Harus diakui, dari dulu hingga sekarang, di mana pun itu, termasuk di Indonesia, umat Islam sangat mengharapkan adanya pemimpin Islam yang benar-benar berjuang untuk umat dan bangsa. Pemimpin yang berintegritas dan amanah. Namun, apa boleh buat, politik memang sulit ditebak. Apalagi dalam sistem demokrasi yang kian liberal seperti saat ini, yang menyebabkan ratusan juta penduduk Indonesia berpartisipasi secara penuh dalam menentukan tampuk kepemimpinan, tentu tidak mudah menemukan sosok yang didambakan itu. Hal ini karena rakyat sebagai pemilik suara belum mampu secara cerdas dan mandiri menentukan sosok pemimpin terbaik yang harus dipilihnya. Belum lagi, ditambah masalah partai politik yang belum secara ideal menjalankan fungsi dan perannya dalam demokrasi.
Perlu diingat bahwa demokrasi hanya sebuah jalan, bukan tujuan. Sedangkan dalam Islam, tujuan hidup ini tentu saja untuk mencari keridlaan Allah. Dalam konteks politik, dakwah yang dilakukan adalah agar politik itu membentuk civil soceity. Perjuangan itulah yang tidak mudah bagi umat Islam, meski Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Belum bersatunya umat Islam Indonesia dalam kancah politik inilah yang menjadi penyebabnya.
Membicarakan Islam sebagai agama dengan politik memang ibarat memahami dua sisi dari sekeping mata uang, yang kuduanya memang tak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, sejak kelahiran Islam itu sendiri. Islam adalah agama universal yang mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah masalah politik. Menurut John L Espito (1999), Islam tak hanya berdimensi kerohanian, melainkan juga berdimensi kenegaraan. Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan sekaligus gerakan politik yang berpengaruh besar terhadap peradaban di dunia. Karena itu, memisahkan Islam dengan konteks kehidupan manusia, akan berdampak kepada kebutaan pemahaman itu sendiri.
Dalam khazanah sejarah awal Islam, Nabi Muhammad SAW dapat disebut sebagai seorang rasul sekaligus politisi (baca: negarawan). Sebutan ini, sangat bisa dibenarkan dan pengaruhnya juga sangat luar biasa. Bukti nyatanya adalah ketika Nabi dakwah di Mekah, kota kelahiran Muhammad SAW, keberhasilan dakwah Muhammad tidak begitu signifikan, jika dibandingkan dengan ketika dakwah di Madinah. Mengapa? Pada saat di Mekah, Nabi tidak menggunakan kekuasaan dalam berdakwah, bahkan cenderung ditentang oleh para penguasa Quraisy itu sendiri. Dengan kata lain, Nabi tidak menempuh jalur politik atau menggunakan politik sebagai jalan dakwah. Dengan demikian, dakwah yang dilakukan Nabi, lebih ke arah dakwah kultural, yang hasilnya tidak terlalu efektif. Padahal, Nabi berdakwah selama sepuluh tahun di Mekah, sejak diangkat sebagai Rasul oleh Allah SWT, tetapi bisa dikatakan belum menemukan hasil yang memuaskan.
Kondisi yang sangat berbeda dialami oleh Nabi Muhammad ketika berada di Madinah. Setelah Nabi berhijrah dari Mekah ke Medinah—karena berbagai faktor, hasil dakwah Nabi begitu kelihatan sangat efektif dan efisien. Sebagaimana yang dijelaskan di awal, pada saat itu, dengan menduduki jabatan politik sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai Nabi, Muhammad berhasil “mengguncang” Madinah dengan dakwahnya yang luar biasa masif. Penduduk Yastrib (nama sebelum Madinah) dibuat terkesima dengan sosok Muhammad yang sangat adil dan tegas dalam memimpin rakyatnya (baca: umatnya), sehingga pada saat itu, Madinah dipandang sebagai kota paling beradab dan menjadi pusat peradaban.
Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi bersama pemimpin-pemimpin suku di Madinah, bahkan disebut sebagai konstitutsi yang pertama kali dibukukan dan ditulis. Oleh sebab itu, Piagam itu, oleh Robert N Bellah, disebut sebagai peraturan-perundangan yang melampaui zamannya. Dokumen Piagam Madinah tersebut menjadi bukti otentik bahwa dakwah Nabi sangat terkait dengan politik ketika itu. Itulah mengapa Madinah sering dijadikan referensi dalam membangun sebuah negara yang beradab. Tak heran jika, masyarakat madinah layak menyandang sebagai civil soceity yang dijadikan rujukan oleh dunia. Dalam konteks Indonesia, NurcholisMadjid menyebunya sebagai masyarakat madani.
Kekuasaan politik menjadikan proses sosialisasi nilai-nilai Islam yang dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya berjalan secara cepat dan menyentuh hati banyak orang. Bahkan, berbagai daerah di sekitar Negara Medinah berhasil dikuasai dan ditahklukan, baik secara agama maupun politik. Dalam konteks ini, Muhammad menggunakan prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, kedamaian, egaliter, dan sistem musyawarah yang benar-benar dijunjung tinggi.
Perjuangan Tanpa Henti
Begitu luar biasanya Nabi dalam membangun Madinah, mestinya menjadi inspirasi bagi politisi, terutama muslim, dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupam berbangsa dan bernegara. Menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama bagi politisi yang berada dalam partai yang secara terang-terangan mengusung dakwah sebagai tujuan utama. Dalam konteks ini, dakwah tentu bukan hanya dipahami sebagai menyeru kebenaran yang bersifat teologis saja, tetapi lebih dari itu, dakwah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dengan segala dinamikanya.
Dengan demikin, dalam rangka membangun masyarakat Indonesia menjadi masyarakat madani—sebagaimana yang digagas, pemikir-pemikir Islam Indonesia—maka bisa jadi akan menjadi mudah. Itu artinya, para politisi Islam yang berjuang meraih kekuasaan melalui pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, harus mempunyai cita-cita mulia. Dengan kata lain, kekuasaan yang diperoleh akan digunakan untuk melakukan kegiatan amar makruf, nahi mungkar, menciptakan keadilan dan kesejahteraan umat dan bangsa, serta untuk mewujudkan kebaikan bersama (common goods).
Kekuasaan memang sangat berpengaruh dalam rangka mendakwahkan nilai-nilai Islam yang universal kepada masyarakat yang sedemikian beragama pula. Mengapa dengan dakwa politik menjadi sangat efektif terhadap keberhasilan dakwah? Sangat bisa dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai kekuasaan politik, tentu mempunyai wewenang (authority, sehingga dengan wewenang dan legitimasi itu akan sangat mudah dalam menyebarkan nilai-nilai Islam kepada rakyat. Dalam konteks ini, orang yang mempunyai kekuasaan tentu mempunyai hak untuk membuat kebijakan, mengeluarkan perintah, dan membuat peraturan-perundangan untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bersama.
Tak hanya wewenang, dengan mempunyai posisi politik, maka ia juga akan mempunyai legitimasi (legitimacy) atau keabsahan untuk memaksa agar publik menaatinya. Dan siapa yang tidak taat dengan hal itu, maka akan diberi sanksi. Maka akan menjadi berbahaya, jika kekuasaan itu dipegang oleh orang-orang yang jahat. Sebab, sumber daya wewenang dan legitimasi yang dimiliki kekuasaan tersebut berimplikasi pada pengaruhnya yang luar biasa bagi kehidupan orang banyak, baik secara positif maupun negatif.Karea itulah, meneruskan dakwah politik dalam konteks bernegara menjadi keharusan, baik secara individual atau kolektif.
Oleh sebab itu, jangan sampai politisi muslim menjadikan politik sebagai alat untuk mencari kekuasaan, yang ujung-ujungnya adalah material (baca: uang). Begitu pun dalam kontkes partai, jangan sampai kehadiran partai politik Islam, atau partai berbasis Islam, hanya berorientasi pada ranah materialistik, hedonistik, dan pragmatis. Namun, harus dibalik bahwa dakwah politik adalah bagaimana caranya menanamkan nilai-nilai Islam universal dalam kehidupan bernegara, sehingga Islam menjadi rahmatan li al-alamiin. Politisi muslim dan partai Islam jangan sampai korup, tetapi harus menampakkan wajah yang islami. Karena jika, sudah korup, maka hal itu akan menjauhkan cita-cita bahwa kekuasaan politik mestinya dipergunakan sebagai sarana dakwah untuk menciptakan civil soceity. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Sumber: Koran Wawasan