Dalam era digital, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Instagram, salah satu platform terbesar, telah melahirkan berbagai fenomena unik, salah satunya adalah keberadaan second account atau akun kedua. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah second account merupakan kebutuhan nyata atau hanya manifestasi dari kecanduan media sosial.
Second account biasanya dibuat untuk tujuan yang berbeda dari akun utama. Jika akun utama biasanya digunakan untuk berbagi momen dengan publik atau teman-teman secara luas, akun kedua sering kali memiliki audiens yang lebih terbatas dan intim. Akun ini sering disebut dengan istilah *finsta* (fake Instagram) dan biasanya digunakan untuk berbagi konten yang lebih personal, tidak terfilter, atau bahkan bersifat eksperimental.
Banyak pengguna, terutama dari kalangan remaja dan dewasa muda, merasa second account memberikan ruang bagi mereka untuk lebih bebas berekspresi tanpa takut dihakimi. Hal ini juga memungkinkan pengguna untuk menghindari tekanan sosial yang sering muncul di akun utama, di mana setiap unggahan sering kali dipantau oleh ratusan hingga ribuan pengikut.
Namun, di balik manfaat yang terlihat jelas, fenomena ini menimbulkan tanda tanya: apakah kebutuhan akan second account mencerminkan kebutuhan emosional yang mendalam, atau justru mengindikasikan gejala kecanduan media sosial yang semakin parah?
Bagi sebagian orang, second account adalah bentuk kebutuhan yang nyata. Kehidupan di media sosial sering kali penuh tekanan. Pengguna merasa harus menunjukkan versi terbaik diri mereka, mulai dari foto yang estetik hingga pencitraan hidup yang sempurna. Hal ini bisa menjadi beban, terutama bagi mereka yang memiliki banyak pengikut atau berada di bawah sorotan publik. Akun kedua memungkinkan pengguna untuk beristirahat dari citra ideal tersebut.
Mereka dapat mengunggah konten secara spontan tanpa rasa takut akan komentar negatif atau perbandingan sosial. Selain itu, second account juga sering digunakan untuk mendalami hobi tertentu, seperti fotografi, seni, atau bahkan untuk mempromosikan bisnis kecil. Dalam konteks ini second account menjadi alat yang fungsional. Pengguna dapat memisahkan aspek-aspek kehidupan mereka sesuai kebutuhan, baik itu profesional, personal, maupun kreatif. Hal ini memberikan rasa kontrol yang lebih besar terhadap cara mereka berinteraksi di media sosial.
Namun, sisi lain dari fenomena ini adalah indikasi kecanduan media sosial yang semakin dalam. Membuat dan mengelola lebih dari satu akun berarti seseorang menghabiskan lebih banyak waktu di platform tersebut. Aktivitas ini dapat memicu perilaku obsesif, seperti terus-menerus memantau respons terhadap unggahan di kedua akun atau merasa cemas jika tidak sempat memperbarui konten.
Fakta bahwa banyak pengguna merasa perlu memiliki akun tambahan untuk “melarikan diri” dari tekanan akun utama juga menunjukkan ketergantungan emosional terhadap media sosial. Alih-alih menghadapi tekanan tersebut secara langsung, mereka memilih untuk menciptakan ruang baru di platform yang sama.
Selain itu, second account sering kali digunakan untuk memantau orang lain secara anonim atau mengunggah konten yang bersifat provokatif tanpa takut pada konsekuensi. Ini menciptakan lingkungan yang kurang sehat, di mana pengguna merasa bebas untuk berperilaku tanpa batasan moral atau etika.
Baik sebagai kebutuhan maupun kecanduan, keberadaan second account memiliki dampak psikologis dan sosial. Di satu sisi, akun kedua bisa memberikan rasa lega dan kebebasan, namun di sisi lain, dapat memperburuk tekanan mental jika pengguna tidak mampu mengelola ekspektasi mereka sendiri.
Studi menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu yang dihabiskan di media sosial dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan perasaan rendah diri. Dalam konteks second account, risiko ini bisa berlipat ganda, terutama jika pengguna tidak mampu membedakan antara kenyataan dan dunia maya. Secara sosial, keberadaan second account juga dapat mempengaruhi hubungan interpersonal. Pengguna yang terlalu fokus pada aktivitas online mungkin kehilangan koneksi dengan dunia nyata.
Selain itu, akun yang bersifat anonim sering kali digunakan untuk perilaku negatif, seperti menyebarkan kebencian atau melakukan tindakan stalking.
Fenomena second account di Instagram mencerminkan kompleksitas hubungan manusia dengan media sosial. Bagi sebagian orang, ini adalah kebutuhan untuk mendapatkan ruang lebih personal dan bebas dari tekanan sosial. Namun, bagi yang lain, ini bisa menjadi tanda kecanduan media sosial yang mengkhawatirkan.
Pada akhirnya, penggunaan second account dan media sosial secara umum harus dikelola dengan bijak. Dengan kesadaran dan pengelolaan yang tepat, pengguna dapat memanfaatkan platform ini secara positif tanpa kehilangan keseimbangan dalam kehidupan nyata. Fenomena ini tidak hanya menjadi cermin bagaimana kita memandang diri sendiri, tetapi juga bagaimana kita ingin dilihat oleh dunia.
*Oleh: Fauzia Nur Aeni, Mahasiswi KPI UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan