Oleh : M. Arif Rohman Hakim, Seorang Kader HMI yang Karena Kecelakaan Sejarah Harus Mengemban Amanah Menjadi Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah
Sebelum saya menulis tulisan dengan judul “Kartini, Kisah Seorang Gadis yang Tersesat di HMI”, saya juga pernah menulis beberapa tulisan seputar HMI, seperti diantaranya “Hymne HmI, Katanya“, “Jangan Panggil Aku Kader HMI“, “Surat Dari Seorang Demonstran“, dan “Aktivis Setengah Hati, Reinjeksi Arah Perjuangan HMI“.
Beberapa diantara tulisan tersebut bahkan menjadi bahan perbincangan di kalangan Kader dan Senior HMI. Namun, ada juga yang mengkritik tulisan saya dengan sangat tajam. Tapi tidak mengapa, sebab kata orang bijak; “Tak ada gading yang tidak retak”. Hahahaha, setidaknya, itulah pembelaan saya. Atau mungkin sebuah pembelaan untuk menghibur diri.
Dalam tulisan kali ini, saya akan menuliskan sebuah pengalaman salah seorang kader HmI. Ya, pengalaman ini dia sampaikan kepada saya, tepat beberapa hari setelah dia mengikuti sebuah latihan kader I (LK 1) HMI. Seperti kebanyakan Ketua Umum Komisariat yang lain, saat itu juga, saya “memanfaatkan” posisi ini untuk menggoda atau sekadar bertegur sapa dengan dia, termasuk juga kader-kader Hmi yang lain. Memang, kebanyakan yang saya tanggapi dengan serius adalah kader-kader perempuan yang menarik. Salah satunya kader yang akan saya ceritakan berikut ini.
Seperti kebanyakan “buaya-buaya HmI” lainnya, saya memulai menyapa dia dengan sebuah ucapan selamat atas kelulusannya mengikuti LK 1. Dan tentu saja, pesan ini saya ucapkan secara random. Untuk beberapa kader yang telah lulus. Namun, untuk membuatnya terasa lebih istimewa, saya sedikit pengubah awalan pesan. “Assalamu’alaikum, Dinda *******. Saya M. Arif Rohman Hakim, Ketua Umum HmI Komisariat Dakwah….bla…bla…bla…
Ya. Dalam pesan itu saya sebutkan nama lengkap beserta kedudukan di HMI. Berharap akan memberikan kesan tersendiri di awal chattingan. Meskipun sebenarnya dia sudah tahu saat pembukaan dan penutupan LK 1, tapi menurut saya itu tetap perlu disampaikan. Setidaknya itu bisa memberikan pembenaran bagi saya untuk memulai chat terlebih dahulu. “Bukankah Ketua Umum itu harus peduli terhadap setiap kader? Hahahaha”
Sebelum saya memulainya, saya sampaikan kepada pembaca bahwa dalam penulisan kali ini, saya tidak akan menyebutkan nama pemeran utama secara gamblang. Namun, saya akan menggambarkannya sebagai seorang gadis fiktif dengan nama “Kartini”. Alasan saya sederhana. Sebab nama Kartini sudah masyhur di telinga masyarakat Indonesia. Tak perlu berlama-lama, saya akan memulai cerita ini. Selamat membaca!!!
“Aku Kartini. Dilahirkan di bumi indah bernama Indonesia. Dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang tidak kekurangan harta. Mendiang Kakek dan Nenekku adalah seorang pengusaha. Jadi tentu saja meninggalkan harta yang tidak sedikit jumlahnya. Ayahku bekerja, harta melimpah. Ibuku pun juga bekerja dan harta bertambah melimpah.
Kedua kakakku berpendidikan tinggi. Katanya juga agar harta berlimpah. Dan aku juga diminta untuk menjadi terus belajar. Tentu agar dikemudian hari aku menjadi perempuan karir yang sukses. Dan tentu saja agar harta semakin berlimpah. Karena dengan semakin berlimpahnya harta, berarti aku akan dianggap hidup bahagia. Begitu kata kedua orang tuaku. Dan bahkan kata sebagian besar orang Indonesia.
Oleh karenanya, sejak usia satu tahun, aku dirawat oleh baby sitter. Usia dua tahun, Ayahku menyewa seorang Baby sitter lagi. Satu untuk mengurusi keperluanku, dan satu lagi untuk menemaniku bermain. Sejak usia tiga tahun, setiap harinya aku dititipkan di Paud. Berlanjut di usia empat tahun, oleh kedua orang tuaku, aku ditempatkan di sebuah Taman Kanak-kanak paling mewah di kotaku. Katanya untuk mengasah kecerdasan sejak dini.
Aku Kartini. Aku seorang anak kecil yang sejak usia enam tahun sampai 12 tahun dititipkan di Sekolah Dasar terkemuka dengan konsep ‘Full Day School’. Untuk mempermudah dan membantu pembelajaranku, Ayah memperkerjakan seorang sopir pribadiku untukku. Mengantarku ke sekolah pukul setengah tujuh, dan kemudian menjemputku pukul empat sore. Tepat saat orang-orang pulang bekerja. Tapi tidak untuk orangtuaku. Juga kedua Kakakku.
Sejak usia 13 sampai 15 tahun, aku kembali dititipkan di Sekolah Menengah Pertama di luar kota. Dan untuk mempermudah pendidikanku, Ayah membelikanku sebuah rumah yang cukup elit di tengah kota. Dan tentu saja, Ayah memfasilitasiku dengan seorang pembantu dan mobil pribadi, lengkap beserta supirnya.
Namun tidak seperti saat SD, kali ini Ayah juga menyewa beberapa guru bimbel yang berganti sesuai hari. Usia 15 hingga hampir 18 tahun, lagi-lagi aku dititipkan di sekolah menengah atas (SMA) terkemuka di luar kota. Kali ini Ayah menyewakan guru bimbel ‘double’. Memasuki semester 2 saat di kelas XII, aku tak hanya belajar dari guru bimbel “double”, tapi juga didaftarkan disebuah lembaga les privat agar lolos perguruan tinggi excelent. Katanya agar aku hebat, agar aku bahagia kedepannya.
Aku Kartini, dan aku sedang mencari. Aku mencari teman, karena semua saudara-saudaraku sibuk dengan kotak kecil bernama smartphone di tangan. Aku mencari pelukan, karena ibuku selalu sibuk mengumpulkan bongkahan berlian. Aku mencari panutan, karena ayahku yang selalu sibuk bepergian. Aku mencari tempat perlindungan, karena kakakku acapkali sering menghabiskan waktu dengan bermain game online. Bahkan saat aku pulang saat liburan.
Aku Kartini. Aku masih mencari. Hingga aku menemukan, sosok teman dengan keluarga penuh kenyamanan.
Lalu aku bertanya, dimana wujud uang yang selalu digaungkan akan memberi kebahagian? Dmana wujud ‘sekolahan’ yg selalu digaungkan akan memberikan kesuksesan?
Aku Kartini, dan lagi-lagi aku sedang mencari. Aku mencari apa sumber kebahagian. Karena meski bergelimang harta, aku merasa ada yang kurang. Kebahagiaan, itu yang aku cari.
Aku Kartini, dan lagi-lagi aku masih mencari.
Aku Kartini, dan jawabannya kudapatkan dari keluarga ini. Keluarga baruku yang notabene kecil di kampusku. Meski begitu, keluarga baruku ini penuh dengan kasih sayang dan kepedulian. Ketika aku didengarkan sebagai kader baru yang belajar bercerita, ketika aku “dipeluk” sebagai anak kecil yang lemah, ketika aku dipercaya dapat menjadi pejuang yang baik dan diberi motivasi bahwa kader baru yang baik akan menjadi penerus bangsa. Menurut kader-kader sepertiku, itulah bentuk kebahagiaan yang sesungguhnya.
Aku Kartini, pemilik kisah seorang gadis yang tersesat di HMI. Iya, aku tersesat. Karena setiap harinya berada di tempat yang asing. Kadang aku membicarakan Tuhan. Kadang aku berbicara Indonesia beserta issu-issu terkininya. Dan bahkan kadang aku mengakomodir keduanya, Ke-Islaman Ke-Indonesiaan, begitulah teman-teman menyebutnya.
Aku Kartini. Gadis kecil yang merindukan kebebasan. Di HMI aku mendapatkan itu, HMI tidak mengungkung pemikiranku pada suatu madzhab yang membuat nalarku mati.
Aku Kartini, seorang gadis lugu yang tersesat di HMI.
Aku Kartini, seorang gadis polos yang tersesat hanya karena tulisan “Berteman Lebih Dari Saudara” di sebuah kertas lusuh.
Aku Kartini, bukan seorang pahlawan, tapi ingin hidupku berarti
Aku Kartini,
Mantap tum