Baladena.ID/Istimewa

Menulis adalah hal yang cukup asing bagi jemari saya. Kecenderungan menyampaikan maksud secara verbal (baca: lisan) menjadi kebiasaan saya hingga usia seperempat abad ini, meski banyak teori-motivasi yang telah saya kantongi untuk membiasakan menulis. Setidaknya dalam rangka meninggalkan jejak keberadaan di bumi yang tak hanya dikenang karena tuturnya, namun juga warisan karya tulis penyumbang khazanah peradaban manusia.

Ya, saya sadar itu. Tapi ini tentang penerimaan terhadap potensi diri, mencintai diri dengan apa yang saya cintai. Begitu pun dengan tulisan kali ini, akan berusaha ternarasikan dengan sejujur mungkin yang saya bisa. Jika tidak karena dipaksa, berarti ada faktor lain yang membuat akhirnya saya mau menulis, Cinta. Teruntuk sosok pilihan Allah, terwujud dalam seorang insan yang biasa kami panggil, Abana.

Bermula dari pertemuan klasik antara saudara se-Himpunan, silaturahmi sederhana antara kawan-kawan diskusi (meski jarak usia relatif jauh terpaut) dalam organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) khususnya di wilayah Jember, Jawa Timur. Tak ingat pasti, awal mula mengapa misi ini mulai dibangun, yang jelas kala itu para kawanan diskusi yang terdiri dari anggota dan/atau pengurus aktif HMI Cabang Jember berkumpul dengan beberapa jajaran Majelis Daerah Korps Alumni HMI (MD KAHMI) Jember.

Kami hanyut dalam narasi persuasif oleh Dr. Mohammad Nasih yang saat itu dikenalkan sebagai Founder Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE yang juga merupakan Pesantren Tahfidz al-Qur’an di Semarang, Jawa Tengah. Obrolan sederhana tentang dasar-dasar kepercayaan menjadi pemantik bagi saya dan mungkin juga setiap nurani yang tergugah mendalami diskusi malam itu. Pribadi yang saya sapa dengan “Kakanda Nasih” (Kakanda adalah sapaan akrab untuk kakak laki-laki dalam organisasi Himpunan), menyampaikan bagaimana beliau membangun dan mewujudkan mimpi untuk generasi “Pemimpin yang Qur’ani”.

Baca Juga  Siang-Malam Bersama al-Qur’an

Tidak hanya berbicara konsep, ia bercerita mengapa beliau sempat tak pecaya adanya Allah dan Muhammad (lebih tepatnya masih memastikan keyakinan tentang agama yang ia dapatkan dari generasi sebelumnya alias keturunan). Banyak tulisannya juga telah beredar di berbagai media cetak maupun daring. Mulai dari proses mengenai aqidah (kebenaran Islam dan al-Qur’an), persoalan sosial politik dan kajian-kajian lainnya. Hal itu pula yang menjadi nukilan diskusi malam itu, menjadi stimulus ghirah kami untuk mengadopsi jejaknya, membangun Qur’anic Habits melalui pemanfaatan aset organisasi berupa gedung dan manajerialnya untuk diberdayakan menjadi Pondok Tahfidz serupa di Jember.

Misi itu dimulai dengan menunjuk 4 (empat) delegasi untuk mempelajari sistem pengelolaan sumberdaya dalam Monash Institute, Semarang. Saya pun menjadi salah satu delegasi yang beruntung tersebut. Meski sempat tidak percaya bahwa perjalanan itu diamanahkan kepada kami, karena hal ini bukan hanya aksi ceremonial semata, melainkan upaya pengabdian sepanjang masa seperti yang telah kami dapatkan dari keteladanan seorang Mohammad Nasih. Tepat dua hari sebelum Bulan Ramadhan 2018 saya dan tiga kawan lainnya tiba di Semarang.

Dinamika baru dimulai, saya yang selama ini kurang tertarik dengan kehidupan pondok pesantren, hanya pernah belajar al-Qur’an di TPQ daerah asal, Banyuwangi berusaha keras beradaptasi dengan kultur kehidupan di Monash Institute yang sangat disiplin. Awalnya hanya berniat mempelajari sistem pengelolaan pondok, akhirnya mulai tergugah hati untuk belajar menghafal. Ternyata memang tidak mudah, butuh tekad dan komitmen yang kuat dalam menjalankannya. Apiknya, dalam proses tersebut dikemas dalam bentuk “kesadaran” yang dibangun tak hanya dengan keyakinan buta, namun dengan nalar akal yang beradab.

Baca Juga  Bukan Sosok Durhaka

Menempa diri dengan nilai-nilai Al-Quran dan mengukuhkannya dengan kajian serta pengembangan softskill untuk bekal kehidupan. Semakin belajar, semakin mengenal, semakin sayang dengan Tuhan dan segala KekuasaanNya. Sekitar dua pekan kami ‘mondok kilat´ di Monash, keraguan mulai terkikis. Entah bagaimana saya harus mengejawantahkannya, dengan segala keterbatasan fasilitas, begitu tulus Abah Nasih membesarkan mimpi generasi pemimpin Qur’ani yang sampai detik ini pun masih terasa kuat semangatnya. Membumikan firman-firman Ilahi, mentransformasikan nilai luhur yang akhirnya menjadi bekal untuk didirikannya Pondok Mahasiswa Tahfidz Qur’an yang serupa di Jember.

Sebelum akhirnya kami harus kembali dan merealisasikan tata kelola pondok tahfidz seperti Monash Institute, saya ingat betul Senyum Harapan Abah dan dengan yakin berkata kepada pengendara mobil sewaan yang menghantarkan kami menuju terminal untuk kembali pulang, “Titip ya pak… Jangan sampai lecet sedikit pun, mereka adalah calon para pemimpin bangsa.” Abah… Terimakasih telah menjadi perantara kami hingga di titik ini, selalu semangat mendampingi kami yang naik-turun iman untuk memberikan dedikasi.

Tepat pada 25 Agustus 2018, Pondok Tahfidz Mahasiswa Jember Islamic Institute (JII) diresmikan keberadaannya. Konsep dan sistem yang menginovasi dari Qur’anic Habits yang dikenalkan Abah menjadi kukuhnya niat kami untuk menjalankan prosesnya hingga hari ini, dan kami berharap akan tetap ada bahkan sampai satu hari sebelum hari kiamat tiba nanti. Supporting system pun diberikan secara moral maupun material oleh KAHMI JEMBER yang terpanggil untuk mengakomodir segala keperluan yang dibutuhkan. Rasanya pengalaman ini adalah salah satu yang sangat berharga menempa mental dan komitmen kami, khususnya saya pribadi. Mengelola pondok tahfidz tidak semudah yang dibayangkan.

Baca Juga  Arsitek Jembatan Antara Dua Gajah

Banyak pembelajaran spiritual yang bahkan tak terduga datangnya. Menjadi mentor dalam pondok tahfidh, padahal kami pun belum sempurna hafalannya. Menjadi pengelola pondok, padahal kami pun masih sering lalai menjaga ketaqwaan. Mengajak dalam kebaikan, padahal kami pun masih sangat belajar apa makna kebaikan itu sendiri. Abah tak kurang memotivasi kami secara tersirat maupun tersurat, melihat keteladannya saja rasanya kami ‘malu’ jika tidak bersemangat dalam menjalankan kehidupan ini sebaik mungkin.

Meski kami jauh dari predikat pribadi dengan akhlak baik, tapi semoga dengan keberkahan orang-orang baik yang Allah kirimkan mengelilingi kami, kebaikan hidup juga akan membersamai kami. Karena tak perlu menunggu baik, untuk berbuat sebuah kebaikan. Terima kasih telah memberi keteladanan bagi kami melalui ketaqwaan, al-Qur’an, dan kecintaan melakukannya. Terimakasih Abana, Abah kita semua. Sarangheo-na… :’D

Oleh: Hidayati, Founder Team Pondok Tahfidz Mahasiswa Jember Islamic Institute (JII), Ketua Umum Korps HMI-Wati (KOHATI) HMI Cabang Jember Periode 2018-2019

Redaksi Baladena
Jalan Baru Membangun Bangsa Indonesia

Temukan Dia

Previous article

Unsur Pembentukan Karakter (1) Pikiran

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Jalan Sunyi