Beberapa pekan terakhir, media disibukkan dengan pemberitaan tentang kelompok-kelompok baru yang mengklaim kekuasaan baru di Indonesia. Nama dari kelompok-kelompok tersebut beragam, ada yang menggunakan ketambahan kata kerajaan, keraton, dan kesultanan, di antaranya misalkan Kerajaan Jipang, Keraton Agung Sejagat, dan Kesultanan Selecau Tunggul Rahayu. Bahkan ada pula yang menggunakan istilah dari bahasa Inggris, Sunda empire.
Dengan serangkaian cerita yang mereka klaim sebagai sebuah fakta sejarah, hal yang demikian mampu menjaring masyarakat untuk menjadi pengikut kelompok mereka. Dengan pakaian lengkap khas para penguasa kerajaan atau keraton terdahulu, para pemimpin dari tiap-tiap kelompok mampu memberikan daya tarik tersendiri bagi pengikutnya. Tujuan dari berdirinya kerajaan atau keraton ini patut diacungi jempol, karena mereka ingin mengubah tata pemerintahan dunia.
Jika menilik UUD 1945 Pasal 18b ayat 2 yang berbunyi: “Negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dari uraian undang-undang tersebut, pada dasarnya tidak salah jika masyarakat tetap mempertahankan hukum-hukum adat beserta bentuk-bentuk penyelenggaraannya selagi masih sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan negara terhadap kesatuan hukum adat, tidak terlepas dari kontribusi yang diberikan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara dalam proses perjuangan dan pendirian negara Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, banyak sekali kerajaan-kerajaan yang menyatakan diri masuk ke dalam kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bahu-membahu dalam memberikan yang terbaik untuk pembangunan Indonesia. Sebagaimana yang dilakukan Sultan Syarif Kasim II yang memberikan harta sebanyak 13 juta gulden dan Sultan Hamengku Buwono IX yang menyumbangkan harta sebanyak 6,5 juta gulden kepada Indonesia.
Ramalan Jayabaya
Dalam mitologi Jawa disebutkan bahwa kelak akan datang seseorang yang akan menyelematkan manusia dari segala macam bahaya. Dia akan membawa keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat. Sebab, kondisi masyarakat saat itu sedang carut marut. Seseorang tersebut familiar dikenal dengan nama Satria Piningit. Satria Piningit adalah sosok kesatria yang memiliki tiga karakter: Satria Bayangkara, Satria Raja, dan Satria Panandita.
Satria Bayangkara adalah sosok kesatria yang mampu bersikap adil dan mengayomi. Satria Panandita adalah sosok kesatria yang berorientasi jujur, tegas, adil, dan amanah. Satria Raja adalah sosok kesatria negarawan yang mengabdi hanya demi kepentingan rakyat.
Istilah Satria Piningit pertama kali muncul dalam ramalan salah satu raja dari kerajaan Kediri, Raja Jayabaya. Dalam ramalan itu, Jayabaya meramalkan bahwa ketika malapetaka alam datang, keadaan sosial sedang mengalami kemelut, dan raja besar jatuh dari tahtanya, maka akan datang sosok Satria Pinginit. Pada waktu itulah ada sebuah harapan baru bagi masyarakat. Ramalan itu cukup kuat dalam benak masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang tetap menjaga dan mensakralkan ajaran ini hingga sekarang, dan bahkan sangat meyakini hal itu akan benar terjadi.
Melihat kondisi Indonesia saat ini yang penuh dengan berbagai macam masalah, seperti kasus mega korupsi Jiwasraya, skandal suap KPU, banjir bandang melanda beberapa daerah, dan lain-lain, serta ditambah lagi dengan ketidakmampuan sebagian besar masyarakat mengikuti perkembangan teknologi yang begitu masif. Maka, tidak heran jika banyak masyarakat yang merindukan sosok yang mampu mengayomi dan menjadi pemimpin bagi mereka. Dalam hal ini, sangat memudahkan para raja baru diterima dan seolah menjadi sosok yang mereka idamkan, serta ditambah lagi dengan ingatan masyarakat tentang sosok Satria Piningit.
Professor Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa Ratu Adil adalah simbol pembebasan yang sangat penting bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat Jawa. Ratu Adil memiliki unsur eskatikologi dan mesianisme yang cukup kuat.
Peristiwa munculnya kerajaan-kerajaan baru ini, patut dijadikan bahan refleksi dan kritik bagiamana keadaan negara Indonesia saat ini. Rendahnya angka literasi masyarakat, ketimpangan ekonomi dan sosial, serta berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah adalah segudang masalah yang harus segera diperbaiki. Hal ini menjadi PR besar bagi segenap pemangku kebijakan publik, terutama yang telah menjanjikan segenap program unggulan kepada masyarakat.
Berat rasanya jika harus menitik beratkan beban tersebut kepada pemerintah saja, maka sinergitas antar elemen masyarakat menjadi sebuah jalan tengah yang cukup efektif. Bahu-membahu dan saling menanggung sama berat adalah sebuah keharusan demi kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam bi al-shawwab.