Kartini; Menjawab Kegelisahan Urgensi Pengetahuan Alquran

Siapa yang tak kenal Raden Ajeng Kartini? Namanya ramai digaungkan sebagai pahlawan emansipasi terkhusus setiap bulan April. Tak hanya tersohor di ingatan bumiputra, nama Kartini pun juga dikenang oleh masyarakat Belanda. Jejak rekam pemikirannya perihal merombak adat yang menempatkan kaum perempuan hanya sebagai pemeran dalam ranah rumah tangga sudah sangat masyhur. Pemikiran tersebut dituangkannya dalam surat-surat yang ia kirim kepada sahabat-sahabatnya yang ada di Belanda. Hal itu dilakukannya untuk mengobati sunyi sepi hatinya dikarenakan menjalani masa pingitan.
Mungkin sudah banyak yang mengulik Raden Ajeng Kartini dari sisi perjuangan memunculkan emansipasi. Akan tetapi, masih jarang yang memandangnya dari sisi kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan agama. Sebagai putri dari Bupati Jepara, Kartini hidup di dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, tak terkecuali pula pengetahuan agama. Maka, ia merasa bertanggungjawab untuk memajukan pendidikan masyarakat sekitarnya pada saat itu.
Sebagai masyarakat muslim millenial, masih banyak ditemukan orang-orang yang belum bisa membaca Alquran dengan sesuai aturan tajwid. Jika membaca dengan benar saja masih kesulitan, sudah tentu juga merasa payah dalam memahami maknanya. Padahal, fungsi Alquran sebagai al Huda atau petunjuk hanya akan dapat berjalan jika manusia mengerti maknanya. Jika dengan fasilitas yang serba canggih saja manusia millenial belum bisa membaca serta paham makna dari Alquran, bagaimana dengan zaman kolonial yang sangat minim dengan fasilitas Alquran terjemah?
Hal tersebut pula yang menjadi kegelisahan Kartini ketika ia belajar ilmu agama. Keresahan tersebut ia ungkapkan kepada sahabatnya, Nona Zeehandelaar yang ada di Belanda pada 25 Mei 1899.
“Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh aku mengenalnya? Alquran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun jua. Di sini tiada orang yang tahu Bahasa Arab. Orang diajar disini membaca Alquran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar disini membaca, tetapi tidak diajarkan makna yang dibacanya itu. Sama saja engkau mengajar aku membaca kitab bahasa inggris, aku harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata jua pun yang kau terangkan artinya kepadaku,” tulis Kartini dalam sepucuk surat untuk sahabatnya dalam Bahasa Belanda.
Kartini pernah mengalami pengalaman pahit ketika belajar Islam. Ia dimarahi guru ngajinya ketika bertanya tentang arti dari sebuah ayat dari Alquran. Namun, Kartini sangat tertarik ketika mengikuti kajian bersama Kiai Soleh Darat tentang tafsir surah Al Fatihah di pendapa Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri.
Pada waktu itu, penjajah Belanda melarang penerjemahan Alquran. Bahkan, para ulama juga mengharamkannya. Namun, Kiai Sholeh Darat, guru Kartini yang juga guru dari KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan justru menentang larangan tersebut.
Atas permintaan Kartini, Kiai Soleh Darat menulis tafsir Alquran dalam huruf Arab pegon (Bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab) agar tidak dicurigai penjajah. Kitab tersebut dinamakan Faidh al Rahman fii tafsir Alquran yang terdiri dari 13 juz dimulai dari surah al fatihah hingga surah Ibrahim. Kitab itu diberikan kepada Kartini sebagai hadiah atas pernikannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang.
Kartini sangat menyukai satu ayat yang sangat menyentuh hatinya, al Baqarah ayat 257. Satu kalimat yang ada dalam ayat tersebut adalah min al dzulumaati ilaa al nuuri yang berarti “dari kegelapan kepada cahaya”. Ia sangat menghayati kalimat tersebut karena benar-benar mengalaminya. Al Fatihah yang dahulunya gelap baginya, kini menjadi terang menyinari hati dan pikirannya. Alquran yang dahulu hanya bacaan yang tak ia mengerti maknanya, kini dapat menuntunnya untuk benar-benar mencintai Islam.
Di dalam surat untuk sahabatnya, JH. Abendanon, Kartini mengulang-ulang kalimat “Dari gelap kepada cahaya” yang dalam Bahasa Belanda disebut Door Duisternis Tot Licht. Kalimat tersebut menjadi kehilangan makna setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis gelap terbitlah terang”. Kalimat tersebut menjadi judul buku dari kumpulan surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Padahal, kalimat tersebut sebenarnya dipetik dari ayat Alquran min al dzulumaati ilaa al nuuri yang merupakan inti dari dakwah Islam yang berarti membawa manusia dari kegelapan (jahiliyah) ke tempat yang terang benderang (hidayah atau kebenaran).
Demikianlah besarnya perhatian Kartini terhadap ilmu pengetahuan agama. Ia yang tidak sepakat bahwa agama hanyalah simbol dan bacaan-bacaan kosong mencoba untuk menciptakan jalan baru. Jalan baru agar umat Islam Nusantara memahami Alquran supaya kemudian dapat mengamalkannya dari hati. Bukan hanya karena taqlid tanpa tahu dasar-dasarnya yang bersumber dari kitab suci.
Jika para perempuan gemar menyuarakan emansipasi atas dasar meniru perjuangan Kartini, maka hendaknya juga bisa memenuhi kualitas yang ada pada diri Kartini. Ketika perempuan menuntut agar diberikan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam ranah publik, maka harus seimbang dengan kualitasnya. Tak hanya kualitas dalam hal profesional, perempuan juga harus mempunyai kualitas yang baik dalam hal pemahaman agama. Karena sebelum berangkat ke ranah publik, ia harus sudah beres dengan tugas domestik yang salah satunya adalah menjadi madrasah al ula bagi putra-putrinya. Pengetahuan agama yang paling dasar adalah membaca dan memahami Alquran seperti yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini. Wa Allahu a’lamu bi al showab.

Oleh : Shofiya Laila Alghofariyah, Ketua Umum HMI Komisariat FITK 2018-2019, Pengurus Corps GPII Putri Jawa Tengah

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *