Istilah kleptokrasi mungkin terdengar asing bagi awam. Tapi sangat terkenal di kalangan akademisi dan politisi. Secara etimologi, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni Kleptes (pencuri) dan Kratos (kekuasaan). Kleptokrasi memiliki arti pemerintahan korup, yaitu mereka yang sedang memangku kekuasaan atau jabatan publik, namun dengan sadar melakukan tindakan korupsi untuk memperkaya diri.
Sejak tahun 1945, para pendiri bangsa berharap Indonesia menjadi negara kesatuan yang demokratis. Negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Menjadikan rakyat sebagai objek penentu arah kebijakan. Semenjak kepentingan pribadi dan kepentingan partai mulai masuk ke ranah kebijakan, maka para penjarah pun memulai aksinya. Memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada lapisan atas yang berkuasa.
Kleptokrasi nyaris tidak bisa dipisahkan dari korupsi politik. Korupsi politik berarti penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) demi kepentingan pribadi dan atau partai.
Korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja dan dari partai politik mana saja mengingat fragmentasi kekuatan politik era demokrasi elektoral. Pintu masuk korupsi masih sangat terbuka lebar sehingga menarik minat para koruptor.
Sirkulasi jabatan strategis pemerintahan seperti menteri, memungkinkan dapat mengendalikan uang rakyat berubah fungsi menjadi basis logistik parpol atau kandidat. Hal tersebut rentan terjadi pula di ranah BUMN dan aset negara lainnya yang memungkinkan posisi strategis dikuasi oleh para koruptor.
Tidak hanya itu, masalah korupsi juga rawan sekali terjadi pada saat penyusunan, pengalokasian, dan pendistribusian anggaran. Seringkali terjadi mark up proyek, politik transaksional, dan pengaturan yang ilegal dalam anggaran.
Di Indonesia, korupsi adalah candu bagi mereka yang terlibat dan ketergantungan terhadap korupsi. Bagaimana tidak, lemahnya hukum di negara kita memberikan peluang seluas-luasnya bagi koruptor untuk dapat hidup bebas tanpa malu meski korupsi. Dengan cara memberikan sumber daya yang mereka miliki kepada birokrat, lalu menukarnya dengan proteksi atau memeberikan suatu wewenang tertentu.
Padahal negara kita adalah negara demokrasi. Seharusnya demokrasi menjadi proteksi akan korupsi. Keikutsertaan masyarakat sipil dan media mestinya memberikan kekuatan pada pemberantasan korupsi. Bukan sebaliknya, koruptor malah diuntungkan oleh impelementasi sistem demokrasi pascareformasi.
Sejatinya korupsi adalah pengkhianatan atas demokrasi. Sebab demokrasi seharusnya memfasilitasi semua kebutuhan rakyat. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Pembangunan yang dibangun untuk rakyat sejatinya bukan untuk rakyat. Pada kenyataannya, sebagian anggarannya dikorupsi secara berjamaah antara birokrasi dan pelaku korporasi. Alhasil, banyak proyek pembangunan yang tidak memberikan hasil memuaskan. Kualitas rendah dan pembangunan proyek yang bersifat asal jadi.
Korupsi adalah penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Pada dasarnya, korupsi terjadi atas dua hal, yaitu karena ada kesempatan atau memang murni direncanakan. Sebab itu diperlukan penanggulangan dan pemberantasan yang melibatkan seluruh masyarakat sipil maupun media, instansi, dan lembaga pemberantasan korupsi serta pejabat yang masih berada dalam garis lurus perjuangan. Dengan kekompakan itu, maka korupsi tidak akan menjadi budaya.
Dari sekarang mulai kita perjuangkan untuk memperbaiki sistem yang salah dalam pemerintahan sehingga dapat mempersempit kesempatan penjarah untuk korupsi. Sikap mental atau moral dari para pejabat mesti kita bangun. Mulai dari membangun narasi yang menyehatkan, misalnya “korupsi itu memalukan”, “keluarga koruptor tidak akan selamat walau tujuh turunan”, dan lain sebagainya. Sampai kepada menetapkan hukuman seberat-beratnya bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Wallahu a’lamu bi al-shawwab.