. Kecintaannya terhadap ilmu membuatnya tidak pernah berhenti mencari ilmu. Ia bersafar dari satu tempat ke tempat lain untuk berguru kepada para ulama besar. Ath-Thabari juga dikenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif. Ia menulis puluhan buku dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Karyanya yang sangat masyhur dan monumental adalah kitab tafsir yang penulis sebutkan di atas, Tarikh al-Rasul, wa al-Anbiya wa al-Muluk wa al-Umam, Tahdzib al-Atsar, Ulama al-Amshar, Adab al-Qadhi, dan masih banyak lagi.

Itulah sebab mengapa Ath-Thabari memilihi menjomblo sebagai jalan hidupnya. Ia lebih memilih menghabiskan hidupnya untuk melakukan aktivitas keilmuan. Kehausan akan ilmu dan kegemarannya terhadap menulis telah mendarah daging sehingga ia merasakan nikmat yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain rasakan. Itulah sebabnya Ath-Thabari memilih menjomblo hingga akhir hayatnya. Sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan, tentu saja Ath-Thabari tahu betul bahwa menikah adalah sunnah dan bernilai ibadah. Namun, bagi Ath-Thabari beribadah tidak harus dengan menikah. Mencari ilmu dan membuat karya yang bisa dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang lebih nikmat ia rasakan dibanding dengan menikah yang ‘mungkin’ menurut Ath-Thabari nikmatnya tidak bisa dirasakan oleh semua orang. Berbeda dengan karya-karya yang sudah ia hasilkan. Kitab-kitab Ath-Thabari bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak kalangan, dan menjadi rujukan sampai hari ini.

Baca Juga  SEBERSIT AWAL TAHUN : TERMENUNG SIA-SIA

Semangat Ath-Thabari dalam mencari ilmu dan menciptakan karya patut menjadi contoh bagi generasi sekarang. Hal besar (yaitu menikah) saja ia korbankan, tentu saja hal-hal kecil seperti menyedikitkan tidur dan makan sangat mudah ia kendalikan. Wallahu a’lam bi al-shawwaab.

Endah Fitrianingsih
Ketua Kohati HMI Korkom Walisongo Semarang 2019-2020, Wakil Presiden Monash Institute, Wakil Direktur di Center for Women, Gender, and Islamic Studies (CWGIS) Kota Semarang

    Amalan untuk Menyongsong Ramadhan

    Previous article

    Kartini; Menjawab Kegelisahan Urgensi Pengetahuan Alquran

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Gagasan