Uang Panai; Cinta atau Gengsi?

Uang Panai; Cinta atau Gengsi?
Ilustrasi

Konon, ada seorang pria asal Belanda yang jatuh hati pada putri Bangsawan Bugis yang amat cantik dan menarik. Kepada putri tersebut, sang pria ingin menikahinya, namun ditolak oleh sang raja. Raja amat menyayangi putrinya, sehingga tidak mengijinkan putrinya disentuh oleh laki-laki manapun. Akhirnya, raja memberi syarat yang sampai saat ini kita kenal dengan uang panai.

Dari sudut pandang budaya, kita dapat mengambil pelajaran pada asal usul uang panai. Uang panai merupakan bentuk penghargaan pihak laki-laki pada pihak perempuan pujaan hati. Ia rela melakukan segalanya termasuk memenuhi syarat uang panai. Bahkan, tidak menjadi beban berat bagi si laki-laki karena ikhlas dihatinya untuk berusaha.

Dari uang panai, kiranya dapat kita ambil pelajaran tentang perjuangan. Uang panai adalah bentuk penghargaan dan kerja keras laki-laki. Untuk memperoleh apa yang ingin ia wujudkan, apalagi berkaitan dengan calon pendamping hidup. Sehingga, uang panai tidak perlu menjadi beban yang menyebabkan berbagai permasalahan sosial.

Mahalnya nilai uang panai, kerap dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Yang pasti, orang tua ingin melihat keseriusan laki-laki dalam melamar anak perempuannya. Yaitu dengan mengupayakan uang panai sesuai dengan permintaan. Memang, uang panai selalu menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan dari dulu hingga saat ini.

Uang panai memiliki urgensi dalam pernikahan masyarakat Bugis-makassar. Kerap kali kita dengar ketika gadis bugis akan menikah, selalu yang menjadi pertanyaan adalah: “Berapa uang panainya?” pertanyaan ini menjadi salah satu tanda urgensi uang panai.

Lain dengan dulu, semangat motivasi panai, kini mulai mengalami pergeseran makna. Tidak jarang, besaran uang panai saat ini digunakan untuk ajang adu gengsi. Semakin tinggi uang panai, menandakan status sosial sebuah keluarga. Bahkan dalam beberapa kejadian, ada yang sampai pihak laki-laki harus meminjam hutangan demi terpenuhinya uang panai, saking tidak ingin kalah saing.

Ada pula yang rela melepaskan mempelai wanita karna tidak sanggup menyediakan uang panai yang diminta. Hal inilah yang selalu menuai pro dan kontra terkait besaran uang panai yang amat mahal hanya demi menuruti gengsi. Baik di kalangan suku Bugis-Makassar sendiri maupun masyarakat pada umumnya.

Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar mempertemukan dua insan dalam mahligai rumah tangga. Lebih dari itu, pernikahan merupakan pertemuan dua keluarga untuk mencari titik temu dengan segala jenis identitas hingga status sosial. Disadari ataupun tidak, hal ini menjadi warisan sistem feodal yang masih bisa kita temukan jejak-jejaknya pada sebuah pernikahan.

Kini, besaran uang panai dapat kita tentukan berdasarkan strata sosial, tingkat pendidikan, faktor kekayaan, ketenaran dan lain sebagainya. Uang nominal puluhan bahkan ratusan juta menjadi lumrah bagi perempuan dengan kriteria tinggi. Semakin tinggi nominal uang panai, maka semakin tinggi pula citra diri keluarga di mata masyarakat. Kiranya, fakta itulah yang terjadi saat ini.

Pernikahan, khususnya bagi orang Islam seharusnya lebih mendahulukan syari’at. Dengan pemahaman agama yang bagus, tingkat pendidikan dan pengalaman bergaul dengan orang luar daerah, setidaknya bisa memperbaiki cara pandang terhadap budaya uang panai. Bukan berarti menolak atau mengubah sama sekali, tapi lebih kepada menyesuaikan budaya tersebut sehingga bisa diterima semua kalangan.

Pada akhirnya, ini semua adalah tentang keikhlasan. Suami yang rela untuk memberi serta sang istri yang rela untu menerima. Hal ini sudah harus ditekankan dalam proses lamaran sehingga masing-masing pihak keluarga tidak saling mempersulit diri.

Semua bisa dicapai, salah satunya dengan melangsungkan komunikasi yang baik. Entah itu hubungan keluarga, pertimbangan kondisi ekonomi, pandangan tentang mahar dan keikhlasan serta hal lainnya, semua perlu komunikasi yang baik. Sehingga, kedua belah pihak merasa lega dan tidak memberatkan salah satu.

Komunikasi dan berbagai kesepakatan sangat penting dilakukan dalam proses menuju pernikahan. Melalui interaksi yang komunikatif, akan terbangun keterbukaan dan tidak ada yang mendomunasi satu sama lain. Sehingga, kesepakatan yang dihasilkan merupakan cerminan keinginan dua insan yang akan mengarungi kehidupan baru. Wallah A’lam bi al-Shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *