Kawah Candradimuka Monash Institute

Saya rasa banyak hal yang saya dapatkan selama saya berada di Monash Intitute Semarang. Dan selama di sini pula banyak sekali perubahan dan perkembangan yang terjadi pada diri saya yang saya rasakan. Ya, memang banyak sekali. Di tulisan kecil ini, akan saya ceritakan apa saja hal itu.

Sebelum Masuk Monash

Memang, dari dulu saya belum pernah mondok sama sekali di pondok pesantren mana pun. Sebelumnya, saya hanya ngaji di madrasah dan di rumah salah satu ustadz di kampung saya. Madrasah di kampung saya ada dua jenis: Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) dan Madrasah Diniyyah Awwaliyyah (MDA). Madrasah TPQ dimulai dari pukul 13.00 WIB sampai 15.00 WIB, sedangkan Madrasah MDA dimulai dari pukul 16.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Tidak cukup dengan itu, setelah Maghrib saya juga melanjutkan mengaji kepada ustadz di kampung saya, yang rumahnya dijadikannya sebagai tempat mengaji bagi anak-anak dan ibu-ibu. Malam Rabu sampai malam Senin dipakai untuk mengaji bagi anak-anak, sedangkan malam Selasanya khusus untuk ibu-ibu.

Setelah tamat belajar di TPQ dan kemudian MDA, selanjutnya saya melanjutkan mengaji di madrasah Pondok Pesantren Nurul Ihsan yang berada di Kecamatan Trompo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah; yang dimulai dari pukul 19.00 WIB sampai 20.00 WIB. Dari rumah, saya berangkat ke sana bersama kakak saya dengan menggunakan sepeda motor dan terkadang sepeda onthel. Di sana saya tidak mondok (tinggal menetap dan tidur di pondok), tetapi hanya sebagai santri laju/kalong (sebuah sebutan bagi santri yang hanya mengaji di pondok tetapi tidak tinggal di sana, melainkan setelah selesai mengaji, dia pulang ke rumah masing-masing).

Di Pondok tersebut, tidak jarang saya juga beberapa kali tidur dan mengikuti kegiatan pondok di sana. Jadi tidak heran, meskipun saya hanya sebagai santri kalong, saya juga sedikit tahu bagaimana kehidupan di pondok-pesantren. Di sana juga ada dua kakak saya yang pada waktu itu sedang mondok di sana. Sejak kecil pun, bahkan tidak jarang saya juga kerap kali diajak ke sana untuk sekadar menengok kakak-kakak saya yang mondok di sana maupun untuk menghadiri pengajian dan juga haul.

Singkat cerita, setelah kira-kira lima tahun belajar di madrasah Pondok tersebut, kebetulan pada waktu itu saya lulus dari sekolah MA Negeri Kendal. Setelah lulus MA, saya langsung melanjutkan studi di UIN Walisongo Semarang, dan berencana hendak sekalian mondok di Semarang, yang pondoknya tidak terlalu jauh dari kampus tempat saya kuliah. Jadi, mau tidak mau, saya harus meninggalkan kampung halaman saya dan juga madrasah di Pondok Pesantren Nurul Ihsan tersebut.

Setelah Masuk Monash

Di Semarang, saya kemudian mondok di Monash Institute. Sebelumnya saya tidak tahu, apa itu Monash Institute. Sebab, ceritanya, pada saat itu saya sedang verifikasi data bagi mahasiswa baru di kampus satu UIN Walisongo, kebetulan pada waktu itu saya bertemu dengan seorang cewek yang pada waktu itu dia sedang berbincang-bincang dengan teman-teman saya. Melihat mereka yang sedang memperbincangkan sesuatu, saya langsung menghampiri dan bergabung bersama mereka untuk mengetahui apa yang sedang mereka perbincangkan.

Pada waktu itu dia sedang mengajak teman-teman saya untuk masuk ke Monash Institute, tempat dia Mondok. Setelah beberapa saat ngobrol-ngobrol dengannya, kemudian saya tertarik untuk masuk ke Monash Institute yang dia maksud tersebut. Beberapa hari kemudian saya berangkat ke Monash Institute untuk mengikuti tes di sana. Setelah lulus tes tersebut, kemudian masih ada satu tes lagi, yang namanya test camp, dan alhamdulillah saya lolos.

Perubahan Pola Pikir dan Perubahan Gaya Hidup yang Luar Biasa

Monash Institute Semarang adalah tempat pertama kali saya mondok selama saya hidup. Di Monash, banyak sekali peubahan yang terjadi pada diri saya, mulai dari perubahan pola pikir sampai dengan pola hidup yang sangat mendasar. Dulu, sebelum masuk Monash, saya adalah orang yang sangat membenci dan menjauhi yang namanya politik. Sebab, sejak dulu, mindset yang ditanamkan pada diri saya adalah politik itu buruk dan penuh tipu daya. Sebab, banyak orang yang menghalalkan segala cara demi memenangkan persaingan dengan lawan politiknya. Tak segan-segan, dia juga tega mengorbanakan teman bahkan saudaranya sendiri.

Para politisi biasanya saat berkampanye, menjanjikan janji-janji manis yang tetapi kemudian setelah akhirnya dia terpilih, janji-janji manis tersebut tidak ditepatinya. Tak jarang, banyak juga di antara mereka yang memanfaatkan jabatannya untuk mengaruk uang negara sebanyak-banyaknya — yang seharusnya dialokasikan kepada rakyat — demi kepentingan pribadinya. Oleh sebab itulah, pada akhirnya saya membenci politik dan menjauhinya.

Tidak hanya politik, sebelum masuk Monash saya adalah juga orang yang tidak suka dengan hakim. Sebab, hakim adalah orang yang dipilih untuk memberi keadilan: membela yang benar (baca: ditindas) dan mengukum yang bersalah (baca: menindas); tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Banyak diantara mereka yang justru memenjarakan orang yang padahal aslinya tidak bersalah, dan malah membebaskan orang yang bersalah. Bahkan, guru ngaji saya juga pernah mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh hakim, masuk neraka.

Hal itu karena memang menjadi hakim itu berat godaannya. Tak jarang banyak yang menyuapnya dengan iming-iming yang sangat menggiurkan, sehingga banyak juga di antara mereka yang akhirnya tergoda olehnya. Bahkan di saat memberi hukuman kepada pajabat tinggi yang melakukan korupsi bermiliaran bahkan triliuanan pun, dia hanya menjatuhi hukuman yang sama sekali tidak setimpal dengan perbuatannya. Sedangkan bagi pencuri ayam, misalnya, dia menjatuhi hukuman penjara kepadanya bahkan sampai beberapa tahun. Sungguh suatu fenomena yang sangat miris dilihat. Sangat jelas terlihat betapa bobroknya negeri ini. Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Satu lagi hal yang tidak saya sukai sebelum saya masuk Monash adalah pendakwah. Sebab, banyak di antara mereka yang pada saat ceramah memberikan mauidhoh-mauidhoh yang sangat bijak, tetapi nol di dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka suka menjual ayat-ayat al-Qur’an, mencari penghidupan dari hasil “menjual agama”. Mereka — meminjam istilah Plato — adalah orang-orang yang suka menjual barang-barang spiritual. Mereka banyak yang munafik. Itu merupakan anggapan saya dulu.

Itulah mengapa, pada akhirnya, saya tidak suka dengan politik, hakim dan juga pendakwah. Tetapi semua itu berubah setelah saya masuk Monash Institute. Di Monash, Pak Nasih, guru utama di rumah perkaderan Monash Institute Semarang tersebut, memberikan pemahaman kepada seluruh Disciples termasuk saya, bahwa politik adalah jalan dakwah yang paling baik. Sebab, jika hanya sebagai orang kaya, kita hanya bisa menolong beberapa orang saja, tidak banyak. Tetapi dengan politik, kita bisa menolong lebih banyak orang, bahkan semua orang.

Jika hanya sebagai guru, kita hanya bisa mencerdaskan beberapa orang saja. Tetapi dengan politik, kita bisa mencerdaskan orang-orang dengan rasio yang lebih besar. Seperti contohnya; jika kita menjadi gubernur, misalnya; kita bisa membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyejahterakan orang-orang satu provinsi.

Bahkan jika kita menjadi presiden, kita bisa menolong orang-orang senegara, se-Indonesia. Atau, jika kita menjadi menteri agama, kita bisa membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menguntungkan Islam — tentunya dengan tanpa merugikan agama-agama lainnya. Itu semua hanya bisa dilakukan dengan jalan politik. “Jangan sampai politik diisi oleh orang-orang yang salah, yang dapat merugikan bahkan menindas Islam. Tetapi politik harus diisi oleh orang-orang yang baik. Kita harus bisa merebut kekuasaan dari tangan-tangan orang-orang yang salah, untuk bisa kita jadikan sebagai alat untuk berjuang memperjuangkan kebenaran.”

Begitulah kata Pak Nasih, guru yang selalu memberikan spirit dan selalu membakar-mengobarkan semangat kami. “Politik itu aslinya baik, hanya orang-orangnya saja yang tidak baik. Oleh karena itu, politik haruslah diisi hanya oleh orang-orang yang baik saja. Memang tidak mudah melakukannya, tetapi jika dengan berjamaah, kita pasti bisa. In Syaa Allah.”, pungkas Pak Nasih.

Begitupun dengan hakim dan pendakwah. Dari perkataan guru ngaji saya tersebut di atas, “Sembilan dari sepuluh hakim, masuk neraka.”, itu berarti bahwa tidak semua hakim itu buruk. Masih ada yang baik dan jujur, meskipun memang tidak banyak. Dengan memperkuat pondasi iman dan memperdalam pengetahuan tentang dasar-dasar keIslaman, maka kita, in syaa Allah, bisa menjadi hakim yang baik dan jujur. Dan itu semua diajarkan di Monash Institute.

Di Monash Institute, kami diajarkan dan memang diharuskan untuk menjadi mulsim yang fundamentalis dan radikalis; yaitu menjadi muslim  yang selalu berpegang teguh  kepada serta mendalami al-Qur’an dan hadits sebagai dasar-dasar (fundamental) Islam dan berpikir secara radikal, seakar-akarnya, agar kita dapat menjadi muslim yang benar dan tidak mudah digoyahkan, apalagi hanya dengan iming-iming duniawi yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang akan kita dapatkan di akhirat kelak.

Di Monash Institute, kami juga diberikan pemahaman bahwa setiap muslim itu diwajibkan untuk berdakwah, menyerukan ajaran-ajaran Islam kepada semua (QS. An-Nahl: 125), serta berbuat amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali Imran: 110). Setelah mengetahui hal tersebut, akhirnya sekarang saya sadar bahwa betapa pentingnya berdakwah dan hal itu menjadikan saya lebih bersemangat untuk terus mendalami Islam untuk kemudian bisa saya dakwahkan sampai ke pelosok negeri bahkan penjuru dunia. In syaa Allah.

Selain pola pikir, juga terjadi perubahan pola hidup yang sangat mendasar pada diri saya. Saya yang sebelumnya adalah orang yang suka membuang-buang waktu, melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat; kini setelah masuk Monash saya sadar, bahwa waktu merupakam sesuatu yang sangat berharga; jangan sampai ada waktu yang terbuang sedetik pun. Di Monash, kami diajarkan untuk menjadi orang yang berdisiplin tinggi, bahkan setiap agenda pun disediakan buku absensi yang berguna untuk melatih kedisplinan kami.

Sebelumnya, sebelum masuk Monash, saya adalah orang yang tidak terlalu suka membaca buku. Tetapi setelah melihat teman-teman saya yang di Monash banyak yang suka membaca; dan pada saat berdiskusi pun saya selalu merasa paling bodoh di antara mereka, sejak saat itu akhirnya muncul di benak saya bahwa saya harus banyak-banyak membaca buku. Sejak membiasakan diri untuk membaca buku, akhirnya saya mulai suka membaca buku dan menyadari betapa pentingnya membaca. Dan akhirnya sekarang saya berubah menjadi orang yang sangat suka membaca buku dan terus menerus bersemangat untuk belajar.

Saya yang dulunya tidak bisa ngomong dengan baik dan runtut — bahkan katanya saat saat bicara malah membingungkan — setelah di Monash saya mulai bisa mengungkapkan pikiran-pikiran serta gagasan-gagasan saya menjadi lebih baik dibanding dahulu sebelum masuk Monash. Di Monash kami juga diajari jurnalistik, mengungkapkan gagasan ke dalam bentuk tulisan. Selain itu, kami juga diajarkan untuk menjadi seorang pemimpin. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.” (HR. Bukhori).

Selain itu, sebenarnya masih banyak hal lagi yang saya dapatkan selama saya berada di Monash Institute. Saya benar-benar merasakan betapa besar manfaat dari hal-hal yang diajarkan di Monash. Semua yang diajarkan di Monash adalah hal-hal mendasar, yang efeknya luar biasa besar bagi perkembangan diri saya. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada, terutama Abah Nasih dan juga para mentor yang sangat gigih, ulet serta sabar dalam mendidik dan menggembleng serta “menempa” saya demi membentuk menjadi kader berkualitas dan menjadi pemimpin masa depan yang dapat diandalkan.

Saya berdo’a semoga Allah Swt. selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua, terutama sehingga kita dapat bersama-sama bersinergi memperjuangkan Islam rahmatan lil aalamiin dan mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridloi Allah Swt.. Aamiin.

Oleh: Muchammad Sirojul Munir, Mentor Monash Institute

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *