Mendidik merupakan aktivitas yang sangat mulia. Sebab, seorang pendidik yang mengajarkan muridnya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, mempunyai kemuliaan sama halnya nabi dan filsuf pada zaman dahulu. Jika murid-murid mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan nyata, maka pendidik itu bisa dikatakan berhasil. Namun demikian, tidak mudah menjadi seorang pendidik yang kaaffah, karena ia adalah panutan bagi murid-muridnya.
Dalam rangka membangun peradaban yang berkarakter, pendidikan adalah sebuah “kewajiban”. Sebab, dari pendidikan itu, akan diperoleh ilmu, sehingga manusia bisa mengetahui mana yang baik dan yang tidak baik. Atas dasar ilmu itulah, peradaban akan dibangun. Plato mengatakan bahwa pendidikan menghasilkan orang baik, dan tentu orang baik yang berperilaku mulia. Oleh sebab itu, seorang pendidik akan menyandang status terhormat, yaitu sebagai pewaris para nabi, jika ia berhasil menjalankan aktivitas profetik dengan baik dan benar. Aktivitas profetik yang dilakukan sebagaimana oleh nabi-nabi terdahulu. Tentunya dalam mentransformasikan ilmu, nabi-nabi tidak mengaharapkan imbalan apapun. Mereka ikhlas dan tulus dalam mengajarkan ilmunya atau dengan kata lain gratis. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “mengajarlah dengan gratis sebagaimana kalian diajari dengan gratis”.
Oleh karena itu, seorang pendidik harus bisa menjadi “nabi” yang selalu memberi pencerahan dengan berjuang untuk kemaslahatan umat. Jika tugas itu bisa dijalankan dengan baik, maka besar kemungkinan dunia ini akan segera menemukan peradaban terbaiknya, terutama bangsa Indonesia. Maju atau tidaknya suatu bangsa salah satunya disebabkan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan yang baik maka akan menghasilkan generasi yang baik pula, sehingga generasi itu akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Seseorang pendidik tidak hanya dituntut memenuhi kapasitas keilmuawannya, tetapi juga bagaimana mengaplikasikan dalam bentuk tindakan nyata. Sebab, jika ilmu banyak tetapi tidak diimplementasikan, maka sama saja tidak memiliki fungsi. Pepatah Arab, “Ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah”. Tentunya, dalam mengamalkan ilmu itu harus ke arah yang baik. Jangan sampai ilmu pengetahuan itu menjadi perusak dunia. Misalnya, seseorang punya ilmu banyak, tetapi digunakan untuk korupsi. Itu jelas tidak seseua harapan pendidikan yang sesungguhnya. Jadi, itu semua tergantung ”pemiliknya”.
Oleh karena itu, guru harus mendorong murid-muridnya untuk melakukan tindakan nyata yang didasarkan kepada akhlak mulia, agar tidak digunakan dalam hal negatif. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2005 (Tentang Guru dan Dosen), bahwa guru mempunyai tugas mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan begitu, pendidikan Indonesia akan membaik.
Virus Para Sofis
Namun, pendidik yang awalnya menyandang status mulia, yaitu pewaris para nabi, atau dalam tradisi Yunani kuno disebut filsuf, kini terancam hilang kemuliannya. Hilangnya kemuliaan pendidik tersebut, disebabkan orientasi mereka yang keliru. Tidak sedikit pendidik, baik guru maupun dosen, lebih berorientasi pada material saja, sehingga orientasi keliru inilah yang kemudian menyebabkan para pendidik tidak total dalam menjalankan aktivitas profetiknya.
Kini banyak pendidik yang tidak mengetahui fungsinya sebagai pewaris para nabi. Mereka hanya menjadikan guru/dosen sebagai sebuah profesi. Yang lebih parah lagi, mereka mengajar murid-muridnya hanya sekedar formalitas saja. Maka wajar saja, jika saat ini banyak murid-murid yang berperilaku menyimpang jauh dari nilai dan norma. Penddik yag seperti ini, dalam tradisi Yunani Kuno, dikenal dengan istilah sofis.
Plato mengatakan bahwa pendidik macam ini sama halnya para pemilik warung yang menjual barang-barang ruhani. Itu artinya, mereka menggunakan ilmunya hanya untuk mencari uang saja. Para sofis ini adalah orang-orang yang dianggap pintar atau memiliki pengetahuan, tetapi menggunakannya untuk mencari uang. Sebenarnya, sofis mempunyai makna yang baik, yaitu para pengajar kebijaksanaan. Pada awalnya, mereka keliling untuk memberikan pengaaran. Namun, lambat laun makna sofis mengalami perubahan disebabkan orientasi pada uang.
Lebih dari itu, yang paling menghawatirkan adalah mereka tidak jarang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang tersebut. Termasuk diantaranya adalah memutarbalikkan logika kebenaran. Akibatnya, sesuatu yang awalnya benar menjadi dipahami sebagi yang salah, dan sebaliknya yang sesuatu yang salah dipahami sebagai yang benar.
Memang tidak mudah menjalankan peran profetik dan filsuf itu. Butuh paradigma dan niat yang tulus dari individual pendidik. Penyebab kemuliaan pendidik ini hilang adalah terbelahnya konsentrasi mengajar dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini wajar, pendidik juga menginginkan hidup wajar sesuai standar manusia kebanyakan, yaitu menginginkan pemenuhan materi duniawi. Namun, hal inilah yang menyebabkan pendidik saat ini “menomorduakan” tugasnya.
Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi dengan adanya sertifikasi, baik guru maupun dosen. Dengan sertifikasi ini, pendidik diharapkan bisa memenuhikebutuhan mereka dan bisa fokus untuk mengajar anak didiknya. Selain itu, sertifikasi juga difungsikan untuk meningkatkan kualitas guru, agar mereka bisa mengajar lebih profesional. Namun, usaha pemerintah ini tampaknya belum memenuhi hasil maksimal. Paradigma hedonistis dan matetialistis yang telah menjangkiti kebanyakan pendidik menjadi penyebabnya. Sebab, mereka selalu merasa kurang dan tidak puas dengan apa yang didapatkan.
Imbalan besar yang dimaksudkan agar meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, dibalas dengan ketidakpastian orientasi. Namun demikian, ada berapa banyak guru/dosen honorer yang belum mendapatkan penghidupan yang layak. Mereka terpaksa menjadikan aktivitas mengajar sebagai sampingan, karena sebagian waktunya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pemerintah yang menginginkan kemajuan dalam bidang pendidikan. Kehadirannya sangat penting membantu pelaksanaan pendidikan, meski rasio guru/dosen dan murid/mahasiswa masih jauh dari kata ideal.
Panggilan Mendidik
Harus diakui, tidak sedikit pendidik yang menjalankan tugasnya bukan sebagai panggilan. Melainkan mereka hanya terpaksa menjadi pendidik karena tidak adanya pekerjaan lain yang menjanjikan. Oleh karena itu, perlu penataan kembali mekanisme perekrutan guru atau dosen, agar mendapatkan sosok pendidik yang benar-benar memiliki panggilan hati. Jika guru sudah memiliki panggilan hati dalam mengajarkan ilmu, ditambah kapasitas intelaktual yang memadai, maka mereka akan profesional dalam mengajar.
Perbaikan kualitas pendidik ini sangat penting untuk membangun sebuah pendidikan yang memberdayakan. Tanpa adanya pendidik yang profesional, nihil tampaknya terjadi perubahahan yang maksimal. Selain itu, tentu peran semua elemen untuk menciptakan pendidikan berkualitas sangat diperlukan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat kita sendiri. Pendidik harus terus meningkatkan kualitas dan mendasarkan aktivitas pengajarannya dari panggilan hati, sementara pemerintah wajib menjamin kesejahteraan mereka. Sinergi ini menjadi hal yang mutlak untuk membangun pendidikan nasional yang bermatabat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Dimuat di Harian Sumut Pos, Kamis, 25 Oktober 2012