Tafsir  

Ayat Poligami dan Pembebasan Ketidakadilan dalam Tafsir al-Manar

Tafsir al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir yang populer. Tafsir al-Manar atau bisa juga disebut Tafsir Al-Qur’anul Hakim, disusun dengan bahasa yang mudah dengan berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan tekhnis yang sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh para cendikiawan.

Sekitar abad 19, Islam mengalami keterbelakangan. Permasalahan tafsir pun  banyak terjadi. Penafsiran al-Qur’an tak lagi fleksibel. Tafsir hanya berkisar sekitar pengulangan terhadap karya-karya mufassir terdahulu dan ini tidaklah kondusif untuk masa sekarang artinya tafsir al-Qur’an tidak membumi.

Muḥammad Rashid Riḍa adalah murid Muḥammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manar lalu ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Muhammad Abduh menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaruan masyarakat dan media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan kurafat. Tafsir bagi Muhammad Abduh merupakan alat untuk upaya perbaikan masyarakat Islam.

Dalam penafsiran al Qur’an Muhammad Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori pengembangan tafsir yang bercorak al-Adabi al Ijtima’i, atau tafsir yang berorientasi pada satra, budaya, dan kemasyarakatan atau tafsir bercorak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada segi ketelitian redaksi al Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

Begitu pula dengan menafsirkan ayat Poligami. Muhammad Abduh menitik beratkan pada ketelitian redaksi ayat-ayat al Qur’an juga penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati serta adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.

Ayat tentang poligami terdapat dalam firman Allah dalam surat al-Nisâ ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِى الْيَتٰمٰى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُكُمْ ۚ ذٰلِكَ أَدْنٰىٓ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

Maksud dari ayat tersebut menurut Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar adalah mengenai perlakuan terhadap anak yatim. Wali laki-laki yang bertangggungjawab mengelola harta anak yatim perempuan dan di khawatirkan tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan, maka solusi yang dianjurkan yaitu mengawini anak yatim tesebut.

Pada sisi lain Al-Qur’an membatasi jumlahnya sampai dengan empat. Dengan demikian, tanggung jawab untuk menafkahi istri akan setara dengan akses pengelolaan harta yatim tersebut.

Muhammad Abduh mengambil kesimpulan bahwa diperbolehkan melakukan poligami harus dibarengi dengan beberapa kualifikasi yang sangat sulit untuk dilakukan yang karena sulitnya yang seakan-akan poligami menjadi sebuah larangan.

Muhammad abduh juga menjelaskan bahwa Q.S. al-Nisa ayat 3 berkaitan dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a, yaitu dalam surat al-Nisa ayat 127.

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِى النِّسَآءِ ۖ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِى يَتٰمَى النِّسَآءِ الّٰتِى لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدٰنِ وَأَن تَقُومُوا لِلْيَتٰمٰى بِالْقِسْطِ ۚ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمًا

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan (tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

Maksud potongan ayat “ Dan kamu mempunyai keinginan untuk menikahi mereka (anak-anak yatim itu)…”  maksudnya adanya keinginan di hati untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang menikah kecuali dengan niat yang betul-betul lurus dari hati.

Ayat yang sering kita pahami sebagai ayat poligami menurut Muhammad Abduh adalah tentang perlakuan seorang yang bertanggung jawab kepada anak perempuan yatim yang ia kelola hartanya. Jika seseorang yang bertanggungjawab tersebut merasa tidak akan mampu secara adil, maka dianjurkan untuk menikahinya. Dengan catatan bukan karena ingin menguasai harta dan karena kecantikannya, namun karena betul-betul niat lurus dalam hati mencegah diri dari ketidakadilan. Wallahu a’lamu bi al-Shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *