Pukul setengah tiga dini hari, Desa Tanjung Sari lengang dan sunyi. Hanya Pesantren Al-Mu’tazza yang mulai berdenyut ramai. Sebagian santri telah bangun, ada yang lirih mengaji, ada yang sujud Ilahi. Pukul empat sholawat tarhim berkumandang. Pengurus pesantren membangunkan seluruh santri untuk bersiap salat Shubuh berjamaah dan mengaji.
Ni’am hanya terlelap satu jam. Setengah tiga ia memejamkan mata dan setengah empat sudah harus bangun seperti biasa.
Usai berdzikir salat Shubuh, para santri langsung ikut pengajian berdasarkan kualitas. Ada yang bacaan Al-Qur’annya masih belum benar, ngaji al-Qur’an dibimbing oleh Gus Adit. Ada yang sedang mendalami ilmu Alat, ngaji kitab Alfiyah Ibnu Malik yang digelar Kang Rozaq. Ada yang ngaji kitab Tafsir Jalalain yang langsung diampu Kyai Fathan.
Pengajian kitab Jalalain dirasa para santri sangat istimewa. Pertama, diajar langsung oleh Pengasuh Utama Pesantren. Kedua, diadakan di ndalem Kyai Fathan. Ketiga, terbatas untuk santri senior. Tidak semua santri diperbolehkan ikut ngaji kitab tafsir Jalalain, hanya santri dewasa yang sudah lulus Aliyah yang diizinkan. Meskipun tidak bisa hadir setiap pagi, Ni’am termasuk santri yang ikut ngaji kitab tafsir Jalalain. Jika dirinya ada waktu luang, tidak harus ke pasar untuk membantu bagian dapur belanja, ia selalu ikut pengajian kitab itu.
Pagi itu adalah ngaji kitab Tafsir Jalalain. Berbeda dengan pesantren-pesantren lainnya, Perwakilan santri, dua sampai empat orang menekuri kitab. Sedangkan Pak Kyai Fathan duduk menghadap berlawanan dengan santri sambil memperhatikan bacaannya, barangkali ada yang salah atau kurang tepat.
Semua santri yang ikut ngaji khataman Tafsir Jalalain pagi itu mengerahkan semua konsentrasi untuk menangkap kata demi kata yang diucapkan Kyai Fathan. Tak boleh ada kata yang lepas, tak boleh lengah sedikit pun, apalagi mengantuk. Semua santri berkonsentrasi tinggi. Kecuali Ni’am. Santri yang sekaligus khadim untuk segala urusan itu tertidur pulas bersandar di dinding ruang tamu Kyai Fathan. Ni’am yang kelelahan mengawal Neng Husna tak mampu menahan kantuknya. Anak itu nyaris datang ke pengajian untuk tidur. Suara dengkurnya bahkan terdengar oleh santri yang ada di kiri dan kanannya.
Pengajian Kitab pagi itu selesai tepat jam Enam pagi. Kyai Fathan telah meninggalkan tempat mengaji, dan para santri pun satu per satu meninggalkan ruang tamu kyainya itu dengan penuh khidmat dan hati-hati. Ni’am sengaja dibiarkan tetap tertidur dan tidak dibangunkan. Para santri sengaja mengerjai.
Ruang tamu Kyai Fathan kini sepi, hanya ada Ni’am yang tertidur pulas dengan posisi duduk menyandar tembok. Suara dengkurnya terdengar sampai ruang makan. Saat itu Kyai Fathan, Bu Nyai Inarotul, dan Neng Husna bersiap untuk sarapan. Di waktu yang sama Gus Adit dan istri (Ning Sa’diyah) datang dari pintu belakang hendak gabung sarapan bareng. Mendengar suara yang tidak biasa, Kyai Fathan meletakkan jari telunjuknya di bibir, meminta semuanya diam. Suara dengkur itu terdengar nyaring.
“Siapa yang masih tidur mendengkur itu?” tanya Kyai Fathan.
“Sepertinya dari ruang tamu, Bah. Coba saya lihat!” sahut Gus Adit
Putra nomor tiga Kyai Fathan itu bangkit dan melihat ke ruang tamu.
“Ma Syaa Allah, itu si Ni’am, Bah. Dia terdidur pulas sendirian. Kok ya teman-temannya tega tidak membangunkan. Dia pasti kelelahan gara-gara ngawal Neng Husna sampai ke Gegesik tadi malam. Biar saya bangunkan!”
“Jangan, Dit! Biarkan, saya sendiri nanti yang membangunkan dia. Ayo kalian sarapan, Abah mau nambah wiridan dulu!” Kyai Fathan bangkit dan berjalan pelan menuju kamarnya. Ia mengambil bantal lalu ke ruang tamu, dan dengan penuh kasih sayang merebahkan Ni’am pelan-pelan untuk bisa tidur di lantai dengan memakai bantal. Ni’am tidak terusik sedikit pun tidurnya. Gus Adit melihat dengan seksama kasih sayang yang diberikan ayahnya kepada santrinya.
Kyai Fathan kembali masuk ke kamar. Disana ulama sepuh yang sangat dihormati itu menggelar sajadahnya untuk salat Dhuha dan berdzikir tak kurang satu jam lamanya. Jam sembilan, Kyai Fathan keluar dari kamar dan melihat ruang makan telah sepi. Semuanya sudah melanjutkan aktivitas hari itu. Suara dengkur Ni’am masih menggema di ruang tamu. Kyai Fathan tersenyum, ia mendekati khadim-nya itu dan membangunkannya. Ni’am menggeliat bangun dan kaget melihat kondisi dirinya: dibangunkan oleh Kyai Fathan, dan tidur memakai bantal di ruang tamu itu. la langsung teringat bahwa habis shubuh tadi ia mengaji di situ, lalu jatuh tertidur.
“Mohon maaf, Romo Kyai. Ni’am tertidur.”
“Tidak apa-apa, sana kamu mandi terus kesini Iagi ya, temani aku sarapan.”
“Menemani Romo Yai sarapan?”
“Iya, kamu keberatan?” Ni’am menggeleng.
“Kamu puasa?” Ni’am juga menggeleng.
“Kalau begitu sana segera mandi, aku tunggu untuk menemani sarapan. Aku sudah lapar.”
“Injih, Romo Kyai.”
Ni’am bangun dan bergegas ke kamar. Hatinya bergetar membuncah bahagia. Sepanjang hidupnya, baru kali ini ia diminta menemani sarapan Kyai yang sangat dihormatinya itu. Ni’am cepat-cepat mandi lalu berkemas memakai baju dan sarung terbaiknya, meskipun semuanya sederhana.
Saat Ni’am kembali datang, Kyai Fathan masih duduk di sofa nyambi murojaah Al-Quran. Melihat Ni’am, ulama yang sudah berumur lebih enam puluh tahun itu tersenyum dan menyudahi bacaan. la mengisyaratkan agar Ni’am mendekat. Kyai lalu mengajak pemuda itu duduk di ruang makan.
Sesungguhnya seluruh sudut rumah itu tidak asing bagi Ni’am, kecuali kamar Kyai Fathan. Seluruh ruangan adalah area kerjanya. Ia biasa menyapu dan mengepel. Hanya kamar Kyai Fathan yang tidak pernah ia sentuh. Ruang makan termasuk area yang paling sering masuki, karena selain membersihkan ruangan itu, ia juga sering membantu Mbok Lin menata hidangan di sana.
Tetapi entah kenapa pagi itu ia memiliki perasaan yang sangat asing, saat memasuki ruang makan tersebut. Tak lain dan tak bukan karena momen pagi itu yang sangat berbeda. Jika sebelumnya ia biasa memasuki ruang itu untuk membersihkan dan menata makanan, kali ini ia memasukinya karena diminta Kyai Fathan sarapan bersama. Sebenarnya menunya pun pasti serupa dengan menu yang akan ia makan jika ia mengambil jatahnya sendiri di dapur, seperti yang sering ia lakukan. Yang membuat menu sarapan pagi itu terasa sangat istimewa adalah karena ia akan makan bersama dengan sosok yang paling dihormati di pesantren itu.
Ketika Kyai Fathan mempersilakannya duduk, Ni’am merasa canggung. Selama ini saat lewat di hadapan kyainya itu ia sama sekali tidak berani berdiri tegak. Memandang langsung ke arah wajahnya pun tidak berani. Tiba-tiba kini ia diminta duduk di hadapan kyainya itu.
“Tidak apa, duduklah. Santai saja, ‘Am.”
“Injih, Romo Kyai.”
Kyai Fathan mengambil piring dan mengambil nasi dari rice cooker.
“Segini cukup, ‘Am?”
Ni’am kaget, karena dilayani kyainya.
“Ampun Romo Kyai, biar saya ambil sendiri.”
“Duduklah! Segini cukup?”
“Nggih, cukup, Romo Kyai.”
Kyai Fathan meletakkan piring berisi nasi tepat di hadapan Ni’am. Kyai sepuh itu lalu mengambil nasi untuk dirinya.
“Ayo kita sarapan, lauknya ambil sendiri!”
Ni’am lalu melahap sarapan paginya dengan sangat hati-hati. la terus menunduk, pandangannya hanya tertuju ke piring nasinya. la sama sekali tidak berani memandang wajah teduh Kyai Fathan.
“Tambah lagi, ‘Am!”
“Sampun, Romo Kyai.”
Keduanya sudah selesai sarapan. Kyai Fathan mengambil pisang untuk cuci mulut.
“ ‘Am, aku mau minta maaf padamu.”
“Minta maaf apa, Romo Kyai?”
Kyai Fathan mendesah.
“Minta maaf atas kelakuan Husna tadi malam yang nyaris mencelakakan kamu. Aku sudah tahu semuanya. Tadi malam dia sudah aku marahi, tapi dia memang anak keras kepala.”
“Saya tidak apa-apa kok, Romo Kyai.”
“Sebenarnya aku sering agak jengkel sama keras kepalanya anak itu, tapi aku malah seperti melihat cermin. Ya seperti itu watakku waktu masih muda dulu. Aku ini dulu dikenal sebagai anak yang sering mau menang sendiri. Mungkin sifatnya menurun pada Husna. Tapi yang aku suka pada anak itu, dia jujur dan bertanggung jawab,”
“Injih, Romo Kyai.” Ni’am langsung ingat bagaimana Husna membela dirinya saat dimarahi Gus Adit tadi malam.
Tak segan Husna berkata jujur bahwa itu adalah kesalahannya.
“Itu hal pertama yang ingin aku sampaikan kepadamu. Aku lega kau sudah memaafkan kesalahan Husna. Sekaligus aku berterima kasih karena kau telah mengawal dan menyelamatkan nyawa Husna. Ya, sejatinya yang menyelamatkan adalah Allah, tapi tindakanmu yang gesit banting setir itu jadi wasilah-nya. Hal kedua yang ingin aku sampaikan padamu ini sangat penting.”
“Injih Romo Kyai, sami’na wa atha’na.”
“Waktumu ngaji dan belajar di pesantren ini sudah khatam. Sudah saatnya kamu pulang ke Surabaya. Keluarga dan masyarakatmu saat ini sangat memerlukan kehadiranmu. Berkemaslah, dan besok pulanglah ke Surabaya! Tiket perjalananmu sudah diurus sama Adit.”
Ni’am sangat kaget mendengar perintah itu. Tak sadar ia mendongak dan menatap wajah kyainya, seolah minta peneguhan bahwa yang ia dengar itu adalah perintah yang benar. Kyai Fathan mengangguk lalu memejamkan mata.
“Harus besok, Romo Kyai?”
Kyai Fathan mengangguk.
“Tapi skripsi saya belum rampung, Romo Kyai….”
Itu adalah satu-satunya pertanyaan bernada membantah yang pernah keluar dari mulutnya kepada Kyai Fathan. Kyai Fathan tersenyum.
“Aku tahu, kau masih berat meninggalkan pesantren ini.
Tidak hanya masalah skripsi, kau masih ingin ngaji di sini.”
“Leres, Romo Kyai.”
“Ketahuilah Anakku, aku lebih berat lagi melepasmu Kalau mementingkan ego pribadiku, aku ingin kamu di sini terus menemani sampai aku menghadap Rabbul ‘Alamin. Tapi keluarga dan masyarakatmu saat ini sangat memerlukan kamu.” Kedua mata Kyai Fathan berkaca-kaca.
“Untuk skripsi, kau bisa garap sambil jalan saja di kampungmu sana. Biar Gus Adit nanti yang memberitahu dosen pembimbingmu. Dia akan setuju dan membantumu, insya Allah.”
“Baiklah Romo Kyai, sami’na wa atha’na. ”
“Oh ya satu lagi, hal yang ketiga, titip Husna ya!”
“Maksud Romo Kyai?”
“Dia harus ke Surabaya untuk lanjut kuliah di Fakultas Kedokteran UNAIR. Dia akan tinggal di rumah kakak sulungnya. Harusnya aku sendiri, atau Adit yang mengantar Husna ke sana, tapi kami berdua berhalangan. Jadi sekalian kau pulang ke Surabaya, titip Husna dan antarkan ke rumah Aziz.”
Ni’am mengangguk, yang dimaksud dengan Aziz adalah KH. Abdul Aziz. Lc, putra sulung Kyai Fathan yang kini menjadi pengasuh pesantren di Sukolilo, Surabaya. la sudah tiga kali ke sana menemani Fathan.
“Oh ya, pas Ngaji tadi kamu tidur ya?”
“Injih.” Ni’am kembali menunduk dalam-dalam. la merasa mukanya memerah karena sangat malu.
“Tidak apa-apa. Semua yang aku berikan saat ngaji tadi juga aku berikan kepadamu, Kau bisa menyalinnya dari Ismail.
“Qabiltu, Romo Kyai.”
“Sudah cukup ya sarapannya, sekarang segera kemasi yang perlu kamu kemasi! Termasuk masalah kolam ikan dan semua amanah yang saat ini kamu pegang bisa kamu koordinasikan dengan Cak Faqih.”
“Injih, Romo Kyai.”
Niam bangkit dan mencium tangan Simbah Kyai Fathan untuk pamit. Saat Niam mencium ulama penyayang itu, keharuannya tidak bisa ditahan. la menangis terisak-isak. Air matanya mengalir membasahi punggung tangan kanan Kyai Fathan. Niam seperti tidak mau melepaskan tangan orang yang selama ini mengayominya. Kyai Fathan sendiri yang berhati lembut tak kuasa menahan lelehan air matanya, dan membiarkan santrinya itu meluapkan keharuannya hingga puas. Sesaat lamanya Niam menangis. Tangan kiri Kyai Fathan mengusap pundak santri yang sangat patuh itu. Dari kamarnya, Husna mendengar semua pembicaraan tersebut. Diam-diam kedua matanya ikut basah. Dia adalah gadis yang keras kepala kalau punya kemauan, tetapi sesungguhnya berhati lembut.
“Sudahlah Niam, Anakku, kau pulang ke kampung bukan berarti kita putus hubungan. Kau tetap santri dan anakku. Aku adalah ayahmu. Insya Allah kita masih akan sering bertemu. Sudah, sudah, bismillah ‘ala barakatillah!”
Niam melepaskan tangan sang kyai lalu menyeka kedua matanya.
“Assalamu’alaikum,” lirihnya lalu melangkah keluar.
“Wa’alaikumussalam.”
Sepanjang langkah dari rumah Kyai Fathan menuju kamarnya, rasanya ia masih ingin menangis keras, tetapi ia tahan agar tidak menyita perhatian. Niam tidak langsung ke kamar, melainkan cepat-cepat ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menghapus jejak tangisnya.
Oleh: Ma’bad Fathi (Santri yang sedang mencari jati diri)
Ceritanya apik, kiayi !