Aku bukan seorang philogynik. Aku hanya lelaki biasa yang sulit jatuh cinta. Bukan karena tidak percaya diri atau terlalu pilih-pilih. Tetapi aku memang demikian adanya, tak mudah percaya pada cinta pandangan pertama. Apalagi berharap mendapat jodoh di gerbong kereta. Puh.
Jatuh cinta memang menyebalkan. Meski bukan seorang philogynik, aku juga punya cinta. Pernah tiba-tiba cinta, saling kirim surat berisi cerita-cerita, dan tiba-tiba ditinggal menikah begitu saja. Menyebalkan memang. Tapi begitulah adanya. Hingga saat kisah ini aku tulis. Tentang jatuh cinta yang menyebalkan.
Seorang senior tiba-tiba mendebarkan hatiku. Memang dia tidak memulai dengan goda, atau mengungkapkan perasaannya kepadaku. Tetapi sikapnya yang di luar dari kelaziman perempuan, membuatku mengerti tentang philogynik dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Perempuan berkulit langsat dengan wajah mengkilat membuat hatiku terpana nan terpikat. Wajah mengkilatnya bukan karena obat pencuci piring atau obat glowing, tetapi karena keringat yang mengembun anggun di dahi dan pipinya. Uh.
***
Kala itu, kujumpai dirinya yang tengah sibuk menggoreng ikan asin hingga terbersin-bersin bersama seorang lelaki yang membawa bensin. Sambil meniriskan dan membungkusnya hingga berlusin-lusin. Tak ada papan murung, susah, atau lelah yang terpampang di wajahnya. Malah berhias pelangi, tersenyum manis dan kadang kala tertawa, memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi, menikmati pekerjaannya. Ulahnya membuat hatiku basah seperti tertimpa gerimis yang resah. Usianya satu tahun lebih tua dariku. Begitupun kuliahnya, satu tingkat di atasku. Tetapi itu tidak menjadi pertimbangan dalam hal jatuh cinta yang menurutku memang menyebalkan.
Tak butuh waktu lama atau menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa. Karena aku tak sehebat mereka yang mampu menyimpan rasa cinta sendiri berabad-abad tanpa mau terungkap. Aku langsung menghampiri dirinya dan ku katakan;
“Aku jatuh cinta.”
Ku kira episode yang terjadi selanjutnya adalah ketegangan.
“Kepadamu.” Lanjutku.
Tetapi malah tawa yang ia suguhkan, hingga aku bisa melihat gigi gerahamnya yang sempurna tanpa lubang.
Cinta memang menyebalkan. Ia hanya membalas dengan tawa, tanpa berhenti dari pekerjaannya. Dan aku, tak ada satupun luka yang tergores apalagi tersayat di dalam hati dan jiwa.
“Kamu masih kecil kok sudah paham tentang cinta?” jawabnya dengan senyum yang mengembang manis di pipi kiri dan kanannya.
“Masih kecil?” tanyaku datar.
“Iya, kamu tu masih kecil.” Jawabnya tanpa rasa. Kalau ikan asin yang tengah digorengnya tau perasaanku, dan saya kira perasaannya juga, rasa asin dalam ikan itu bisa jadi sirna, berubah hambar tanpa rasa.
“Entah.” Jawabku tanpa ekspresi sebagaimana sejak awal ku sampaikan cinta kepadanya.
Sejak saat itulah, hatinya yang kuketuk, membuat hatiku malah mengutuk. Mengutuk dirinya agar Allah memberi jodoh seseorang yang lebih kecil (muda) dariku. Dan janji Allah itu benar. Do’a orang yang teraniaya akan lebih cepat maqbul. Meski aku tidak sakit hati dan merasa teraniaya, tetapi Allah Yang Maha Melihat itu tahu, bahwa aku dalam posisi teraniaya.
Kabar baikpun tersiar. Tentang dirinya yang sebentar lagi dipinang. Oleh lelaki yang sesuai dengan apa yang pernah aku kutukkan. Calon suaminya berusia dua tahun lebih muda dibanding ‘anak kecil’ yang sedang menulis ini. Terpaut berapa tahun antara dirinya dan calon suami? Tentu, saya kira pembaca dapat menghitung sendiri, berapa usia perempuan dan calon suaminya itu, karena saya tidak sedang menjelaskan soal matematika.
Hey, Kau yang pernah mengajarkanku tentang jatuh cinta yang menyebalkan, selamat menikah tanpa khawatir hatiku akan patah. Jika kau bahagia bersamanya, aku juga bahagia bersama yang ku punya. Jangan sampai persahabatan kita terputus dan menjadi siapa yang paling dan paling. Tetapi kita bisa saling mendo’akan, saling mendukung, dan saling tolong menolong untuk generasi gilang gemilang.
Salam teruntukmu. Dari mantan calon.
Planet NUFO, 17 Januari 2020
Oleh : Ficky Prasetyo Wibowo, Musisi, Pecandu buku, dan Aktivis Lingkungan di Sedekas.com