Krisis kepemimpinan semakin hari kian terasa saja. Banyak di antara pemimpin kita yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi sebagai pemimpin, tetapi menduduki posisi pimpinan. Apalagi di alam demokrasi yang cenderung keblablasan seperti saat ini, banyak dijumpai, terpilihnya pemimpin bukan karena kualitas dan integritasnya, melainkan faktor “uang yang bicara”. Ungkapan “uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang” menjadi sangat bisa dirasakan untuk konteks suksesi kepemimpinan, dari level nasional hingga daerah, bahkan di desa. Padahal, Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 250 juta jiwa, seharusnya tidak layak jika kesulitan menemukan hadirnya seorang pemimpin yang cakap dan memiliki kualifikasi yang memadai.
Harap tinggal harap, seringkali justru yang muncul tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ada banyak orang yang sesungguhnya secara kapasitas lebih layak menyandang status pemimpin, tetapi justru dalam kontestasi dikalahkan oleh yang kualitas di bawahnya, baik oleh sistem yang kejam maupun cara berperang—sekalipun untuk saat tertentu tidak demikian. Krisis kepemimpinan ini harus segera diatasi, supaya negara ini bisa segera keluar dari keterpurukan. Prof Yusril Ihza Mahendra, pernah berkata: “Sangatlah penting untuk memahami hakikat bernegara dan bagaimana mekanisme kita menjalankan negara. Kalau tidak, maka negara itu akan menjadi amatiran.”
Banyak pakar yang membuat analisis bahwa memang banyak penyelenggara negara yang tidak mengerti bagaimana negara ini dikelola dengan baik dan benar. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri, karena terjadi dalam level nasional yang tentu akan sangat berdampak kepada rakyat dan Indonesia dalam pergaulan internasional. Karena itu, harus disadari bahwa jabatan presiden bukanlah arena untuk melatih kepemimpinan, sebagaimana jabatan-jabatan yang ada di organisasi-organisasi perkaderan di level mahasiswa ataupun pemuda. Sebab, apapun keputusan presiden dan jajarannya akan menentukan hajat hidup orang banyak.
Ada sebuah anekdot berbunyi: “Dalam dunia akademisi, salah itu diperbolehkan, yang penting jujur. Akan tetapi, dalam politik, seoarang politisi (baca: pemimpin) tidak boleh salah”. Poin penting yang harus diambil adalah jika seorang pemimpin salah dalam menentukan kebijakan, maka akan berdampak kepada kesengsaraan rakyat banyak. Karena itulah, apapun yang dilakukan seorang pemimpin haruslah berdasarkan pada karakter kepemimpinan benar, sehingga harapannya nanti bisa membawa kemaslahatan bagi umat dan bangsa.
Karakter kepemimpinan itu tercermin dari perkataan, sikap, dan perilaku seorang pemimpin dalam memutuskan atau menetapkan kebijakan. Sebab, Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Shared Goal, Hemhiel & Coons). Sedangkan, Mohammad Nasih menjelaskan bahwa karakter itu sama dengan akhlaq (dalam bahasa Arab).
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kata ‘akhlak’ tentu sudah tidak asing lagi, karena telah diserap menjadi bahasa Indonesia. Menurut al-Ghazali, akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap itu lahir perbuatan terpuji, baik menurut akal sehat maupun syara’, maka ia disebut akhlak terpuji (akhlaq mahmūdah). Jika yang lahir perbuatan tercela, ia disebut akhlak tercela (akhlaq madzmūmah). Definisi ini sangat compatible dengan persoalan pemimpin saat ini yang dalam memutuskan banyak persoalan cenderung berlarut-larut dan tidak jarang menghasilkan sesuatu keputusan yang justru membuat masalah semakin rumit dan membuat rakyat ikut gaduh.
Ada pepatah Jawa yang berbunyi, “Watuk iku iso diobati, nek watak angel ditambani, Batuk itu bisa diobati, kalau watak (baca: karakter) itu sulit diubah. Pepatah tersebut menggambarkan betapa sulit mengubah karakter seseroang. Kami teringat pelajaran akhlak dalam kitab Akhlaq li al-Baniin ketika masih duduk di bangku Madrasah Diniyah (MADIN) dulu, bahwa membangun karakter itu ibarat membentuk sebuah pohon. Ketika pohon itu masih kecil, maka akan lebih mudah dibentuk sesuai dengan keinginan pembentuknya. Namun, lain lagi jikalau pohon itu sudah besar dan kuat, yang ada adalah sangat sulit membentuknya. Katakan, pohon yang sudah besar dan kuat itu ternyata bengkok, untuk meluruskannya, tentu menjadi sangat sulit. Jika tidak hati-hati, kemungkinan justru akan patah. Analogi ini sangat sesuai dengan kondisi saat ini. Lalu apa yang harus dilakukan? Kita akan coba jawab perlahan-lahan.
Dalam konteks ini, akhlak atau moral biasanya selalu dikaitkan dengan agama. Dan memang akhlak adalah agama itu sendiri. Mengapa? Islam adalah agama penyempurna agama-agama sebelumnya. Jadi konteks bergama dengan akhlak dalam Islam adalah sama, yaitu penyempurna ajaran/akhlak agama terdahulu. Karena jika akhlak diartikan sesuatu yang dibuat-buat, maka agama juga dibua-buat sesuai kehendak Allah. Kita bisa membuktikan ini melalui ajaran-ajaran agama yang berubah sesuai kehendak-Nya, dari Yahudi, Nasrani, dan Islam, misalnya.
Untuk konteks Islam, ulama lah yang dibebankan tanggung jawab untuk menyelesaikan urusan moral itu. Sebab, ulama adalah adalah pewaris para nabi (al-ulama’ warasatu al-anbiya’). Sedangkan Nabi Muhammad saw. pernah berkata: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. al-Bukhari, al-Adabul Mufrad no. 273). Dengan demikian, ulama harus turun tangan, tidak hanya mengurus agama, tetapi juga memperhatikan domain negara. Pada akhirnya, kepemimpinan adalah kunci utama sebuah negara atau organisasi itu berjalan baik untuk menggapai citanya. Dan dalam hal ini, agama (baca: ulama) harus turut berperan di dalamnya.
Karakter-karakter kepemimpinan yang meliputi kredibilitas, integritas, kejujuran, kebijaksanaan, keberanian, pengorbanan, kesederhanaan, dedikasi, ketahanan berjuang dan sebagainya, tidak mungkin dibangun dalam waktu singkat. Butuh persiapan matang dan sistematis untuk pembangunan akhlak tersebut. Tentu saja dengan konsep pembinaan super intensif dan berparadigma jauh ke depan.
Gerakan kutural pembentukan karakter sejak dini ini telah dilakukan para aktivis Muslim di Turki dengan sangat gigih. Hasilnya, para pemimpin AKP (Partai Persatuan dan Pembangunan) yang kini memimpin Turki dan menjadikan salah negara Eropa itu sebagai negara yang disegani di dalam pergaulan internasional. Inilah contoh revolusi karakter kepemimpinan bangsa.
Rumah Perkaderan Monash Institute (www.monashinstitute.or.id) telah memulai upaya pembangunan karakter kepemimpinan bangsa sejak 2010. Perbaikan dari pinggir ini diharapkan bisa dilakukan di seluruh penjuru Indonesia untuk kemajuan umat dan bangsa ini ke depan. Target utamanya adalah mengadvokasi pemuda-pemudi terbaik dari berbagai daerah di Indonesia untuk dikader secara super intensif di Monash Institute. Dari rumah kader ini, diharapkan lahir pemimpin dengan kualitas ilmu al-ulama’, amwalu al-aghniya’, dan siyasatu al-mulk wa al-mala’ di masa depan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah swt.
Siapa lagi kalau bukan kita yang melakukan? Meski lewat jalan sunyi, bergeraklah dengan pasti, didasarkan pada keyakinan yang murni. Meski dalam bentuk yang lain, jangan biarkan negeri ini dijajah kembali. Wallahu a’lam bi al-shawaab.