Ucapan Keselamatan, Pancasila, dan Jati Diri Bangsa

Bangsa Indonesia kini tengah disibukkan dengan kemelut propaganda dan isu-isu intoleransi. Bagaimana tidak, counter budaya dan kepribadian bangsa seolah di posisikan di ujung tanduk, seakan tak ada harapan harmonisasi keberagaman negeri. Padahal sudah sejak dulu Indonesia di bangun dengan segala perbedaan dan keragaman -yang justu adalah sebuah kekayaan dan anugerah terindah- yang patut untuk disyukuri, namun kini perbedaan semakin di ketengahkan dan menimbulkan pertikaian dengan kedok konflik toleransi. Menengok peristiwa agama yang dijadikan musuh Pancasila, rasanya butir-butir Pancasila tak lagi terpatri dan terhayati dalam jiwa. Pasalnya dengan jelas, sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, bagaimana bisa muncul pernyataan Agama Musuh Pancasila?

Pancasila lahir dengan segala pikir dan renungan mendalam, sebagai ideologi negara, pancasila merupakan konsensus yang melekat dan menjadi pribadi bangsa sejak mula deklarasi kemerdekaan. Pada awal perumusannya, muncul dua kubu besar -yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan dan kedaulatan negara- dalam tubuh Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu blok Islam dan nasionalis. Tentunya, dialektika ini tidak dibiarkan berlarut-larut. Kemudian tampillah Pancasila sebagai jalan tengah yang menjadi bingkai kebhinekaan. Sebab, jika salah satu agama saja yang diakui menjadi dasar negara, sentimen teologis dapat memupuk perpecahan.

Tak luput dalam pandang, perubahan sila pertama Pancasila, -yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas usul Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Hoof Bestur Muhammadiyah waktu itu-, merupakan sebuah pembelajaran yang amat berharga. Perubahan itu disebabkan adanya kekhawatiran bahwa penggunaan tujuh kata tersebut akan menjadi boomerang dan menjadi ancaman keluar dari negara Indonesia yang baru mengawali cita-cita kemerdekaan. Peristiwa ini, tentu mengisyaratkan bahwa persatuan dan kedaulatan bangsa adalah utama. Pancasila adalah harga final dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia karena digali dari rahim bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sejak lama telah menjadi ideologi bangsa, yang mengakomodasi keberagaman dan tata hidup bangsa ini. Dengan semboyan bhineka tunggal ika, sang garuda berdiri kokoh dengan tatapan mata tajam memandang masa depan, harapan pertiwi.

Problematika tidak hanya berhenti di sana, sepertinya negeri ini sedang terluka parah, sebab fondasinya kini menjadi perdebatan panas yang kian merong-rong kesatuan republik ini. Seusai munculnya pernyataan Agama musuh Pancasila, kini mulai tersebar di media sosial, salam persatuan katanya, yang disebut dengan ”Salam Pancasila”. Bangsa ini rasanya bungkam dengan seluruh nestapa dan kerusakan alam, namun rasanya polemik mutakhir ini lebih memilukan ketimbang ‘sekadar kerusakan alam’. Sebab, hal ini mampu memberikan sebuah wacana dan cara pandang baru dalam mengkonsepsikan persatuan bangsa. Fatalnya dikhawatirkan akan berkembang falsafah baru dalam memahami Pancasila.

Setiap agama tidak pernah salah untuk mendoakan keselamatan bagi saudaranya. Dalam Islam, ucapan salam berbunyi “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh”, sebuah ucapan yang sarat akan makna. Tentunya tidak ada yang berhak menggantinya. Penggantian salam agama dengan salam Pancasila rasanya bukan solusi pemersatu bangsa, justru pernyataan ini akan menuai polemik yang baru. Jika harapan salam Pancasila adalah untuk menguatkan dan mematri jiwa patriotisme dan nasionalisme, maka semestinya bidang pendidikan adalah objek yag harus menjadi bidikan sentral. Penanaman mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaran dengan mendalam dan metode pembelajaran yang edukatif serta aplikatif agaknya mampu menjadi sebuah kajian berharga, demi tertatanya cara pandang generasi emas yang akan melanjutkan laju tahta bangsa ini di masa depan.

Kemajemukan ataupun perbedaan bukanlah peristiwa baru, lima belas abad lalu, telah muncul sebuah konsensus yang mampu menaungi beragam bentuk agama dan ras. Sebut saja Piagam Madinah –Piagam yang ada di Madinah-, yang dengan gagah menjadi payung keberagaman. Kala itu, Madinah berkembang menjadi kawasan yang majemuk atau pluralistik. Konsensus atau kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) berdasarkan asas keadilan untuk semua bangsa, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, kabilah, dan suku-suku yang hidup di Madinah. Hal ini serupa dengan Indonesia, yang mempunyai Pancasila sebagai konsensus kebangsaan atau kesepakatan seluruh bangsa yang mendiami tanah air Republik Indonesia. Seluruh bangsa yang ada di dalamnya, tak terkecuali, dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan dan tidak melanggar hukum yang berlaku secara norma, etika, dan legal.

Piagam Madinah yang memuat kesepakatan diantara kabilah-kabilah di Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW. telah mampu menjadi common platform dari kemajemukan atau heterogenitas masyarakat Madinah. Secara tidak langsung ini adalah upaya untuk membangun toleransi diantara ummat beragama, Nabi hendak menunjukkan bahwa toleransi perlu dibangun baik dalam internal agama maupun eksternal agama. Piagam Madinah memuat sebuah pesan yang sangat berharga bagi pengembangan konstitusi yang demokratis. Piagam Madinah secara eksplisit sangat mengakomodasi kelompok-kelompok lainnya. Mereka yang terlibat dalam piagam tersebut mempunyai komitmen untuk hidup bersama dengan damai dan saling bahu membahu dalam membangun Madinah sebagai kota yang berperadaban dan berkeadaban.
Kepiawaian Muhammad sebagai tokoh agama dan nahkoda pemerintahan membuatnya disanjung banyak kalangan. Bahkan, Michael Heart menempatkan posisi Nabi Muhammad di atas posisi Isa melalui The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) yang ditulis Michael H Hart. Buku itu memicu kontroversi karena Hart menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama diikuti Isaac Newton, Yesus, kemudian Buddha Gautama. Hart menulis bahwa ia memberikan peringkat Muhammad lebih tinggi dari Yesus karena ia percaya bahwa Nabi Muhammad memainkan pengaruh pribadi yang lebih besar dalam perumusan agama Islam, dibandingkan dengan Isa dalam perumusan agama Nasrani. Hal ini berarti di masa lampau, kehidupan multicultural sudah bisa disikapi dengan tetap mempertahankan nation dan agama, tanpa tumpeng tindih. Nilai-nilai agama dan kebangsaan dapat berdampingan dengan harmonis dan tercipta suasana hidup yang nyaman dengan melakukan negosiasi identitas beragama.

Jika jati diri bangsa masih ingin terpatri dalam setiap jiwa tumpah darah bangsa, semestinya perbedaan tidak lagi menjadi soal untuk kemudian harus disamakan. Sikap saling menerima dan menghargai adalah pondasi utama yang harus selalu ditanamkan sejak dini hingga akhir hayat. Sebab perbedaan adalah rahmat. Tentunya pelangi tak akan indah jika hanya tercipta dari satu warna bukan? Wallahu a’lamu bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *