Kesempurnaan Manusia; Implementasi Ulama dan Umara

Allah Swt telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk yang lain. Salah satu letak kesempurnaannya ada pada keintelektualitasan manusia bila dibandingkan dengan makhluk lain. Hal ini dapat dibuktikan dalam al-Qur’an  Surat  al-Baqarah bahwa Allah telah mengajarkan nama-nama kepada Adam As. Dan ketika Allah memberikan pertanyaan kepada para malaikat yang diciptakan lebih dulu dibanding dengan manusia tentang nama-nama, malaikat tidak mampu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Allah, sedangkan Adam AS yang kedudukan lebih junior mampu menjawab pertanyaan dengan baik.

Dalam segmen ini, menunjukkan bahwa manusia memiliki pengusaan terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi bagian yang penting dalam kehidupan, baik di dunia saat ini maupun di akhirat kelak. Sebab, pengetahuan itu adalah tonggak utama manusia untuk mencapai kebaikan dan kesuksesan. Kebanyakan orang sering menyebut orang yang memiliki wawasan luas dengan sebuatan ilmuan atau ulama.

Ilmuan dan ulama, berasal dari akar kata yang sama. Kalau ilmuan adalah kata serapan dari Bahasa Arab ‘alima, sedang ulama merupakan isim fail dari fi’il madli ‘alima  yang berarti telah mengetahui. Dengan wawasan yang luas ulama atau ilmuan harus mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan yang muncul dalam kehidupan. Baik kehidupan pribadi secara khusus dan kehidupan masyarakat secara umum. Sebab, masyarakat banyak bergantung pada gagasan ulama dalam menyelesaikan persoalan kehidupan.

Memegang amanat adalah letak kesempurnaan manusia yang kedua. Allah Swt telah manawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu, karena mereka merasa khawatir apabila mengkhianati amanah tersebut. Akan tetapi, manusia menerima amanat itu. Hal ini terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 72.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Pemegang amanat tertinggi dalam kehidupan manusia adalah Umara. Umara merupakan kata serapan dari Bahasa Arab Amiir (isim fa’il dari madli amara yang berarti memerintah).  Jadi, Aamiir adalah orang yang memerintah atau pemegang kekusaan. Seseorang penguasa harus memiliki jiwa yang jujur dan profetik. Memiliki jiwa yang profetik mempunyai pengertian yang cukup luas.  Salah satu artinya seorang amir dalam menjalankan amanat itu harus sesuai dengan syari’at yang ada. Seperti menjalankan amanat dengan penuh tanggug jawab dan jiwa bonafide yang tinggi.

Kehidupan masyarakat sangat bergantung pada pemegang kekuasaan. Selama kekusaan dipegang oleh orang yang mimiliki jiwa yang bonafide, maka keadaan kehidupan masyarakat akan tetap dalam lingkaran kebaikan.  Dalam hal ini hadis tentang umara yang berbunyi “Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mengunjungi umara, dan sebaik-baik umara adalah mereka yang mengunjungi ulama, dan sebaik-baik umara adalah yang berada di depan pintu orang fakir, dan seburuk-buruk orang fakir adalah yang berada di depan pintu seorang amir”  adalah kalimat  yang umum di telinga. Namun, kebanyakan orang sudah cukup dengan pemahaman secara tekstual saja. Padahal, menurut Jalaludin Rumi dalam bukunya yang berjudul Fiihi Maa Fiihi, ia menginterpretasikan bahwa seburuk-buruk ulama itu adalah yang bergantung pada penguasaya soal materi (bal ma’naahu anna syarra al ‘ulamai man yahshiu ‘ala madadi min al umaraai).

Menurut penulis, seorang amir maupun ulama juga harus memiliki indikator kedua  muslim kaffah, seperti yang telah dicetuskan oleh seorang Cendikiawan Muslim Indonesia Mohammad Nasih,  yaitu al amwaalu al aghniya’ (kaya raya). Seseorang dikatan muslim yang kaffah apabila memiliki indikator tersebut.

Kemudian, letak kesempurnaan manusia yang ketiga ada pada superioritasnya sebagai hamba ciptaan Allah, yaitu ketinggian hasratnya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang mampu melangkahkan kakinya dengan melawan insting atau hasratnya. Berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain, yang hanya mampu melakukan satu tugas saja, seperti malaikat yang hanya melakukan satu tugas dengan istiqomah dan hewan yang tidak mungkin melakukan tindakan di luar instingnya, sedangkan manusia mampu berbuat bebas baik mengikuti instingnya maupun melawan instingnya. Dan untuk menjadi manusia yang benar-benar dalam koridornya, ia harus mampu mengintegrasikan ketiga kesempurnaan tadi secara utuh.

Oleh: Uli Magfiroh, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang Fakultas FITK Prodi Pendidikan Agama Islam

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *