Spirit Pengabdian Kiai Sukan

K.H. Khoiruddin bin Baijuri (Kiai Sukan), 1986.
K.H. Khoiruddin bin Baijuri (Kiai Sukan), 1986. (Ist).

Menjelang haul Kiai Haji Khoiruddin bin Baijuri ke-36, tiba-tiba saya tergerak untuk menuliskan sedikit tentangnya. Tentu saja, tulisan sederhana ini tidak akan mampu mengungkapkan seluruh sisi hidupnya. Mungkin hanya secuil saja. Itu pun berdasarkan saksi hidup beberapa orang yang di antaranya adalah murid beliau langsung. Salah satu di antaranya adalah Ustad Nurul, pengajar Madrasah Tarbiyatus Shibyan. Kebetulan dia juga paman saya. Beberapa kali saya bercakap-cakap santai dengannya mengenai sosok Kiai Khoiruddin (atau Kiai Sukan). Termasuk tentang sepak terjang, perjuangan, dan pengabdiannya untuk masyarakat; khususnya masyarakat di Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan.

Baiklah, pertama-tama saya akan mencoba menelisik jejak perjalanannya dalam menimba ilmu. Usut punya usut, sejak masa belia, beliau sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang santri. Tentu saja, juga atas dorongan yang kuat dari kedua orangtuanya. Pondok Pesantren Sumber Anom, Desa Angsanah, Kecamatan Palengeaan, Pamekasan, menjadi titik awal pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Di bawah asuhan KH Rofi’i bin Tubat, beliau mulai nampak sebagai sosok yang tekun dalam belajar. Lambat laun, atas restu sang guru, beliau melanjutkan pula proses belajarnya ke Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan, di bawah asuhan KH Sirojuddin bin Nasruddin. Kiai Siroj sendiri merupakan Pendiri Ponpes Miftahul Ulum  Bettet dan sekaligus perintis Nahdlatul Ulama di Pamekasan.

Selanjutnya, atas restu sang guru, Kiai Siroj, beliau melanjutkan proses menuntut ilmu ke Ponpes Sidogiri, Pasuruan. Beliau dipercaya untuk menemani putra sang guru yaitu KH Hefni Siroj untuk belajar ke Sidogiri. Bahkan, selama di Sidogiri, Kiai Sukan dan Kiai Hefni berada dalam satu kamar. Namun, yang patut menjadi catatan adalah meskipun bersahabat akrab dengan Kiai Hefni, beliau sangat hormat dan ta’dzim kepada putra gurunya tersebut. Betul-betul menjaga adab; baik dalam tutur kata maupun gerak-geriknya. Bahkan, berdasarkan penuturan beberapa saksi hidupnya, selama di Sidogiri pula, Kiai Sukan dipercaya menjadi “tangan kanan” Kiai Hefni. Artinya, selain sebagai khodim-nya Kiai Hefni, beliau kerap kali ditunjuk oleh Kiai Hefni sebagai wakilnya dalam berbagai agenda/kegiatan pondok.

Setelah boyong dari Sidogiri, Kiai Sukan kembali ke kampung halamannya. Beliau mulai membaca, mengamati, dan memahami situasi sosial masyarakat sekitar. Artinya, tidak langsung ujug-ujug mendirikan lembaga pendidikan. Kemudian, perlahan-lahan, satu dua orang mulai datang ke beliau untuk mengaji. Santri-santri mulai bertambah. Beliau pun dengan tangan terbuka menerima mereka.

Gubuk-gubuk sederhana mulai dibangun untuk menampung santri yang mulai berduyun-duyun datang. Sebagian merupakan santri kalong. Namun, sekali lagi, beliau tidak langsung mendirikan lembaga. Apalagi, lokasi Klampar dan Bettet ini cukup berdekatan. Jadi beliau sangat takut dan khawatir su’ul adab kepada gurunya jika tiba-tiba mendirikan pondok. Namun, ternyata Kiai Hefni, sahabat dan sekaligus gurunya, justru mendorong dan menyemangati beliau untuk membangun lembaga pendidikan/madrasah.

Berbekal doa dan restu sang guru, dengan penuh keyakinan, Kiai Sukan mulai merintis madrasah yang kemudian bernama Madrasah Tarbiyatus Shibyan. Tidak hanya itu, beliau juga menginisiasi pengajian malam Senin (khusus laki-laki) dan pengajian malam Kamis (khusus perempuan) yang dibuka untuk masyarakat. Ibarat sebuah peribahasa, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin menerjang. Begituah yang dialami Kiai Sukan ketika menceburkan diri di gelanggang perjuangan.

Tidak terhitung cacian, cibiran, dan bahkan fitnah yang kerap kali menyasar beliau. Beragam upaya intimidasi sering dihadapi untuk menjatuhkan marwahnya sebagai tokoh masyarakat. Namun, semua cobaan itu dilaluinya dengan penuh kesabaran. Bahkan, beliau selalu berupaya merangkul orang-orang yang bersebrangan dengannya. Beliau tetap kukuh untuk mengajar, mendidik, dan berdakwah di tengah masyarakat. Beliau tetap istikamah menggelar pengajian dan mendidik santri-santrinya. Selain itu, beliau juga aktif di Nahdlatul Ulama, khususnya di Kecamatan Proppo. Baginya, NU menjadi wadah perjuangan dan pengabdian untuk agama, nusa, dan bangsa.

Kiprah beliau sebagai ulama, pendakwah, dan aktivis mulai diakui khalayak luas. Bahkan, bukan hanya masyarakat Klampar yang berguru kepadanya. Dari desa lain pun juga datang kepadanya. Lagi-lagi, berdasarkan pernyataan saksi hidupnya, di zaman Kiai Sukan, banyak tamu dengan beragam latar belakang sowan kepadanya. Mereka datang dengan berbagai keperluannya. Seperti halnya meminta nasihat hingga meminta obat dan jimat. Sekadar tambahan informasi, Kiai Sukan ini juga dikenal luas sebagai seorang tabib. Terkait hal itu, ada santri yang ditugaskannya untuk membuat jimat. Tentu, isi jimatnya dari Kiai Sukan.

Lalu, terkait karomah-karomahnya, saya tidak akan menguraikannya di sini. Meskipun, saya sendiri juga kerap kali mendengar cerita-cerita di luar nalar mengenainya. Saya hanya akan menggambarkan semangatnya dalam belajar, mengajar, dan berdakwah. Saya hanya akan sedikit mendeskripsikan keluhuran budi beliau. Contohnya, ketika menerima tamu, betapa beliau sangat menghargai dan menghormati siapa pun yang datang. Tanpa melihat asal-usul dan latar belakanganya. Lebih-lebih yang bertamu adalah guru atau putra-putra gurunya, beliau sangat hormat dan mengangungkannya.

Ringkas cerita, puluhan tahun pasca beliau wafat, lembaga yang dirintisnya masih eksis hingga sekarang. Bahkan, sudah berkembang menjadi Yayasan dan Ponpes Al-Ikhlas yang di dalamnya terdapat Madrasah Tarbiyatus Shibyan, PP Al-Ikhlas, KB Al-Ikhlas, TK Al-Ikhlas, SMP Al-Ikhlas, dan SMK Al-Ikhlas. Tidak hanya itu, pengajian malam Rabu dan Malam Senin masih aktif hingga sekarang. Saat ini, Yayasan dan Ponpes Al-Ikhlas diasuh oleh KH Syamsul Arifin, putra sulung beliau dari lima bersaudara. Jadi, beliau memiliki lima anak. Di antaranya, Syamsul Arifin, Muhebbah, Ulumiyah, Karom, dan Indah Ainiyah.

Akhirul kalam, saya berharap penuh agar spirit perjuangan dan spirit pengabdian Kiai Sukan ini selalu hidup di tengah-tengah kita, khususnya masyarakat Klampar. Kemuliaan akhlaknya, semangatnya dalam menimba ilmu, mengajar, mendidik, dan berdakwah menjadi teladan bagi kita. Pengorbanan dan keistikamahannya menyebarkan cahaya Islam tidak perlu diragukan lagi. Seperti halnya Kompas, beliau penunjuk arah. Ibarat pelita, beliau menerangi jalan. Hal ini juga semacam cambukan bagi penulis yang sampai saat ini masih berproses. Terutama dalam meneruskan perjuangan dan meneladani akhlaknya. Dan semoga segala kekurangan serta keterbatasan dari catatan ini dimaklumi dan dimaafkan. Catatan ini semata-mata hanya upaya kecil penulis untuk mengabdikan secuil rekam jejak Kiai Sukan dalam deretan aksara.

*Oleh: Muhammad Aufal Fresky, penulis buku Empat Titik Lima Dimensi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *