Duka dalam Agama

Aku merasakan betapa sakitnya kepalaku bagian kiri ini. Seperti ada yang bergerak di dalamnya, dan itu terasa sangat menusuk kepalaku, sakitnya hingga merasuk tubuhku. Ya Tuhan.., aku tidak kuat lagi!! Biasanya memang sakit, tetapi tidak sesakit pagi ini.

Pukul 6.46 WIB, ibuku masih berada di dapur, membuat sarapan untuk keluarga. Aku menekan erat kepalaku, sambil dengan berat menyusuri tembok-tembok ruang tamu, berharap bisa bertemu dengan ibuku. Ngiiiingg…………, bunyi sangat keras keluar dari telingaku, entah apa yang terjadi?, membuat diri ini tak sanggup menghadapi penderitaan. YA Tuhan…, cobaan apalagi ini, hingga aku tak tau apa yang sedang aku rasakan? Terasa ajal sudah di depan mataku. Aku hanya bisa berteriak,  hingga tak sadarkan diri, terkapar di  jalan sempit menuju pintu dapur.

Aku mencoba membuka ke dua mataku, pelan dan perlahan-lahan. Terasa agak berat untuk melihat dengan jelas, karena tepat di atas kepalaku, terdapat lampu yang sedikit silau. “Aku masih hidup?” Kalimat penuh tanya yang pertama kali aku ucapkan. Terlihat remang-remang ada ibu yang tersenyum di sampingku, “Semoga Tuhan selalu memberkatimu, sayang..!”. Akupun teringat kejadian saat aku jatuh pingsan di lorong sempit itu. Entah sudah berapa lama aku terbaring di rumah sakit, hingga badan ini terasa kaku untukku gerakkan. Aku memilih diam dan berpikir keadaanku. Aku meraba kepala bagian kiriku, rupanya dibalut tebal dengan kapas. “Dua hari kemarin, tumor telah diangkat melalui operasi.” Saut ibuku. Aku mengalihkan tangan ke bagian kepalaku yang lain, rambut dengan semir merah biru berganti menjadi kulit halus. “Rambut…?” Aku bertanya dengan nada lirih. “Tidak seburuk yang kamu bayangkan, hal terpenting saat ini yaitu kamu bisa sembuh, Nak.”, Ibu mencoba menghiburku. Aku merasa sangat malu, Tuhan masih memberikan aku hidup sekali lagi. Hatiku penuh pertanyaan kepada Tuhan, “Apa sebenarnya maksud Tuhan memberiku kesempatan hidup?”, Tuhan Maha mengasihi, aku memutuskan untuk bangkit dari catatan merah yang telah ku torehkan pada rapot perjalanan hidupku dan aku berjanji untuk semester 4, akan merubah diri menjadi lebih baik. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, aku akan membuat orang tuaku tersenyum bahagia karena Aku.

‌Namaku Caesarica Maurie, sejak duduk di bangku sekolah dasar, teman-teman biasa memanggilku Original, mungkin itu sebagai panggilan sayang mereka kepadaku. Aku suka menjadi teman mereka. Ups! Bukan teman tepatnya, namun ketua geng mereka. Di antara mereka, akulah siswa paling hebat dalam membuat kekacauan di kelas, sehingga tidak pernah ada satu pun siswa yang berani kepadaku. Pernah seorang siswa laki-laki, mencoba melawanku. Dengan spontan kukerahkan semua anggota gengku untuk menghabisinya, hingga celananya robek sampai paha atas. Keesokan harinya ayahku dipanggil ke sekolah, karena orang tua terdakwa tidak rela anaknya dibuli seperti kemarin. Aku enjoy aja dengan keadaan seperti ini, karena jujur aku tidak merasa bersalah sedikitpun. Peristiwa seperti ini sudah biasa terjadi, hingga omelan ayahku sudah menjadi nutrisi sehari-hari. Jangankan siswa biasa, guru pun menjadi sasaran kenakalanku juga. Aku ingin menghibur diriku dengan memberikan sekardus mercon di bawah meja dan kursi guru, sehingga aku bisa tertawa lepas melihat ketika guru kaget dan melompat-lompat ketakutan. Dari peristiwa itu, aku hampir dikeluarkan dari sekolah. Namun, ayahku dengan sangat sabar  rela memohon kepada kepala sekolah, agar aku tidak jadi dikeluarkan dari sekolah tersebut. Tidak bisa kubayangkan betapa malunya Ayah saat itu memiliki putri sepertiku. Masih bagus, usaha ayah berhasil dan akhirnya aku pun lulus. Walaupun, kelulusanku adalah kelulusan yang dipaksakan. Aku mempunyai nilai jauh di bawah rata-rata kelas, karena sungguh aku tidak pernah mau jika ayah menyuru ku belajar.

‌Ayahku merupakan seorang yang disegani masyarakat. Bagaimana tidak disegani? Ayah merupakan putra satu-satunya pemilik pondok pesantren terbesar se-Situbondo. Orang yang digadang-gadang akan mewarisi seluruh kekayaan nenek yang berupa materi maupun rohani, karena banyak keberkahan dari santri-santri. Namun sayang, ayah merelakan semua kemewahan itu, demi menikah dengan ibuku. Ayah cinta mati kepada anak seorang pendeta besar di salah satu gereja kristen katholik wilayah…    , yang jelas-jelas cintanya tidak akan direstui oleh orang tua ayah maupun ibuku. Ditambah ibu rela masuk Islam, karena memang ke duanya saling mencintai. Akan tetapi, Islamnya ibuku tidak lantas membuat nenek luluh hatinya, dan menerima Ibu sebagai menantu, dengan alasan merusak citra seorang kyai pesantren jika berbesanan dengan pendeta. Akhirnya, ayah tetap bersikeras menikahi Ibu, tanpa restu dari ke duanya. Mereka keluar dari tempat tinggal mereka, dan memilih hidup di kos.

Dalam waktu setengah tahun, ibuku mengandung. Akan tetapi, kisah mereka tak semulus jalan tol seperti yang mereka berdua bayangkan. Krisis ekonomi telah menjerat kebahagiaan mereka. Dan puncaknya berada setelah aku dilahirkan ke dunia, seluruh kekayaan yang  ayah dan ibu punya dijual habis-habisan, mulai dari mobil hingga perhiasan mahal milik ibu. Semua itu, untuk biaya persalinan dan memastikan bayinya lahir dengan selamat. Sisanya hanya bisa digunakan untuk membeli dua kaleng susu.

Melihat cucunya menderita, nenek dan kakek begitu tak tega. Mereka  memutuskan untuk membawa dan merawatku di rumahnya. Ayah dan ibu tidak punya alasan untuk mencegah nenek membawaku, nenek juga berpesan, bahwa nenek akan mengembalikan aku kembali jika ayah dan ibu sudah sukses.

Aku pun besar di wilayah gereja. Nenek begitu memanjakanku, namun aku tumbuh menjadi perempuan yang begitu tomboi. Melihat keadaan itu, rupanya nenek dan kakek tidak begitu masalah. Akupun sangat menyayangi mereka. Sesekali aku diajak berkunjung ke rumah orang tua ku, namun setiap kali aku ditawari untuk tetap tinggal bersama orang tuaku aku menolak, karena aku lebih nyaman hidup bersama nenek dan anjing kesayanganku, Teddy. Teddylah yang menemaniku setiap aku bosan melihat kakek dan pengikut-pengikutnya menjalankan ibadah yang aku sama sekali tidak tertarik dengan apapun yang mereka lakukan. Teddy yang bisa membuatku sedikit agak senang setiap akhir pekan.

Setelah tujuh tahun berlalu, akhirnya ayah mampu mendirikan pabrik plastik yang lumayan besar, sedangkan ibuku menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Selain itu, Ayah berhasil membuat pondok pesantren, namun tempatnya tidak besar, hanya muat 30 santri putra terlebih dahulu. Melihat hal tersebut, nenek mengizinkan ayah menjemputku pulang. Mendengar itu, aku sangat senang, akhirnya aku bisa hidup seperti anak yang lainnya. Namun, kehidupan berjalan tidak seperti yang aku bayangkan. Sungguh sebuah ilusi yang menyakitkan.

Ayah yang kukira akan memanjakanku, ternyata malah sangat keras terhadapku. Aku tak tau apa itu sholat. Ayah memaksaku untuk melakukan hal itu. Setiap hari. Aku tidak mau melakukannya, sehingga dia memukulku dengan kayu. Walaupun tak besar, namun terasa sakit di punggungku. Aku sangat menderita. Setiap kali ayah memarahiku, ibu diam saja, tidak membelaku. Apakah mungkin ibu tidak tau apa yang anaknya inginkan? Aku pun menangis dan teringat kakek nenek yang selalu merawatku dengan sepenuh hati. Aku ingin seperti dulu lagi tidak merasakan apa itu kemarahan. Sehingga, aku memutuskan untuk kembali ke rumah nenek.

Oleh: Annaheera Khanza

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *