Social Claimber, Gaya Hidup Tak Bersumber

Arus globalisasi dan westernisasi kian menjamur di abad ke-21 ini. Gaya hidup yang serba mewah sudah menjadi tren masa kini. Kehidupan sosialita selalu menjadi incaran orang-orang yang ingin terlihat melejit. Karena itu, citra menjadi segalanya dalam kamus mereka. Media sosial adalah tujuan utama mereka. Dunia maya adalah dunia nyata bagi mereka. Ya begitulah fakta yang ada.

Social claimber merupakan penyakit baru yang diidap oleh kebanyakan orang yang ingin mendapat pengakuan dari lingkungan sosialnya dengan menampakkan gaya hidup mewah layaknya sosialita dan terkesan dipaksakan. Stigma negatif selalu mengikuti istilah ini, karena sebenarnya para social claimber bukan dari golongan sosialita yang memiliki kedudukan dan materi berlimpah.

Social claimber bersarang pada mereka yang memiliki pola hidup yang tak pernah merasa puas. Mendeteksinya sederhana. Ia dapat dilihat dari ciri-ciri antara lain: update petualangan mewah di media sosial, melumuri seluruh tubuh dengan label terkenal dari kepala hingga ujung kaki, menutupi informasi pribadinya, perasaan puas setelah berbagi di media sosial, mempunyai lebih dari satu kepribadian, seorang social climber selalu memaksakan tingkahnya agar terlihat elegan di depan teman-temannya meski itu bukan naluri yang sebenarnya sehingga tidak jarang orang-orang seperti mereka tidak akan mampu berteman dengan siapa saja karena mereka hanya akan nyaman dengan orang-orang se-nalurinya.

Penyakit ini tidak jarang diidap oleh kebanyakan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Kampus yang seharusnya menjadi tempat the battle of idea, tapi justru menjadi tempat the battle of lifestyle. Tak heran, beberapa kalangan mahasiswa lebih merasa minder jika ia tak memiliki style yang kekinian daripada merasa minder jika memiliki intelektualitas yang ala kadarnya. Ini alarm berbahaya.

Muslim Sebagai Role Model Kehidupan

Gaya hidup akan selalu berkembang diiringi perputaran jam setiap harinya. Bahkan, belakangan ini muncul gaya hidup yang ditawarkan oleh para lifestlye blogger, gaya hidup minimalis. Gaya hidup ini mendorong orang untuk mengurangi konsumsi berlebihan terhadap barang-barang mewah dan mengurangi pembelian barang-barang seperti pakaian, perhiasan dan barang-barang lainnya yang dirasa kurang ada kebermanfaatannya.

Namun, terlepas dari sumber gaya hidup manapun, Islam dengan kesempurnaan ajarannya memiliki sudut pandang tersendiri. Islam mengajarkan tentang bagaimana hidup tidak berorientasi agar dipandang keren oleh orang lain (social claimber) atau berorientasi untuk kebermanfaatan pribadi.

Di tengah maraknya lifestlye yang terus berubah, seorang muslim harus mampu menjadi role model umat manusia. Contoh figur sederhana sudah dicontohkan pula oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan, Drs. Hanna Djumhana Bastaman MPSi, selaku psikolog Islam menyarankan kepada orangtua agar mengenalkan Nabi Muhammad SAW sedini mungkin karena baginya role mode terbaik ada di pribadi Rasulullah SAW.

Panduan yang jelas dari al-Qur’an dan as-Sunah sudah cukup membuat seorang muslim berkehidupan sesuai kodrat dan apa adanya. Gambaran gaya hidup yang buruk telah termaktub dalam surat At- Takatsur yang berbunyi

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ﴿١﴾ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ ﴿٢﴾ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٣

Artinya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1) Sampai kamu masuk ke dalam kubur(2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu) (3).”

Ayat tersebut memberi gambaran tentang celakanya orang yang bemegah-megahan dan bermewah-mewahan dalam hal materi. Jika bermegah-megahan saja dilarang mutlak oleh Allah, lantas bagaimana dengan ia yang berpura-pura terlihat kaya dan mampu dengan harapan untuk menaikkan derajat sosialnya? Ia bahkan lupa bahwa Allah sama sekali tidak melihat berapa banyak uang yang disimpan atau berapa tinggi ketenarannya.

Fenomena social claimber boleh jadi tanpa kita sadari bersemayam dalam diri. Perasaan bahwa materi dan pandangan manusia sebagai tujuan hidup. Padahal, dalam sabdanya Rasulullah pernah berkata:

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

Yang Artinya: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya

Dari hadits Nabi ini, kita menjadi tahu, ada siklus yang harus dilewati dalam hidup dan bergaya. Siklus menerima dan memberi. Bukan siklus menerima dan menimbun untuk dipamerkan atau bahkan menerima dan menimbun untuk diri sendiri. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang punya orientasi hidup yang diridhoi Allah SWT. Bersambung…

Oleh: Kurnia Intan Nabila, Mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang, Sekretaris Umum HMI Komisariat Iqbal Walisongo Semarang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *