Dakwah  

Membangun Semangat Literasi Keagamaan

Baladena.ID

Pada tahun 2001, Kuntowijoyo pernah menulis buku yang berjudul “Muslim Tanpa Masjid.” Dalam buku itu, disadurkan penjelasan tentang fenomena kebangkitan masyarakat muslim perkotaan yang ingin memahami Islam secara lebih dalam, namun tidak sempat mempelajari dunia keislaman secara kaffah. Mereka tidak belajar Islam secara konvensional seperti yang digemakan lewat pondok pesantren, surau, madrasah, kitab kuning dan perguruan tinggi Islam. Akan tetapi, mereka belajar keislaman lewat media sosial yang tergesa-gesa dan serba selintas. Mendiskusikan beragam tema keagaaman lewat status-status para tokoh agama tanpa melalui kajian kitab kuning yang kini telah tersedia di penjuru dunia (Asep Salahudin: 2018).

Pergerakan kebangkitan kaum muslim perkotaan tadi, pada akhirnya menyebar dan mendominasi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan jamak fenomena demikian menggurita dan menyebabkan beragam perselisihan keagamaan selintas lebih niscaya. Dengan tanpa melihat perihal asbab al-nuzul, asbab al-wurud, asal mula hukum itu berkumandang, dan kondisi sosial budaya yang terjalin di Indonesia, pada akhirnya menyebabkan perselisihan keagamaan itu silih berganti dan membuat banyak luka bagi masyarakat.

Apalagi dengan berserakannya sumber-sumber informasi keagamaan dengan beragam prespektif pribadi yang berada di media komunikasi. Maka, seolah menjadi bumbu komplit untuk menyuburkan kelahiran generasi berpikir sempit seperti demikian. Berangkat dari kenyataan itulah, benar tentang “agama prasmanan” yang dinyatakan oleh Dr. Musahadi (2018), bahwa kumpulan informasi tentang keagaaman yang terkandung dalam dunia maya, kini menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan masyarakat. Tentu dalam beragam prespektif, kenyataan ini akan menimbulkan efek dilematis yang perlu segera diselesaikan. Sebab benar atau tidaknya penyelesaian permasalahan keagamaan lewat dunia maya—apabila tidak didasari dengan gestur pemahaman dan kondisi yang memadai—tentu akan menimbulkan sengketa keagamaan bagi generasi mendatang.

Karena itulah, diperlukan pembaharuan-pembaharuan tentang studi-studi keislaman yang secara gamblang bisa difahami oleh kalangan awam. Sebab kebangkitan dalam memahami literasi keagamaan merupakan perkembangan yang baik di mata publik. Hanya, apabila tidak disikapi dengan runtut dan patut, maka perkembangan itu akan membawa kesengsaraan, karena masyarakat hanya mendapatkan pengajaran yang tergesa-gesa dan serba selintas melalui media sosial. Oleh karena itulah, seluruh elemen baik dari pemerintah, kemenag, dan para ulama perlu bersinergi untuk membangun perenungan baru dalam mengatasi fenomena literasi keagamaan masyarakat kebanyakan.

Sebab perkembangan zaman merupakan rasio yang secara niscaya mengerupsi cara-cara lama untuk tergantikan dengan metode-metode yang lebih baru. Karena apabila kenyataan itu tak terpenuhi, gejolak kebangkitan literasi akan semakin mengalami kemunduran dan cenderung ketinggalan zaman. Terlebih, kebutuhan literasi agama dalam konteks ini menjadi perihal logis yang dibutuhkan oleh generasi mendatang. Maka, benar apa yang dikatakan oleh Stephen Prothero dalam “Religious Literacy”, bahwa literasi agama dapat difungsikan sebagai pendorong pembentuk ikatan kwarganegaraan untuk menjembatani setiap ruang keberagamaan agar tercipta sikap saling memahami dan bisa hidup berdampingan secara inklusif dan toleran (baca: Menumbuhkan Literasi Agama).

Melalui kenyataan itulah, pembaharuan-pembaharuan litersi agama lewat dunia digital perlu dimasifkan untuk membangun pemahaman keislaman kepada masyarakat. Lewat beragam hal, mulai pengumpulan jurnal-jurnal ilmiah dengan gaya bahasa yang majemuk dan mudah difahami oleh banyak kalangan. Termasuk, pengajaran pemikiran dari tokoh-tokoh tentang Islam Ke-Indonesiaan yang semestinya dijunjung agar tidak terkesan gagap dalam memahami perbedaan di Indonesia. Akhirnya, literasi keagamaan berbasis digital untuk dasawarsa ini menjadi kebutuhan penting yang perlu diwujudkan oleh pemerintah, ilmuan, ulama, dan tokoh agama. Sehingga selektifitas materi dan pemahaman keislaman juga harus memuat kandungan lokal yang tak hanya berisi pengetahuan dogmatis. Namun juga harus memuat beragam hal yang menjelaskan tentang asal muasal nilai keislaman itu muncul, baik dari basis yuridis, filosofis, dan sosiologis.

Gerbang Pengetahuan

Terlepas dari konteks demikian, dalam sejarah peradaban manapun, kunci pembangunan peradaban bersumber dari terbukanya gerbang pengetahuan. Terbukanya pengetahuan merupakan manivestasi yang perlu diwujudkan, karena literasi adalah satu-satunya jalan untuk menuju keadidayaan. Termasuk dalam membangun moderasi keislaman sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka literasi keagamaan menjadi bagian vital yang harus dioptimalkan. Selain literasi keislaman merupakan bagian tak terpisahkan untuk melahirkan generasi-generasi yang faham tentang islam, setidaknya literasi keislaman juga akan membuka jalan-jalan baru untuk pembaharuan.

Menengok kembali sejarah peradaban Islam di masa lalu, maka pesan Qs. al-Alaq 1-5 merupakan  manivestasi yang menjadi penanda tentang kebutuhan dunia literasi. Kebutuhan demikian pada akhirnya menyebabkan masyarakat Arab pra Islam menepi dan memunggungi beragam kejahiliahan. Lewat membaca, sikap kejahiliahan masyarakat di masa lalu setapak demi setapak terobati dan berakhir pada kegemilangan peradaban. Puncaknya, pembangunan peradaban itu kemudian tumbang kembali saat perpecahan umat terjadi. Tonggak peradaban itu kemudian berlanjut setelah Barat menerjemahkan segala khazanah intelektual Islam dan mengalami kemajuan yang sangat signifikan.

Beranjak dari kenyataan itulah, pembaharuan literasi keislaman harus segera dioptimalkan melalui pembaharuan-pembaharuan wacana keislaman. Hal ini penting untuk diwujudkan, karena melihat problematika keislaman yang semakin simpang siur akibat perbedaan pemahaman keislaman. Alhasil, selain upaya ini akan mendorong masyarakat untuk memahami secara kaffah tentang hakikat keislaman, upaya ini juga akan membuka pemikiran-pemikiran baru tentang cara-cara yang bisa dikerjakan untuk membangun peradaban. Akhirnya, moderasi nilai Islam melalui kelindan literasi akan semakin menjadi kebutuhan urgen yang bisa digunakan masyarakat untuk menyelesaikan beragam permasalahan sosial. Lewat pemahaman, perenungan, pelaksanaan, dan perjuangan akan menyebabkan perwujudan yang semakin niscaya dalam membangun peradaban. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *