Kebebasan dan Keterbatasan

Meneladani Idola Ummat
Ilustrasi (Republika)

Kita, memang diberi kebebasan. Tapi, sebebas-bebasnya bagaimanapun tetap akan memihak. Di antara manusia ada yang bebas tapi memihak Tuhan, artinya kebebasan sebatas aturan Tuhan, yakni al-Furqon alias pembatas. Memihak Tuhan bermakna amar ma’ruf nahi munkar. Bebas memihak yang baik/benar/manfaat/adil/indah, dan bebas menolak yang buruk/salah/mudarat/lalim/jelek.

Tentu berdasarkan aturan permainan, yakni al-Quran dan Hadits. Tapi, Tuhan juga membebaskan manusia, jika ingin memihak Hantu (dedemit, kuntilanak, iblis, atau syetan) dan menolak Tuhan. Tak ada paksaan bagi manusia agar seluruhnya pro kepada Tuhan. Atau seratus persen manusia di bumi ini pro hantu. Ajaran kita berdalil bahwa Tuhan hanya ada dalam Islam. Di luar Islam itu bukan Tuhan, tetapi Hantu.

Tuhan dalam Islam bernama Allah. Tapi Allah, kalau tidak salah sudah dipakai juga oleh ajaran non-Islam. Jadi, orang mendapat kebebasan ber-Tuhan atau ber-hantu. Atau ber-Tuhan sekaligus ber-hantu, fifty-fifty. Di masjid ia bertuhan Allah. Di luar masjid bertuhankan kursi (tahta, profesi, jabatan), duit (harta keras atau harta lunak), dan cewek (wanita dan nafsu birahi) serta sekaligus membelenggu Allah. Boleh jadi seperti itulah arti dari orang yang fifty-fifty. Nah, kini kita tahu apa yang namanya manusia ternyata tidak sama.

Yang sebangun itu fisiknya, biologisnya, fisiologisnya, anatominya. Dan yang tidak sama itu “wajahnya”. Ada yang berwajah Tuhan, berwajah hantu, dan berwajah Tuhan sekaligus berwajah hantu. Sahabat Rasul SAW Salman Al Farisi sudah pasti berwajah Tuhan Allah, arsitek parit pada Perang Khandak dekat Kota Mekah. Nama beliau tercatat dengan tinta emas dalam tarikh sepanjang ruang dan waktu, sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bersedia hidup dan mati untuk Islam. Patut kita teladani.

Lain lagi dengan Salman Rushdie yang lahir di India, novelis sekuler, yang menulis The Satanic Verses alias Ayat-Ayat Setan. Ia adalah sastrawan egois, mata duitan, hedonistik, yang menggunakan imajinasi dan kebebasan berekspresi seenak perutnya. Ia menghina Tuhan Islam yakni Allah sebagai Allata (Latta dan Uzza alias berhala). Ia juga menghina Nabi Islam yakni Muhammad SAW sebagai Mahound (alias setan) dan isteri-isteri Nabi sebagai WTS murahan.

Sejahat-jahat iblis atau setan, tapi mereka kan tak pernah mengejek atau menghina Allah. Tapi Allah, memang, mengizinkan iblis untuk “mengganggu dan merayu” manusia, menguji keimanan manusia. Dan setan pun diperbolehkan merasuk ke dalam jiwa manusia. Maka, kita saksikan, ternyata Salman Rushdie tergiur rayuan dan gelitikan iblis sehingga kemudian berubah menjadi berwajah setan, lalu terbitlah karya tulisnya yang menghebohkan itu, yakni Ayat-Ayat Setan yang diterbitkan oleh Penguin & Viking London.

Muslim bangkit mengutuk Salman Rushdie sebagai orang yang telah menyalahgunakan makna freedom of expression (kebebasan berekspresi/berpendapat). Kebebasan tanpa keterbatasan. Kebebasan memihak kejahatan yang menghancurkan etika jurnalistik internasional. Kebebasan yang menghina Allah dan Nabi Islam serta melukai hati umat.

Hukumnya pun jelas. Islam memerintahkan umatnya agar membunuh Salman Rushdie. Dengan atau tanpa imbalan US$ 6 Juta dari Imam Khomeini pun, memang Salman harus rush (diserang segera) dan/atau die (mati/dibunuh). Dengan atau tanpa pengadilan internasional, Salman-nya The Satanic Verses harus rush & die. Mari kita cari dia sampai ketemu. Mari berdoa untuk kematiannya. Agar harga diri kita masih eksis memihak Allah dan Rasul-Nya. Agar Islam dan umatnya tak dihina terus menerus.

Kini kita jadi tahu, ternyata selama ini Salman Rushdie disembunyikan di ketiak mendiang Margareth Thatcher. Di kelek yang berbau keju busuk dari manusia anti Islam di 12 negara European Community. Masyarakat non-Islam boleh jadi mengira bahwa Ayat-Ayat Setan ini karya sastra imajinatif yang patut dibanggakan, sebagai ungkapan kebebasan tidak terbatas. Meski disadari bahwa penghinaan terhadap Allah dan Nabi Islam itu tak simpatik. Saya pikir, boleh jadi sistem Barat non-muslim memberi kebebasan berpendapat walaupun dengan mencerca, mengejek, mencemooh, dll.

Sepanjang saya tahu, memang Taman Hyde (Hyde Park) di tengah Kota London merupakan lokasi bagi siapa saja yang mengeluarkan kritik pedas dan pahit sekalipun. Atau menyampaikan pesan dan uneg-uneg apapun. Menyerang siapapun. Dan tak boleh ada orang lain, polisi maupun menteri sekalipun melarangnya. Atau menangkapnya dan memenjarakannya.

Di Taman Hyde, tiap orang mendapat kebebasan berekspresi dengan caranya masing-masing. Tetapi, beberapa kali guruku hadir di taman ini tak pernah menyaksikan dan mendengar pidato kebebasan yang menghina Allah dan Nabi Islam serta keluarganya. Dan memang di London kita jumpai pula gedung yang bernama Mecca. Isi gedung Mecca (Inggrisnya dari Mekkah, kota suci umat islam) ternyata tempat judi, tempat penjualan dan distribusi kartu-kartu judi semacam kios-kios SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di Indonesia. Meski muslim Inggris memprotesnya, tapi judi Mecca tetap bertahan. Benarkah Inggris dan negara-negara Barat dan Timur non-muslim itu menganut kebebasan tidak terbatas? Meski menghina Allah dan Nabi Islam? Atau menghina Tuhan Yesus? Budha?

Apakah benar mereka menganut Machiavelli, dengan segala cara dibolehkan untuk mencapai tujuan? Yang penting tujuan tercapai, meski harus bergantung di buntut anjing? Yang penting menang, meski harus menipu/berbohong? Yang penting untung, meski harus merugikan orang lain? Yang penting saya selamat, peduli amat dengan orang lain? Yang penting saya lulus ujian dan diwisuda berijazah, meski dengan cara nyontek, beli angka, dan menyemir guru/dosen? Yang penting olah raga, para atlet dan negara tambah maju, meski harus merogoh kantongnya wong cilik melalui undian? Anda pikir itu baik? Saya pikir, tak baik.

Tujuan bagus harus dicapai dengan cara yang terpuji. Dengan cara bermoral. Dengan etis! Memang tak semua orang atau manusia harus seperti kita. Juga kita yang di dunia pendidikan tinggi khususnya. Tak etislah kalau dosen dan mahasiswa saling menipu agar indeks prestasi dan akreditasi meningkat. Atau tak ambil pusing terhadap Ayat-Ayat Setan? Atau cuek pada Adik Baru yang diimpor dari Swedia, negara porno, atau bebas-sex? Dan tak ada kesediaan kita untuk merobohkan-despot dalam segala bentuknya? Dan tak peka sosial? Tak ada pemihakan? Bukankah perguruan tinggi kita itu merupakan sentral dari moral power? Kalau hampir seluruh perguruan tinggi itu berduit kurang, bertenaga lemah, berkebebasan mimbar yang terbatas, bersains dan berteknologi rendahan, lalu mengapa kita tidak menonjolkan saja yang satu ini: moral power.

Dan kita memunyai kekayaan luar biasa berupa moral power. Tapi masih terpendam. Masih laten. Memang, moral power itu masih laten, masih terpendam. Belum dimunculkan ke permukaan untuk dinikmati oleh kaum dhu’afa-fukara-masakin. Untuk dinikmati oleh para jilbabwati yang mustadh’afa, yang hak azasinya ditindas oleh para direktur sekolah. Untuk dinikmati oleh para sarjana penganggur nan fukara. Oleh si miskin-papa yang tak memeroleh pendapatan secara adil. Cinta saya, cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya pun hampir-hampir masih laten.

Begitu juga ACI (Aku Cinta Indonesia), ACIBI (Aku Cinta Bahasa Indonesia), ACITA (Aku Cinta Tanah Air), ABITA (Aku Bangga Indonesia Tanah Air) masih sebagai sesuatu yang laten. Dan sebagaimana latennya I Love You dari seorang santriwati pada seorang ustadznya, atau seorang sekretaris kepada bossnya. Akhirnya kelatenan membawa kita pada ketidakpastian, ketidakjelasan, kemandulan, kemandekan. Kepada status quo. Mengambang. Sementara saya tak mau jadi manusia mengambang, meski dalam kebebasan saya ada keterbatasan. Bagaimana dengan Anda? Wallahu A’lamu bi al-Shawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *