Keadaan memanas. Ia pun terdesak. Seluruh mukanya hancur tak berbentuk. Hanya sebelah matanya saja yang berfungsi normal. Darah segar mengalir dari kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Dalam keadaan itu, harapannya hanya satu, penduduk Desa mampu melupakan kesalahan-kesalahannya di masa lalu.
Sore itu Wanda tersenyum. Ia berdiri tepat di depan pintu lapas. Safir yang sejak pagi menunggu Wanda, bahagia tidak terhingga. Hari yang berharga untuk dikenang oleh Wanda yang baru saja keluar dari penjara.
Kasus beberapa tahun lalu menyeret Wanda ke dalam penjara. Mungkin yang dirasakan gadis seusianya adalah suatu kepedihan. Bagaimana mungkin tangan akan diam saat orang tua yang menjadi sandaran dihina begitu saja oleh orang yang tidak tahu kejadian sebenarnya.
Kala itu, Wanda adalah anak tunggal dari pasangan suami istri di sebuah Desa bernama Kaukhaten. Naas, Ayah Wanda meninggal saat bekerja. Ayahnya tersengat aliran listrik yang tinggi saat membetulkan kabel yang putus di tiang listrik. Sedangkan Ibunya adalah perempuan cacat. Kakinya tak dapat lagi bergerak. Menurut orang-orang di Desa, Ibu Wanda tertabrak mobil saat sedang menyebrang jalan. Tapi desas-desus yang beredar di masyarakat adalah Ibu Wanda tertabrak mobil saat ia mencoba berlari karena mencopet seorang penumpang di angkot. Wanda tidak tahu yang mana yang benar dan mana yang salah. Karena pada saat itu, ia belum lahir.
Kata Ibu Wanda, ada tetangganya yang membencinya karena usaha yang dilakoni Ibunya meraup untung lebih besar. Sehingga atas dasar ketidaksukaan itu, Ibu Wanda di fitnah sana sini yang membuat usahanya bangkrut.
Wanda sakit hati ketika ada orang yang menghina Ibunya. Walau bagaimanapun, Ibu Wanda tetap Ibunya. Tak peduli walau ia cacat sekalipun. Hingga ejekan itu terdengar dari teman seangkatannya. Merasa tak terima, perkelahianpun terjadi. Wanda kala itu dikeroyok empat orang perempuan seusianya. Tatkala diserang demikian, insting bertahan hidup Wanda muncul. Batu tajam di sampingnya diambil dan diarahkan kepada perempuan yang menggulungnya dari atas. Alhasil, kepala perempuan itu berdarah banyak. Saat itulah Wanda dilaporkan ke polisi dan ia dikurung 7 tahun penjara atas dasar percobaan pembunuhan.
Hanya Safir, teman paling setia Wanda. Safir bukanlah orang asli dari Desa Kaukhaten. Ia juga sebatang kara. Ia tinggal di sebuah masjid sebagai marbot. Ia tinggal dan hidup bersama pamannya.
Safir sering melihat Wanda datang ke masjid hanya untuk sekedar menangis dan berdoa kepada Tuhan. Meluapkan segala keluh kesah hidupnya. Bagi Safir, Wanda adalah perempuan yang tangguh dengan segala bebannya. Wanda juga menjadi tulang punggung keluarga. Safir sering bercengkrama dengan Wanda untuk sekedar mengisi kekosongan teman di dalam diri Wanda. Safir pria pertama yang menerima Wanda apa adanya.
***
Safir menaruh hati pada Wanda. Ia punya keinginan untuk menikahi Wanda ketika Wanda keluar dari penjara. Menurut Safir, Wanda adalah bidadari yang telah mengajarkannya apa arti kehidupan yang sebenarnya. Wandalah yang mengajarkan bagaimana untuk dapat menerima apapun yang telah Tuhan berikan. Dengan dasar itu, nampaknya Safir melihat Wanda sebagai perempuan yang bisa diajak berjuang.
Hari demi hari Safir habiskan untuk belajar agama dengan serius. Ia ingin menjadi imam yang baik bagi Wanda. Juga menjadi Ayah yang baik bagi anak-anaknya kelak. Sampai datang suatu hari dimana Wanda keluar dari jeruji besinya. Safir sudah siap menerima segala konsekuensinya. Mungkin ia akan dikucilkan masyarakat. Tapi bagi Safir itu tidak menjadi masalah ketika Wanda berada di sampingnya. Wanda akan selalu menyemangatinya.
“Safiiir..” teriakan Wanda menyentuh hati Safir. Rasa rindu yang dalam itu kini terobati. Safir menghampiri Wanda dan menyapanya dengan sapaan hangat. Seperti sapaan keluarga yang telah lama tak terlihat. “Wanda, aku sudah lama menunggu saat-saat ini, maukah kamu…” belum sampai kalimat itu selesai, Wanda memotong, “Fir, antarkan aku sekarang. Aku sangat rindu pada Ibuku” kata Wanda dengan wajah yang berseri-seri.
Wanda dan Safir bergegas menuju ke tempat Ibu Wanda. Dengan sepeda motor, kedua insan itu menapaki jalan yang berbatu. Namun alam di sekitarnya menunjukan kesejukan. Angin yang dingin, kebun yang hijau dan sungai yang mengalir jernihnya menambah perasaan haru bagi Wanda. Tak sabar ia ingin bertemu dengan Ibunya.
Sesampainya di pemakaman umum Jenderal Sudirman, Safir menunjukan letak kuburan Ibu Wanda. Wanda bersimpuh berlutut di hadapan kuburan sang Ibu. “Ibu, Wanda sudah bebas sekarang. Ibu bisa lihat Wanda kan? Wanda selalu sayang Ibu..” menetes air mata bahagia Wanda pada tanah kubur sang Ibu.
Ya, Ibunya telah meninggal. Ibu Wanda meninggal saat Wanda berada di penjara. Sedih rasanya di hari terakhir Ibunya di dunia, justru Wanda tidak dapat melihat ataupun mengurus jenazahnya. Kesedihan dan kerinduan kepada Ibunya sangat dalam. Ibu yang menjadi satu-satunya alasan kenapa Wanda bertahan dengan segala cobaannya.
“Fir, aku sangat menyayangi Ibuku” tersenyum Wanda di sertai uraian air mata. “Ya, Wanda. Ibumu juga sangat menyayangimu” dalam hati Safir berkata, “termasuk aku”. Setelah puas bermandikan rindu dengan Ibu Wanda, mereka pulang. Sudah lama Wanda tidak menginjakkan kaki ke Desa.
Wanda dan Safir masuk ke Desa. Terlihat suasana yang Wanda belum pernah lihat. Desa tempatnya dulu bermain kala kecil, sudah agak berbeda. Sekarang semakin banyak rumah dan sedikir sekali halaman untuk bermain. Termasuk mungkin rumah Wanda yang lama tidak terurus.
Sampai di rumah, Wanda tercengang. Betapa halaman rumah Wanda indah sekali. Tanaman-tanaman subur beserta warna-warni bunga menghias halaman rumah Wanda. “ini, rumahku Fir?” Seolah tak percaya. “ya, ini rumahmu. Aku poles sedikit agar rumah ini terlihat ada penghuninya” kata Safir. Ternyata selama ini Safir giat menyiram dan menanam tanaman di halaman rumah Wanda. “oh iya, ini kunci rumahmu. Selamat bernostalgia dengan rumahmu. Aku izin pamit dulu ya,” Safir memberikan kunci rumah Wanda. Dengan tersenyum bahagia Wanda mengucapkan terima kasih. Selanjutnya, Safir pergi dan Wanda masuk ke dalam rumah lama dengan sejuta kenangan di dalamnya, “Assalamu’alaikum..”.
***
Kepulangan Wanda tidak disambut baik oleh penduduk Desa. Banyak diantaranya ada yang menggunjing Wanda dan kesalahan masa lalunya. Wanda belum dapat diterima di Desa. Sebab, bagi penduduk Desa, masuk penjara adalah hal besar yang mencoreng nama baik Desa. Apalagi yang masuk penjara itu adalah seorang perempuan.
Tak ada satupun tetangga rumah Wanda yang mengucapkan selamat datang kepada Wanda. Bahkan ketika ia ke warung untuk berbelanja, banyak yang malah pergi begitu saja. Wanda di anggap Wabah virus corona. Padahal, kesalahan Wanda sudah berlalu tujuh tahun lamanya. Tapi ingatan itu sepertinya membekas dalam ingatan masyarakat. masyarakat belum bisa menerima Wanda sepenuhnya.
Safir mengetahui hal itu. keinginannya untuk menikahi Wanda ia urungkan terlebih dahulu. Setidaknya sampai Wanda mendapatkan kembali nama baiknya di masyarakat. Safir meminta Wanda untuk mengajar ngaji di Masjid. Wanda menerima tawaran Safir. Setiap maghrib dan Subuh, Wanda mengajar ngaji anak-anak kecil di Desanya.
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, satu per satu anak-anak yang Wanda ajarkan ngaji itu tidak kembali ke Masjid. Orang tua satu per satu melarang anaknya untuk berangkat ngaji, hanya karena tidak mau anaknya diajari oleh “mantan napi”.
Kesedihan meliputi hati Wanda. Tapi ia selalu tersenyum tatkala Safir menghampirinya sekedar memberinya semangat. Safir sangat mengetahui kesedihan yang dialami Wanda. Ia tidak bersalah, tapi mengapa Tuhan menghukumnya seperti ia melakukan kesalahan. Safir akhirnya berpikir, ia dilahirkan ke dunia adalah untuk membersamai Wanda. Untuk menghilangkan segala kesedihannya.
***
Hari demi hari Wanda lakukan dengan senang hati. Tiap hari Jumat, ia mengirim minuman dan makanan untuk jamaah sholat Jum’at. Ia taruh di depan gerbang yang dilintasi jamaah ketika usai sholat jum’at. Tak hanya itu, Wanda juga menyibukkan diri di sebuah panti asuhan di Desanya. Ia berkhidmat bagi anak-anak di panti tersebut. Ia sering mengadakan event-event untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya membangun semangat anak-anak yatim. Berbekal ilmu agama yang cukup, Syafira menjadi pendakwah yang lumayan baik.
Tapi hal tersebut belum bisa melunakkan hati masyarakat. Banyak yang masih menutup pintu maaf dan pintu kebaikan karena khawatir Wanda akan menularkan sifat jahatnya kepada anak-anaknya. Mereka masih menganggap Wanda sebagai “mantan napi”. Hingga apabila ada sesuatu kehilangan di Desa Kaukhaten, orang yang pertama kali disorot adalah Wanda.
Selain Safir, Wanda diterima baik oleh Kepala Desa, Pak Parmin. Sebab, Kepala Desa tersebut ternyata adalah teman baik dan teman seperjuangan Ayah Wanda. Bahkan dulu antara Ayah Wanda dan Pak Parmin sering berandai-andai apabila mempunyai anak laki-laki dan perempuan, mereka akan menikahkannya.
Anak Pak Parmin ternyata laki-laki semua namun mereka sudah menikah semua. Pak Parmin sendiri adalah duda. Ia ditinggalkan istrinya beberapa tahun lalu. Pak Parmin tinggal sendirian di rumahnya. Meski begitu, Pak Parmin tidak terlalu menyoroti masa lalu Wanda. Karena Wanda yang sekarang tumbuh menjadi perempuan muslimah yang baik dan cantik.
***
Suatu pagi, masyarakat dibuat geger. Kambing Pak Parmin tiba-tiba mati tersembelih. Tidak hanya satu kambing, melainkan beberapa ekor kambing. Lantas warga berkumpul untuk mengidentifikasi kejadian tersebut. Banyak warga yang berspekulasi bahwa kehilangan kambing tersebut adalah karena “mantan napi” yang baru saja keluar dari penjara.
Tapi sangkaan tersebut ditepis oleh Pak Parmin. Menurutnya, perempuan tidak mungkin melakukan demikian. Kalaupun iya, lebih logis kalau perempuan mencuri perhiasan di rumah Pak Parmin bukan menyembelih kambing di kandangnya. Akhirnya pagi itu warga bubar dengan pertanyaan yang masih mengganjal dipikiran warga.
Kejadian tidak berhenti disitu. Keesokan harinya, kambing milik warga ada yang tersembelih juga. Warga kembali dibuat geger. “kemarin kambing milik Pak Parmin, sekarang milik Pak Dasuki… siapa yang bertanggungjawab atas semua kehilangan ini?!!!” warga satu persatu mulai mencari tahu. Keamanan kemudian diperketat, ronda diberlakukan tiap malam.
Tak terkecuali Safir, ia ikut mengamankan Desa. Malam yang dingin tidak mengurungkan niat Safir untuk menjaga Desa Kaukhaten sampai betul-betul bersih dari penyembelihan kambing. Bentuk kejahatan kali ini memang agak aneh. Sebab yang disembelih adalah kambing. Dan kambing itu dibiarkan begitu saja di kandang. Seharusnya, kambing ketika disembelih itu terdengar suara ributnya. Tapi baik dari Pak Parmin maupun Pak Dasuki tidak mendengar keributan apapun dari kadang kambing.
Malam itu berlalu. Pagi menyeruak hadir menandakan tugas telah selesai dilakukan. Safir dan beberapa tukang ronda lainnya memutuskan untuk pulang. Baru selang beberapa menit, kembali warga dibuat geger. Kini bukan pencurian kambing melainkan penyembelihan kambing. Beberapa kambing warga mati dengan bekas gorok dilehernya.
Beberapa tukang ronda termasuk Safir dikatakan lalai dalam menjalankan tugas. Mereka diminta bertanggungjawab untuk mengganti kerugian kambing yang tersembelih itu. Safir tidak punya uang, bagaimana ia bisa mengganti kerugian kambing-kambing itu. lagi pula, ia tidak bersalah. Karena memang pencuri yang sekarang beralih profesi menjadi penyembelih kambing itu tidak menampakan jejak sama sekali.
Karena suasana makin tegang. Akhirnya Desa Kaukhaten dibuat siaga satu. Maklum, profesi utama warga Desa Kaukhaten adalah menggembala. Seluruh warga diminta untuk hati-hati dan melaporkan tiap gerak-gerik mencurigakan. Warga laki-laki yang telah cukup umur wajib berjaga kala malam hari. Tak terkecuali perempuan, siapa yang berkehendak menjadi relawan untuk pengamanan Desa, dipersilakan. Salah satunya Wanda. Perempuan Desa yang menyatakan kesediaannya untuk berjaga di malam hari.
Malam pun tiba. Masyarakat berjaga di poskonya masing-masing. Malam itu dingin sekali. Membuat sebagian warga tak mau keluar rumah. Bahkan ada yang membawa selimut sampai ke posko keamanan. Wanda adalah perempuan yang tangguh. Ia menepis segala bentuk dingin dan ngantuk. Wanda tidak minum kopi tidak pula merokok. Tapi bisa kuat menahan dingin dan kantuk malam itu.
Tepat pukul satu pagi, rasanya semua aman-aman saja. Sebagian bergantian berkeliling Desa untuk memastikan semua aman. Di Desa tersebut dibagi beberapa posko. Antara posko Wanda dan posko Safir berbeda jauh sekali. Tapi tidak menutup kemungkinan mereka dapat berpapasan di jalan ketika sedang berkeliling.
Waktu menunjukan pukul setengah tiga. Malam itu semakin sedikit orang yang menjaga. Diantara mereka ada yang tidur pulas di posko dan ada yang kembali ke rumah masing-masing. Wanda masih bertahan di posko dan sesekali ia berkeliling. Menapaki satu persatu jalan yang sering ditempuh warga ataupun yang jarang ditempuh.
Malam itu Wanda mendapati seseorang berjalan menuju kandang kambing warga. Sendirian ia membuntuti laki-laki tersebut. Wanda berdiri di balik pohon besar mengintainya. Malam menjadikan sesosok manusia itu tak nampak. Tapi laki-laki itu membawa golok besar di samping kanan pinggulnya. “Apakah dia yang menyembelih kambing warga,?” Wanda menebak-nebak apa yang akan terjadi. Setelah menunggu, benar saja, rintihan suara kambing dan teriakan orang terdengar dari sana.
Nampak laki-laki itu berlari kencang keluar dari daerah kandang itu. Wanda yang sedari tadi berada di balik pohon menunggu laki-laki itu sampai padanya. Semakin mendekat, laki-laki itu berlari kearahnya. Wanda gemetar, reflek ia mengambil batu tajam yang ada di bawah kakinya. Ketika laki-laki itu sampai di samping Wanda, dari balik pohon Wanda menghantam laki-laki itu dengan batu tajam tadi.
Brakk… menghujam ke arah mata kanan laki-laki tersebut sehingga ia terjatuh dan berteriak kesakitan. Saat itulah kesempatan Wanda untuk mencari bantuan. “Toloooong… malingnya di sini!!!”. Suara Wanda terdengar oleh warga yang sedang berjaga. Berbondong-bondong warga datang ke arah teriakan Wanda. Termasuk dari arah kandang kambing tempat laki-laki itu menyembelih kambing.
Warga meringkus laki-laki tersebut dengan kain yang panjang dan cukup lebar. Sehingga tertutuplah seluruh bagian badan dari laki-laki itu. ia kemudian di gotong menuju Balai Desa untuk dihakimi.
***
Wanda histeris, tatkala dibuka kain penutup itu. Ia tak pernah berpikir kalau yang menjadi ancaman bagi warga selama ini adalah Safir!!!. “Sa..fiirr, kenapa kau lakukan itu,?!!!” tak kuasa Wanda menahan air mata. Wanda melihat tangannya sendiri, tangan yang telah melukai mata Safir teman hidupnya. Satu satunya teman yang setia menemaninya hingga akhir. “kenapa tangan ini begitu jahat!!!” Wanda tak kuasa melihat darah yang keluar dari bola mata Safir. Seketika itu, ia pingsan.
Warga yang sedari tadi menggebu-gebu amarahnya, meluapkannya dengan memukul Safir. Satu demi satu pukulan Safir terima. Ia sempat ingin berkata sesuatu, namun sayang, bibirnya tak sanggup berkata karena sakitnya. Pukulan demi pukulan Safir terima. Dia melihat ke arah Wanda yang terkulai lemas pingsan di hadapannya. Mungkin Wanda akan kecewa melihatnya dipukuli orang-orang Desa Kaukhaten.
Wajah dan tubuh Safir terluka parah. Warga Desa mereda ketika Kepala Desa datang. Pak Parmin menghentikan warga. “Kita memang tahu kalau dia salah, tapi tidak boleh kita sampai main hakim sendiri saudara-saudara. Kita punya hukum, serahkan pada yang berwenang,” kata Pak Parmin menenangkan warga. Pak Parmin merasa iba melihat keadaan Safir. Kemudian ia mengajak warga lainnya untuk berdiskusi terkait Safir.
“Pak, alangkah lebih baiknya kalau ia dijebloskan ke dalam penjara saja!!!” kata salah seorang warga. Namun Pak Parmin mempertimbangkan banyak hal, “saudara-saudara, apakah kalian masih ingat kejadian tujuh tahun lalu ketika ada seseorang dari warga kita yang dijebloskan ke dalam penjara,?” para warga mulai berbisik-bisik. “ya, benar!. Dia sekarang ada di tengah kita. Membersamai kita untuk menangkap maling ini,” Pak Parmin membela Wanda. “Tapi apa yang akan Desa lain katakan terhadap Desa kita kalau sampai ada warga kita yang masuk penjara lagi!!!” kata Pak Parmin mengingatkan.
Semua hening, hanya suara Safir yang mengerang kesakitan saja yang memecah suasana. Sebagian warga merasa iba terhadap pemuda yang menjadi marbot masjid dan guru ngaji anak-anaknya itu. Tidak ada yang menyangka bahwa Safir melakukan hal tersebut.
“Saya punya usulan,” kata Pak Parmin. Warga mulai fokus kepada pembicaraan Pak Parmin. Mereka menunggu usulan apa yang akan dilontarkan oleh Pak Parmin. “Bagaimana kalau Safir kita usir saja dari Desa dan jangan pernah kembali,!!” warga merasa ide tersebut adalah jalan keluar terbaik untuk menjaga nama baik Desa Kaukhaten. “Saya setuju atas usulan Bapak” salah seorang warga mengawali, “ya, saya juga setuju, Pak” berbondong-bondong orang-orang menyetujui apa yang Pak Parmin usulkan.
“Baiklah, kita akan keluarkan Safir dari Desa. tapi sebelum itu, saya meminta dengan kerendahan hati, bapak-bapak dan ibu-ibu membantu biaya kesehatannya. Karena ia akan kita lepaskan setidaknya ketika tubuhnya mampu untuk bergerak bebas kembali,”. Setelah itu, Pak Parmin dan beberapa warga membawa Safir ke Rumah Sakit.
***
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Wanda terlihat makin baik di mata orang-orang Desa. Ia semakin terangkat nama baiknya ketika dinikahi oleh Pak Parmin. Warga tidak ada yang merasa curiga ataupun mempermasalahkan masa lalu Wanda lagi. Wanda menjadi semakin aktif mengelola panti asuhan dan menjadi pendakwah di Desa Kaukhaten.
Namun, keadaan Pak Parmin makin hari semakin memburuk. Pak Parmin sakit keras. Ia terbaring kaku di kamar selama lebih dari sebulan ini. Hari-hari Wanda di habiskan untuk menjaga dan mengobati Pak Parmin.
Pagi itu ia telah selesai beres-beres rumah. Seperti biasa, pagi hari Wanda menyalakan TV untuk menonton berita terkini. Dengan ditemani secangkir teh hangat, Wanda menikmati pagi harinya.
“Pemirsa, berita kali ini datang dari Kecamatan Songko dimana ada seorang pria tewas dini hari kemarin dengan cara berdiam diri di tengah jalan tol. Kejadian tersebut berhasil terekam kamera CCTV dan mengakibatkan sejumlah kendaraan bertabrakan satu sama lain. korban jiwa yang bunuh diri tersebut berinisial “S” dan dilarikan ke Rumah Sakit terdekat untuk selanjutnya di makamkan di pemakaman umum Jenderal Sudirman.”
“Suraaatt…” Pak Pos membuyarkan fokus Wanda. Ia pergi keluar untuk mengambil surat yang dititipkan kepada Pak Pos. “Dari siapa ini, Pak,?” tanya Wanda penasaran. “tidak tahu Bu, disana hanya dicantumkan inisialnya saja, ‘S’”. Wanda agak kurang enak hati. Siapa yang sepagi ini mengantarkan surat padanya. Surat itu ia bawa ke tempat semula ia menonton TV.
Ia duduk dan mengecilkan volume TV. Sembari menarik nafas dalam, ia membuka surat itu secara perlahan. Di atas tertulis, “dari Safir untuk Wanda”. Jantung Wanda berdegup kencang. Kenangan masa lalu itu kembali lalu lalang dalam pikiran Wanda. Sejak keluar dari Desa, Safir tak pernah sekalipun memberi kabar. Kini di tangannya, terdapat surat dari seseorang yang dulu setiap hari mengisi kesedihannya.
Dari Safri untuk Wanda
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Seiring dengan laju waktu di persemaian hati, kali ini aku sedang berusaha berkomunikasi denganmu. Dengan seuntai surat yang ku kirimkan, semoga menjadi penawar hatimu dalam kesulitan. Atau bahkan setelah kau membaca surat ini, ada sesuatu yang akan terjadi pada pola prilakumu.
Tak tahu darimana aku akan memulai. Aku mencoba bernostalgia dengan beberapa butir ingatan di kala itu. Setelah ku terpaku akan hadirmu, menjadikanmu satu-satunya perempuan yang aku sayangi.
Tak pantas rasanya diriku berkata demikian. Aku lihat di sosial media, kau telah bahagia. Menggunakan gaun pengantin dan berlenggok layaknya putri dengan pangerannya. Aku turut bahagia juga. Walau aku kurang setuju pernikahanmu dengan Pak Parmin, tapi semesta nampaknya berkata lain.
Berbicara tentang Pak Parmin yang telah mengusirku dari rumah keduaku setelah sepi, aku menjadi gelandangan di negeri orang. Dulu aku sempat menghadapnya untuk bilang bahwa aku akan menikahimu, namun ia nampaknya malah menjauhkanku darimu.
Ada fakta yang ingin aku ungkapkan, Wanda. Tolong kau cermati isi surat ini. Dan kau jadikan sebagai pelajaran hidup bahwa dibalik orang yang membantumu justru ada diantaranya yang ingin menjatuhkanmu.
Aku dijebak. Kala itu, aku mendapat panggilan untuk berjaga di kandang kambing sebelah utara. Dalam pesan itu, aku diminta berangkat ketika ayam sudah mulai berkokok. Ya, malam itu, aku bergegas. Sampai di sana aku melihat seseorang yang selama ini ku kira akan menjadi tameng keduaku setelah Tuhan. Dia yang menyembelih kambing itu. Tapi malah aku yang disalahkan. Dia berteriak seolah akulah yang salah. Lantas aku berlari kencang untuk menghindari tuduhan keji itu.
Di jalan, kau menghadang, dengan batu tajam yang membutakan sebelah mataku. Hadiah terbaik yang aku terima setelah rasa sakit akibat tak punya keluarga. Sungguh rasa sakit itu aku makan sendirian hari demi hari.
Terakhir aku ingin menyampaikan, pada seseorang yang aku berharap ia menjadi istriku. Jaga dirimu baik-baik. Mungkin setelah kau membaca surat ini, aku sudah tidak lagi dapat kau temukan. Semoga kita bisa bertemu di kemudian hari, di surga.
Dari aku: yang buta mata dan hati.
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Setelah Wanda membaca surat itu, ia kaget setengah mati. Seperti tersambar petir di siang bolong. Air matanya tak sanggup ia bendung. Surat di turunkan dari wajahnya, lantas ia menatap TV sambil tersendu-sendu. “Sa..fir, maafkan aku” nampaknya kata maaf itu telah terlambat. Sampai kapanpun, Wanda tidak akan pernah bisa bertatap dan bercengkrama dengan orang yang menguatkan hatinya selama ini sehingga ia bisa diterima oleh seluruh masyarakat.
Krannggg.. suara gelas jatuh dari arah kamar. Wanda bergegas menuju ke arah suara itu. Di kamar, Pak Parmin nampaknya sedang bermimpi buruk. Badannya menggelinjang namun tangan dan kakinya rapat ke badan, seperti orang yang sedang dipegang kaki dan tangannya. “Pak..pak!!” Wanda menggoyang-goyangkan tubuh Pak Parmin. Sia-sia, Pak Parmin tak juga sadar. Pak Parmin bermimpi ia sedang di pegang oleh orang-orang dan menunggu untuk disembelih seperti seekor kambing.