Pasca peringatan Hari Anti Korupsi Internasional, wacana hukuman mati bagi koruptor mengemuka. Tidak hanya para pengamat dan praktisi hukum dan HAM yang menggelolantarkan wacana hukuman mati bagi koruptor, Presiden Joko Widodo pun turut mendukung ancaman hukuman mati pada koruptor.
Dengan tegas, Jokowi memberikan sinyalmen akan menerapkan hukuman tersebut. Namun seiring berjalannya waktu dan melihat realita lapangan yang selama ini terjadi, ketegasan Jokowi tersebut seolah hanya diucap untuk memulihkan citra, yang tengah merosot dalam menghadapi isu pemberantasan korupsi.
Pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti mengurai bahwa Jokowi tampak seperti geram dengan perbuatan korupsi. Mantan walikota Solo itu seolah ingin memastikan publik bahwa dia berada bersama rakyat memerangi rasuah.
“Seperti ingin menegaskan bahwa sikap beliau tidak melemah dalam hal pemberantasan korupsi,” ucap Ray Rangkuti kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (10/12).
Publik bisa menilai sendiri berdasarkan “drama” yang dipertontonkan pemerintahan Jokowi akhir-akhirnya yang nyata sangat berbanding terbalik dengan semangat menimbulkan efek jera dan efek kejut bagi koruptor. Tak ayal jika pernyataan Jokowi yang mendukung menghukum mati terhadap koruptor di Indonesia dianggap Ray sebatas untuk memulihkan citranya yang merosot.
“Terkesan ingin memulihkan citranya yang terus menerus kian merosot, khususnya di kalangan publik pegiat anti korupsi,” jelas Ray.
Ucapan Jokowi, sambungnya, seperti garing. Sebab di satu sisi, belum ada ketegasan Jokowi dalam menyikapi UU KPK. Jokowi juga tidak segera mengeluarkan perppu untuk meralat UU usulan DPR itu.
Belum lagi pemberian grasi atas napi koruptor, serta tak jua adanya langkah maju dalam pengungkapan kasus Novel Baswedan,” sambungnya.
“Jika dihadapkan pada kenyataan itu, maka pernyataan presiden terasa garing,” pungkas Ray. (rmol).