*Oleh: Dr. Imam Asmarudin, SH., MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.
Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tercantum secara tegas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagai negara yang menganut konsep Negara hukum keberadaan peradilan administrasi merupakan salah satu pilar penting dalam kokohnya suatu Negara hukum.
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan administrasi merupakan salah satu bentuk sarana peradilan yang diberikan negara dalam rangka pemenuhan jaminan hak-hak warga Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem hukum adminstrasi menjadi muara dari semua proses perlawanan warga Negara atas ketidak adilan yang dilakukan oleh penguasa. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan.
Fenomena saat ini korektif dari Peradilan Tata Usaha Negara justru sering terabaikan, yakni dengan munculnya ketidakpastian dalam pelaksaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap dan hal itu menjadi sebuah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat para pencari keadilan, Pejabat Tata Usaha Negara terkesan membiarkan dan melalaikan atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang harusnya dilaksanakan namun yang terjadi adalah sebaliknya. Tingkat keberhasilan pelaksanaan putusan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah.
Kepatuhan dalam menjalankan putusan Peradilan menjadi suatu indikator bahwa hukum itu benar-benar ada dan diterapkan secara konsekuen dan murni terutama bagi negara yang menganut konsep Negara hukum.
Ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap pada hakekatnya merupakan bentuk pembangkangan terhadap Mahkota dari suatu lembaga peradilan.
pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam ketentuan pasal 116 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni dengan mekanisme pelaksanaan putusan dengan menggunakan upaya paksa administratif dan perdata berupa pengenaan uang paksa.
Pada praktiknya mekanisme ini kurang efektif karena masih ada Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak patuh melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dan cenderung melalaikan, terkesan melakukan pembangkangan.
Kekuatan daya paksa pelaksanaan putusan peradilan TUN semakin tidak “bertaring” bagaikan “macan ompong”, perlu ada upaya selain dari upaya paksa administratif dan pengenaan uang paksa.
Dengan mengkloning daya paksa yang bersifat fisik dengan menggunakan paksa badan sebagaimana yang diterapkan dalam Penagihan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa setidaknya akan ada kepatuhan dalam melaksanakan putusan, meskipun paksa badan merupakan langkah yang paling “terakhir (Ulltimum Remedium)” manakala ketentuan pasal 116 Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak dilaksanakan dan Pejabat Tata Usaha Negara “tidak beritikad baik” melaksanakan Putusan sebagai Mahkotanya Peradilan.
Oleh karenanya perlu ada gagasan pemikiran agar ada kepatuhan dalam melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang akan datang perlu melakukan Re-Formulasi Upaya Paksa Peradilan Tata Usaha Negara agar nilai kepastian hukum bagi pencari keadilan dapat terwujud.
*dikutip dari berbagai sumber.