Ada gejala keagamaan baru yang melanda kelompok muda perkotaan sebagai dampak dari kehidupan kota yang urban, yakni gejala pubertas religi. Anak-anak muda kota yang asing dengan konsep agama semenjak kecil dan penuh gaya hidup hedonistik mulai memiliki kesadaran religius. Agama buat mereka adalah jalan yang harus ditempuh untuk keluar dari kekeringan kehidupan kota.
Dipelopori Ustad Hannan Attaki, seorang alumnus Al-Azhar, mereka membentuk kelompok agama berbasis kaum muda perkotaan yang kemudian dikenal sebagai gerakan hijrah ( shift movement ). Hijrah sendiri dalam sejarah islam menandai peristiwa peprindahan Nabi Muhammad SAW dari kota Makkah ke Madinah. Makna hijrah kemudian merujuk pada perubahan diri seseorang yang sekuler menjadi religius.
Gerakan hijrah mengundang minat anak muda perkotaan agar lebih menjadi ‘islami’ dan tidak menjadikan agama sebatas identitas formal. Secara sosiologis, hijrah adalah ekses dari kegagalan kehidupan modern memberikan kebahagiaan hidup sebagai tujuan utama manusia ( good life). Lantas agama menjadi arus balik bagi kehidupan mereka untuk kemudian memposisikan agama sebagai pedoman dan petunjuk hidup.
Gejala tumbuhnya kembali minat keberagamaan masyarakat kota sebenarnya bukan gejala baru. Peter Burger, ahli sosial Amerika mengidentifikasi gejala tersebut di era 70-an saat kelompok pemuda Amerika mulai aktif dalam kegiataan gereja. Gejala ini disebut desekularisasi. Gerakan hijrah merupakan bagian dari proses desekularisasi di Indonesia. Namun, proses desekularisasi ini kemudian memunculkan permasalahan baru bagi corak pemahaman islam anak-anak muda perkotaan.
Karakter dakwah kelompok hijrah mendekati model pemahaman islam timur tengah dengan corak pemikiran purifikasi Islam. Purifikasi Islam memiliki asumsi dasar untuk memurnikan ajaran Islam melalui pendekatan al-qur’an dan sunnah secara totaliter. Hal ini dapat dimengerti sebab pendekatan yang paling tepat untuk memberikan pemahaman agama bagi anak muda yang sama sekali tidak memiliki dasar pengetahuan agama adalah dengan pendekatan tekstual dan praktis. Akan tetapi, pendekatan testual dan praktis menimbulkan pemahaman agama yang cenderung kaku dan simbolik.
Mereka yang mengalami proses desekularisasi lewat kelompok hijrah kemudian bertransformasi menjadi pribadi konservatif dalam memahami ajaran-ajaran islam. Hukum islam ( fiqh ) diterapkan secara literal tanpa kajian yang benar-benar mendalam seperti yang biasa dilakukan oleh kelompok keagamaan ortodoks seperti NU dan Muhammadiyah. Paradigma agama dibangun berdasarkan efektifitas menyampaikan pesan keagamaan. Ritme kehidupan kota yang praktis dan dinamis tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggali ajaran Islam secara akademis.
Meskipun dari segi metodologi kelompok hijrah telah mampu mentransformasi anak muda sekuler menjadi lebih Islami, tetapi pendekatan yang digunakan berdampak pada proses simplifikasi agama atau pendangkalan agama. Agama direduksi sebatas simbol dan kalaupun dipahami secara mendalam, sebatas pada hukum islam yang berkisar pada topik halal-haram. Islam sebagai agama mengandung banyak dimensi selain dimensi hukum (fiqh) terdapat dimensi lain seperti aqidah, akhlaq, tassawuf, budaya islam dan sebagainya.
Dalam konteks hubungan islam dengan unsur kebudayaan lokal, mereka cenderung bersikap kurang apresiatif dan bias. Gejala ini sudah dibaca Gus Dur ketika di tahun 1980-an menulis soal pribumisasi islam. Dalam pandangan Gus Dur beberapa kelompok muslim konservatif menonjolkan segala hal yang dianggap budaya arab seperti memakai gamis, berjenggot, bercadar, mengganti nama arab dan sebagainya. Mereka memahami agama islam identik dengan budaya arab. Menjadi seorang muslim tidak valid jika tidak ter-arabi-sasi.
Terlepas dari persoalan tersebut, gerakan hijrah telah mampu melakukan desekularisasi terhadap anak muda perkotaan yang selama ini tidak bisa dilakukan secara efektif oleh organisasi keislaman di tingkat perguruan tinggi atau masyarakat umum. Persoalan pemahaman keagamaan ( manhaj) adalah persoalan interpretasi atas sebuah ajaran agama. Setiap kelompok agama selalu membentuk paradigma yang heterogen. Ini menjadi fakta sosial bahwa Islam adalah agama inklusif yang membuka ruang bagi perbedaan pemahaman tanpa harus mengorbakan sikap ukhuwah Islamiyah.
*Mohamad Khusnul Mubaroq, aktivis HMI.