Cerpen  

Rangkaian Kata dalam Bentang Jarak

Cokelat Cinta untuk Generasi Muda
Istimewa

Duduk seorang diri, kegersangan hati mulai menyelimuti tatkala tempat curahan hati mulai melangkahkan kaki untuk pergi menjalankan sebuah misi. Sore itu, kala hujan turun membasahi gersangnya tanah Semarang berhasil membangkitkan semua kenangan yang pernah terukir bersamanya. Wajah tampannnya membuatku semakin geram ketika langkah kaki mulai menuju ke dalam rumah. Segala kekuatan mulai ku kumpulkan guna menepis rasa rindu yang mulai berkunjung dengan begitu cepatnya.

Sesampai di dalam rumah, hpku berdering.  Notif wa muncul di layar depan.

“Mohon do’anya, Dinda. Semoga lancar dan selamat,” pinta Qolbi tatkala mengirimkan vidio perjalanannya menuju Jawa Timur.

“Siap, Kanda. Selalu, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun do’aku akan terus membersamai setiap langkahmu. Semoga Allah menjagamu dan memudahkan langkahmu” ucapku.

“Terima kasih atas do’anya, Dinda” balasnya disertai emoticon senyum.

“Sama-sama, Kanda. Jika aku bukan cinta sejatimu, semoga Allah mempertemukan cinta sejatimu di sana” ledekku sembari bergurau.

Matahari tak tampak lagi sinarnya. Cahaya petang mulai menghampiri. Bulan sabit mulai menampakkan dirinya bersama jutaan bintang. Malam ini sangat terasa sunyi tanpa bulan sabit yang terlukis indah di bibirmu. Ditambah, hembusan angin dingin yang semakin menambah bekunya hatiku setelah kepergianmu

Malam semakin lelap, namun mataku tak  kunjung terpejam jua. Bayangnya tak bisa aku hilangkan begitu saja dari memori. Terutama, senyum manisnya yang begitu merekah saat terakhir kali kulihat sebelum ia berangkat. Sungguh kerinduan ini telah menyelimutiku bersama dinginnya angin yang mengantar keperginnya. Akhirnya, aku tertidur dengan membawa sejuta kerinduan padamu, Kanda.

Bunyi alarm telah membangunkanku. Memulai aktivitas pagi lengkap dengan rasa rindu yang terus bertambah. Pagi itu kegiatanku begitu banyak hingga aku lupa berkabar dan menanyaakan kabarmu. Sebelum istirahaat siang, aku sempatkan membuka wa untuk sekedar mengingatkanmu. Sengaja, aku tidak menanyakan kabar tentangmu. Karena aku percaya Allah akan menjagamu melalui do’a- do’a yang telah ku pinta pada-Nya.

“Selamat siang, Kanda. Jangan lupa makan, tubuhmu butuh amunisi yang lebih. Terus kobarkan semangat. Do’aku selalu tertuju padamu” pesanku sebelum mata terpejam di siang hari.

“Siap, Dinda. Selalu. Berkat do’a darimu semangatku terus berkobar hingga kini. Kamu jaga diri juga ya… biar aku tenang di sini” balasnya.

Matakupun terpejam. Kesibukan hari ini benar-benr membuatku lelah. Kerinduan itu ternyata juga menguras sebagian energi yang ada di dalam jiwaku. Tapi aku tidak boleh menyerah. Meskipun jarak telah memisahkan, energi positif harus selalu aku alirkan untuknya. Demi terwujudnya apa yang menjadi impiannya. Aku harus menjadi penopang utama dalam perjuangannya.

Hari demi hari terus kulewati tanpanya. Dalam kurun waktu kira-kira dua minggu aku akan merasakan makna sebuah perpisahan. Meskipun sesaat, namun banyak sekali makna yang tersirat. Aku semakin yakin bahwa jarak bukan lagi sebuah penghalang. Kehadiran jarak membuat kita terus bersabar dan tawakkal kepada Allah terhadap semua rencana dan ketetapannya bagi semua hamba yang beriman kepada-Nya.

Begitu pula diriku. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk selalu ada saat duka maupun duka menghampirimu. Meski aku tak tahu apakah dirimu yang nantinya ditakdirkan Allah untukku. Terkhusus tatkala kau benar-benar menemukan cinta sejatimu disana. Karena, sekali lagi cinta tak memandang apapun. Termasuk waktu yang begitu sekejap yang akan kau habiskan di sana. Namun, bila Allah menakdirkan engkau bertemu dengan cinta sejatimu di sana aku ikhlas.

Mentari begitu cerah. Burung-burung berkicau dengaan merdunya. Hari ini aku sengaja bertanya tentang kabarmu. Bukan tak percaya lagi dengan Allah. Tapi, aku ingin membuat kesan berbeda. Meski hanya bertanya tentang kabar. Tapi itulah ikhtiarku untuk memastikan bahwa kau tetap dalam lindungan-Nya.

“ Selamat pagi, Mentari. Apa kabar hari ini ?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.

“Selamat pagi bidadari, kabar baik hari ini.” jawabnya untuk meyakinkan disertai gombalannya.

“ Sudah sampai mana perjuanganmu?” tanyaku kembali.

“ Sudah sampai sini, Dinda” balasanya dengan tanda-tanda kegajean yang mengikuti.

Tiba-tiba tugas mendadak menghampiriku dan segera mungkin harus ku kerjakan. Aku menghentikan chatingan terlebih dahulu. Mengingat dia juga menyelesaikan tugasnya sebelum benar-benar dinyatakan masuk forum. Aku meletakkan Hp, kemudian bergegas untuk mengerjakan tugas yang telah menantiku.

Setelah semua pekerjaan selesai, rebahan merupakan pilihan yang tepat untuk sekedar melepas lelah. Tiba-tiba bayangan tentangnya muncul. Seketika rasa rinduku semakin membuncah. Sehebat jargon yang tertulis di BRT yang tiap hari berkeliling kota Semarang.

“ Semarang tak hebat tanpa kehadiranmu, Kanda.” Ujarku.

“ Adakah yang bisa menggantikanku?” balasnya.

“ Mentariku kan hanya kamu.” tuturku dengan emot ketawa.

“ Lalu, kamu sebagai apanya?” balasnya lagi dengan emot ketawa ngakak.

“ Hanya kamu yang bisa jawab pertanyaan itu, Kanda.” balasku lagi

“ Makhluk yang tak tergantikan. Bukan gombalan semata loh yaaa.” jawabnya seolah-olah meyakinkanku.

Meskipun ia begitu dekat denganku, aku tak mudah percaya dengan sajak indah yang selalu ia kirimkan. Seringkali aku menyebutnya gombalan semata. Ya, dia memang pandai meraangkai kata. Siapapun akan takhluk tatkala menerima kiriman sajak-saajak indahnya. Lain halnya dengaku yang cukup kenal dengan sifatnya.

Ia merupakan seseorang yang sangat sederhana. Baik dari segi penampilan maupun dalam hal komunikasi. Tapi ia sangat banyak berbicara dalam berbagai tulisannya. Baik dalam gagasaan maupun sastra yang menggambarkan keadaan dirinya. Ia merupakan pendengar curahan hatiku yang sangat sabar. Tak pernah merasa bosen dan mengeluh atas semua yang ku curahkan kepaadaanya.

Sebagai manusia biasa, aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya tersimpan di dalam hatinya. Meski kedekatan emosional sudah terbangun, serta rasa sepenanggungan sudah terbentuk, aku tetap harus hati-hati. Semuanya selalu aku diskusikan dengan pemiliknya. Sampai nanti waktu yang benar-benar akan menjawab atas semua pertanyaanku ini. Dan pembuktian terakhir ialah tatkala ia menjabat tangan ayahku untuk mengucapkan ijab qobul.

Dalam waktu dan juga jarak yang membentang, ternyata rangkaian kata semakin berjajar untuk di tuliskan. Ternyata, faktor utamanya ialah rasa kerinduan yang terus membuncah dan mengalami kenaikan. Do’a dan harapan terus terpanjat setiap hari untuk orang yang sudah aku anggap menjadi bagian penting dari hidupku.

Aku duduk di balkon rumah sembari melihat matahari yang mulai malu menampakkan dirinya di arah barat. Dalam suasana itu, aku terhanyut dalam kerinduan yang mendalam. Hingga pada akhirnya sajakku kembali tertuang dalam buku diaryku.

Senja akan segera berakhir. namun rinduku masih saja berdesir. seolah tak mau terusir dari sebuah singga sana bertahta kasih serta dalam balutan sayang. Dengan segala kerendahan hati yang ada mampu menghadirkan kebahagiaan dalam setiap hembusan nafasku.

Hari terakhir dalam masa pelatihannya ia mengirimkan pesan kepadaku

“Assalamu’alaikum. Selamat pagi, pelengkap hidup. Awali pagi ini dengan senyuman beserta ketenangan dalam hati. Istiqomahlah seperti mentari yang senantiasa terbit di pagi hari dan terbenam di sore hari.” pesan Qolbi.

“Wa’alaikum salam… selamat pagi juga penenang jiwaku. Senyumku selalu merekah meski kerinduan terus bersarang di pikiran dan hati. Karena, itulah wujud istiqomahku dalam menanti kedatangnmu.” balasku.

Darimu aku banyak belajar tentang sebuah pengorbanan dan kepastian. “Jangan menunggu yang tak pasti, kejarlah apa yang tidak meninggalkan kita. Cintai kepada sang Pemilik Cinta. Karena dengan begitu, siapapun yang nantinya datang, itulah yang menjadi hadiah terindahmu”. kata-kata itu akan selalu ku ingat. Kata yang berhasil membuatku sedikit demi sedikit menghapus luka di masa lalu. Terima kasih untuk yang kesekiaan kalinya.

Sajakku masih beruntutan untuk di tuangkan. Hingga pada hari kembalimu ke Semarang sajakku kembali tertulis.

Selamat datang, Kanda. Sekarang bukan lagi jarak yang memisahkan kita. Tapi cita-cita dan target yang memisahkan kita sesaat. Sampai bertemu di pelabuhan pertemuan berikutnya. Aku akan terus berlabuh dan berharap benar-benar menemukanmu di penghujung pelabuhan tempatku menetap nanti.

Semarang, 17 Januari 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *