“Dari tokoh liberal menjadi tokoh amoral. Sebuah perubahan radikal hanya karena kasus rasuah hasanah. Hem!” (Syaefudin Simon)
Mungkin agak telat saya menulis catatan harian ini. Sebab sekitar semingguan yang lalu hampir puasa dari Facebook karena ada gangguan pada ponsel. Catatan harian ini juga dipicu dari obrolan bersama beberapa teman, di mana mereka merasa terheran-heran karena ada seorang yang mengaku cendekiawan, tetapi malah menghasanahkan korupsi, lebih tepatnya menghasanahkan perilaku sogok-menyogok.
Fatalnya lagi, pendapatnya itu disampaikan di depan pejabat Negara atas tugasnya sebagai representasi pejabat di salah satu ormas keagamaan.
Oleh karena itu, komentar yang disampaikan Syaefudin Simon sebagaimana saya kutip di atas memang sangat tepat, betapa cendekiawan dan ulama kita zaman kiwari tengah mengalami degradasi moral yang luar biasa.
Tidak perlu membahas persoalan korupsi terlalu membelit-belit, apalagi dibalut dengan dalil-dalil agama yang juga sangat dipaksakan. Sebab dalam konteks apapun, korupsi ya korupsi, apapun modusnya, tidak dibenarkah oleh aturan apapun, apalagi agama (Islam).
Pendapat bahwa perilaku menyogok yang baik itu dibolehkan, sebetulnya setali tiga uang dengan kepentingan pragmatis konsensi tambang. Bagaimana bisa, banyak ormas-ormas keagamaan yang tergiur dengan konsensi tambang, yang selama ini menjadi sumber cuan paling instan, sekaligus menjadi pemicu bencana alam paling membahayakan.
Bagaimana bisa orang yang bukan ahlinya memaksakan diri melakukan eksploitasi tambang yang telah terbukti sangat merusak lingkungan dan alam. Lebih fatalnya lagi, kolega-koleganya diam seribu bahasa, terjebak anggah-ungguh yang tidak efektif.
Indonesia di masa kepemimpinan mantan Presiden Joko Widodo menjadi masa di mana oknum-oknum yang selama ini banyak bicara soal kemanusiaan dan kebangsaan, topengnya semakin terbelalak. Jokowi berhasil mengungkap orang-orang munafik secara terang-benderang tanpa harus terlibat adu mulut dan baku hantam karena awalnya merasa tersinggung, bahkan difitnah.
Kini, publik tidak perlu kepo ke sana-kemari, hukum alam telah bekerja dengan sangat baik.
Kekayaan Negara ini memang selama ini hanya menjadi bancakan korupsi para pejabatnya, tak terkecuali para pejabat yang selama ini bersembunyi di balik wadah ormas keagamaan dan wadah-wadah (modus) yang selama ini mengatasnamakan kepentingan masyarakat lainnya.
Jadi nyaris, pemikiran keislaman kritis-progresif yang selama ini didengung-dengungkan sudah pada titik: tidak ada gunanya, karena semua itu hanyalah modus dan topeng belaka untuk mengelabui publik.
Paling kencang mengkritik pihak lain, akan tetapi kalau pihak sendiri atau koleganya dikritik tidak terima. Orang lain haram korupsi, tetapi kalau diri dan koleganya melakukan korupsi tidak apa-apa. Kalau orang lain melakukan kerugian Negara, tetapi kalau saudara atau teman sendiri melakukan kerugian Negara, tidak perlu diungkap, bila perlu dilindungi.
Orang-orang yang selama ini teriak-teriak korupsi terhadap pejabat Negara, melalui media sosial, surat kabar, puisi, cerpen dan lainnya, saat ini mereka mingslep, entah pikirannya seperti apa.
Kok bisa-bisanya, memanipulasi dalil-dalil agama untuk ke sekian kalinya untuk kepentingan pragmatis diri dan ormasnya. Bukannya malu, malah bangga. Demikian para koleganya, bukannya mengingatkan, malah turut menikmati dengan segala anggah-ungguhnya. Astaghfirullah.
Wallahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah, 8 Februari 2025, 1.17 WIB