Relevansi Hukum Islam di Indonesia

*Oleh: Muhammad Isa Abiyyu, mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal.

 

Hukum Islam memang memiliki keistimewaan tersendiri di negara kita. Selain mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, pemerintah juga mengakui keberadaan Hukum Islam sebagai bagian dari hukum positif (hukum nasional) yang kebanyakan penerapannya dalam kehidupan berkeluarga seperti pernikahan, perceraian, dan waris.

Hal itu termaktub dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Itulah salah satu dari beberapa sebab mengapa Hukum Islam ini sangat istimewa.

Hukum Islam itu bermuara pada Al-Quran dan Sunnah (Hadits) dan kedua sumber ini diperjelas atau dibuat kompleks dengan adanya dua hukum yang baru, yaitu ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qiyas (menyamakan satu kasus hukum dengan hukum yang lain dalam satu konteks tertentu).

Maka dengan keempatnya ini, Hukum Islam bisa bertahan dari zaman ke zaman saja karena sifatnya yang syumul (universal) sehingga Hukum Islam bisa diterapkan di mana saja.

Mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa ijmâ’ merupakan hujjah yang bersifat qath’ȋ (pasti), sehingga dapat dikatakan bahwa ijmâ’ merupakan dasar bagi penetapan Hukum Islam yang bersifat mengikat dan wajib untuk dipatuhi serta diimplementasikan.

Selain itu, dalam pandangan jumhur ulama, kedudukan ijmâ’ sebagai dalil hukum menempati posisi ketiga setelah Al-Quran dan sunnah, argumennya adalah ijmâ’ merupakan dalil yang pasti. Disebut dengan istilah “dalil” karena ijmâ’ bukan suatu wadah yang dapat digali norma hukum, karena ijmâ’ tidak dapat berdiri sendiri, melainkan ia harus bersumber pada Al-Quran dan sunah. Secara sederhana para ulama memahami bahwa ijmâ’ merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mujtahid dalam melakukan istinbath hukum, apabila dihadapkan pada suatu problem hukum yang tidak ditemukan nash baik dalam Al-Quran maupun sunah yang dapat dijadikan sebagai landasan yuridis Pasca Rasulullah SAW wafat.

Para ulama ahli ushul fikih menetapkan mengenai rukun-rukun ijmâ’ sebagai berikut :

a). Harus terdapat beberapa orang mujtahid di saat terjadinya peristiwa, dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan menetapkan peristiwa hukum.

Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijmâ’, karena ijmâ’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijmâ’ ada masa Rasulullah Saw, karena hanya beliau sendirilah mujtahid pada waktu itu.

b). Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan atau kelompok mereka.

Karena ijmâ’ tidak dapat terjadi kecuali dengan kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian. Selain mujtahid tidak termasuk penilaian.

c). Kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya atas suatu peristiwa, baik penyampaian tersebut dalam bentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai peristiwa tersebut, atau dalam bentuk perbuatan.

d). Kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Sebagai contohnya adalah Para ulama telah ber-ijmâ bahwa jual beli manusia atau tindak pidana perdagangan orang adalah batil/haram.

Selain itu, Para ulama telah ber-ijmâ bahwa amil (mudharib) boleh mensyaratkan kepada pemilik modal bahwa keuntungan sebesar sepertiga, seperdua atau sesuai dengan kesepakatan setelah diketahui oleh keduanya porsinya masing-masing. Kesepakatan dalam perikatan seperti ini juga diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Selanjutnya, contoh dari qiyas (menyamakan satu kasus hukum dengan hukum yang lain dalam satu konteks tertentu) adalah ketika adanya zakat fitrah yang tertuang dalam hadits bahwa zakat fitrah itu berupa gandum atau kurma.

Namun apakah tepat jika penerapan zakat fitrah dengan dua makanan tadi di Indonesia? Tentu saja tidak tepat. Karena dilihat dari konteksnya pun, kurma dan gandum adalah makanan pokok orang-orang arab di sana. Sedangkan makanan pokok kita adalah beras, maka kurma dan gandum diqiyaskan dengan beras dalam konteks makanan pokok. Dan pengkiasan itu bisa kita lihat dalam kasus yang lainnya seperti narkoba yang dikiaskan dengan khamr / minuman keras dalam konteks muskir (sesuatu yang memabukkan).

Dari pengiasan semacam itulah Hukum Islam dapat bertahan bahkan menjawab tantangan demi tantangan di segala zaman karena sifatnya yang tathawwur (bergerak dan berkembangan menyesuaikan keadaan).

Selain dengan qiyas, Hukum Islam juga mengenal yang namanya qawa’idul asasiyyah (kaidah-kaidah dasar) yang menghasilkan sesuatu yang disebut dengan ijtihad (buah pemikiran).

Maka dengan diterimanya Hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum negara juga berarti negara mempermudah tugasnya dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *