*Oleh: Jesika, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Perkembangan pesat pada kemajuan teknologi saat ini telah melahirkan teknologi canggih dalam bidang persenjataan yang dikenal sebagai Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS). Perkembangan pesat teknologi senjata ini telah memicu pro-kontra dalam bidang Hukum Internasional, yakni di satu sisi LAWS menawarkan keuntungan militer yang signifikan.
Namun di sisi lain, penggunaannya berpotensi melanggar prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia. Hal tersebut menimbulkan tantangan baru bagi Hukum Internasional yakni dalam menyeimbangkan kepentingan keamanan nasional dengan prinsip-prinsip HAM.
Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS) yang memiliki arti sistem senjata otonom, dalam penggunaanya dapat beroperasi tanpa campur tangan manusia secara langsung. Teknologi ini mencakup robot bersenjata, drone otonom, hingga sistem kecerdasan buatan yang dapat mengambil keputusan mematikan secara independent, atau dikenal juga sebagai robot pembunuh.
Teknologi yang digunakan dalam LAWS mencakup hasil dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), sensor, serta serangkaian algoritma pemprosesan pengolahan data. Pada tahap awal, algoritma terlebih dulu mengidentifikasi sebuah sasaran, kemudian berupaya untuk menganalisis situasi, kemudian algoritma akan mengambil keputusan sasaran yang telah diprogram. Jika target serangan dipilih, sistem mengarahkan senjata, mengeksekusi serangan dan menerima informasi sensor untuk penilaian.
Perkembangan teknologi ini sebagian besar digunakan untuk memenuhi keinginan suatu negara untuk memiliki persenjataan yang lebih baik daripada negara lain. Oleh karena itu, kemajuan dalam teknologi persenjataan akan berdampak pada pilihan negara tentang strategi pertempuran dan pembuatan senjata baru untuk digunakan dalam peperangan.
Untuk mengurangi risiko cedera bagi personel militer, terutama di daerah konflik, negara-negara akan mempertimbangkan untuk mengganti personel militer mereka dengan senjata canggih yang dapat dioperasikan dari jarak jauh dan bahkan tidak memerlukan intervensi manusia sama sekali.
Meskipun Lethal Autonomous Weapons Systems (LAWS) memiliki banyak potensi untuk meningkatkan kemampuan militer. Namun, akan menimbulkan efek yang sangat besar terhadap hak asasi manusia (HAM) dan Hukum Internasional daripada manfaat yang diperoleh. Jika sistem otonom membuat keputusan tanpa campur tangan manusia, nilai-nilai dasar kemanusiaan akan terancam. Perlindungan terhadap hak hidup bergantung pada nilai-nilai etika dan moral manusia.
Dalam situasi konflik, senjata tersebut dapat salah mengidentifikasi target, seperti warga sipil atau kelompok non-kombatan lainnya. Kesalahan semacam ini melanggar Hukum Humaniter Internasional, seperti Konvensi Jenewa, yang melindungi orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran, serta merugikan korban.
Selain itu, dari sudut pandang Hukum Internasional, penerapan LAWS memperumit peraturan perang. Konsep dasar hukum humaniter seperti “distinction” dan “proportionality” menjadi sulit diterapkan pada sistem senjata otonom, yang dimana prinsip dasar proporsionalitas dan diskriminasi harus diterapkan pada senjata untuk melindungi warga sipil dan mencegah penderitaan yang tidak perlu. Senjata otonom dapat melanggar prinsip-prinsip ini karena tidak dapat membedakan antara kombatan dan non-kombatan.
Dalam Klausul Martens juga menekankan bahwa konsekuensi moral dari penggunaan senjata tersebut harus dipertimbangkan kembali. Dimana hukum kemanusiaan harus terikat dengan pihak yang terlibat konflik, yang berasal dari prinsip-prinsip kemanusiaan dan hati nurani masyarakat internasional.
Klausul ini memberikan perlindungan tambahan bagi warga sipil dan anggota militer walaupun jika tidak ada peraturan yang jelas.
Dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh Human Right Watch, Regulasi Internasional terkait yang berkaitan dengan LAWS saat ini masih dibahas. Sejak 2017, sebuah Group of Government Experts (GGE) telah dibentuk dalam kerangka Convention on Certain Conventional Weapons (CCW) untuk membahas bagaimana mengatur pengembangan dan penggunaan sistem senjata ini.
Namun, karena risiko operasional dan celah hukum yang sulit memastikan tanggung jawab atas pelanggaran HAM, banyak negara dan kelompok menuntut larangan preemptif terhadap penggunaan LAWS. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) juga tidak ketinggalan memberikan penekanan pentingnya perjanjian internasional yang berlaku bagi senjata otonom tersebut, bahwa sistem ini akan sama legalnya agar dapat diprediksi, dipahami dan karenanya akan mematuhi Hukum Humaniter Internasional.
Selain itu, kehadiran LAWS juga menimbulkan masalah besar berkenaan dengan akuntabilitas. Jika sistem ini melakukan tindakan mematikan, bagaimana dan siapa yang dapat dibertanggung jawab kan apabila ada kesalahan tersebut apakah programmer, produsen, atau pengguna sistem tersebut. Ketidakjelasan seperti dapat membuka peluang pelanggaran hukum dan tidak ada yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan.
Dimana yang pada dasarnya keputusan untuk menghilangkan nyawa haruslah melibatkan khalayak yang tentu saja berlandaskan terhadap hati nurani dan rasa tanggung jawab. Bila keputusan tersebut diambil oleh mesin, kita tidak hanya menghiraukan isu moral, tetapi juga merendahkan kelompok manusia yang rentan dalam pertempuran. Sebab itu, perlembangan teknologi ini seharusnya dipandang dari sisi kemanusiaan dan tidak hanya untuk tujuan efisiensi. Dengan begitu dibutuhkan akan adanya regulasi internasional yang ketat untuk mengendalikan penggunaan LAWS agar tidak membahayakan hak asasi manusia.
Komitmen negara-negara terkait perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, serta kebebasan dasar, juga harus menjadi prioritas teratas dalam pengembangan dan penerapan LAWS. Tanpa prinsip ini, teknologi canggih yang disebut sebagai LAWS hanya akan memperburuk pelanggaran hak asasi manusia dan lebih lanjut menciptakan kekacauan dalam system Hukum Internasional. Negara-negara harus bekerja sama agar tujuan pengembangan LAWS tidak hanya mencari keuntungan militer tetapi lebih bertujuan untuk melindungi kemanusiaan dengan segala cara yang memungkinkan. Dengan langkah-langkah ini, keseimbangan yang lebih baik antara kebutuhan militer dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dapat dicapai dengan cara yang lebih bertanggung jawab.*Top of Form**
*Diolah dari berbagai sumber.