Kata patriarki didartikan sebagai sebuah perilaku yang cenderung mengutamakan laki-laki di atas perempuan di dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Bressler (2007), patriarki adalah sistem sosial yang memposisikan kaum laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, baik dan hal perpolitikan, moral, hak sosial maupun properti. Selain itu, peran laki-laki cenderung lebih mendominasi di segala bidang yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat. Menilik sejarahnya, nilai patriarki termanifestasi dalam tatanan sosial, hukum, pendidikan dan lain sebagainya.

Di Indonesia, nilai patriarki masih cenderung masih cukup kental sekalipun perjuangan perempuan telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang signifikan beberapa dekade terakhir. Nilai-nilai ini bisa ditemukan dalam beberapa aspek kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, politikm, hingga hukum. Nilai-nilai patriarki ini telah menjelma menjadi norma-norma masyarakat, sehingga keberadaannya tidak begitu kentara dan disadari oleh masyarakat, khususnya kaum perempuan.

Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kekerasan terhadap perempuan menempati klasemen pertama dalam hal kasus kekerasan seksual di ranah publik, dengan 715 pemerkosaan, 551 pencabulan dan 520 pelecehan seksual. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI pada tahun 2015 silam, menunjukkan bukti bahwa Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan angka pernikahan di usia belia tertinggi di Asia Tenggara

Menurut data Komnas Perempuan pada 2019, kekerasan seksual menempati urutan pertama dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, dengan perkosaan 715 kasus, pencabulan 551 kasus, dan pelecehan seksual sebesar 520. Pada 2015, penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI menempatkan Indonesia pada urutan kedua angka pernikahan dini tertinggi di Asia Tenggara.

Baca Juga  Jangan Remehkan, Perempuan Bisa di Ranah Publik dan Domestik!

Data BPJS tahun 2018 menunjukkan presentase pernikahan usia belia di Indonesia menembus  angka 15,6%, dari yang sebelumnya 14,18% tahun 2017 silam. Sungguh fakta yang berbanding terbalik dengan wacana pemerintah dalam upaya meningkatan mutu dan indeks pembangunan manusia Indonesia.

Beberapa risiko yang kerap terjadi karena pernikahan dini adalah terputusnya akses pendidikan dan meningkatnya gangguan pada alat reproduksi, serta presentasi perceraian yang cukup besar karena kurangnya kesiapan mental dan psike pasanagan.

DPR pada 2019 telah melakukan perombakan UU tentang Perkawinan pada UU No 1/1974 dengan menetapkan batas minimasl usia pernikahan untuk perempuan yaitu 19 tahun dari yang semula 16 tahun. Keputusan ini diambil dengan memperhatikan beberapa fakta yang terjadi di lingkungan masyarakat, khususnya menengah ke bawah. Pemerintah tidak ingin generasi muda Indonesia mengalami penurunan kualitas dan kuantitas disebabkan pernikahan dini. Dalam penerapannya, kebijakan ini tentu akan mengalami banyak tantangan akibat kultur dan nilai-nilai yang mendukung pelaksanaan pernikahan dini di masyarakat.

Banyak nilai-nilai patriarki yang secara tidak sadar ditanamkan secara turun-temurun. Sebagai contoh, keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi, maka hanya anak laki-laki yang cenderung diperbolehkan mengenyam bangku pendidikan dibandingkan anak perempuan.

Pedidikan pada hakikatnya menjadi kunci untuk memberontak terhadap ketidakadilan yang sudah mendarahdaging di kehidupan bermasyarakat. Tidak sedikit masalah gender yang akibat rendahnya tingkat pendidikan. Misal, banyak perempuan yang memilih menikah secara terpaksa karena keterbatasan ekonomi yang dialami orang tua. Di sisi lain, tidak adanya keterampilan yang dimiliki perempuan untuk menghidupi dirinya menempatkannya dalam keadaan tersebut.

Baca Juga  Peran Keluarga dalam Pendidikan Mental & Karakter Anak

Intinya, bagaimana cara membekali para perempuan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang membuatnya mampu menghidupi diri sendiri dan beridiri di atas kaki sendiri. Kebijakan pemerintah dengan menggratiskan pendidikan dasar membawa perubahan yang cukup signifikan dalam meningkatkan akses perempuan kepada pendidikan. Penulis berharap, ke depan kebijakan tersebut mampu diterapkan pada jenjang yang lebih tinggi.

Dengan menemuh pendidikan, perempuan Indonesia mampu mengetahui hak dan kewajibannya. Mereka menjadi paham mana tindakan yang layak untuk diterima dan tidak. Jika mereka mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dilakukan, mereka tahu apa saja yang harus dilakukan dan ke mana tempat untuk melakukan pengaduan.

Anak menghabiskan jauh lebih banyak waktu di rumah dibandingakan dengan beraktivitas di sekolah. Dan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh para orang tua serta anggota keluarga lain, secara tidak langsung akan tertanam di alam bawah sadar mereka. Contoh, jika sejak kecil didoktrin bahwa anak laki-laki ataupun perempuan sama-sama mempunyai kewajiban membantuk pekerjaan rumah tangga, maka secara tidak langsung dengan seiring berjalannya waktu mereka akan melakukannya dan membawanya hingga dewasa.

Perlawanan terhadap nilai-nilai dan budaya patriarki sejatinya bukanlah menyangkut tentang perempuan melawan laki-laki, akan tetapi lebih condong ke arah perempuan dan laki-laki bersama-sama melakwan sistem yang tumpang tindih. Perjuangan ini masih panjang dan perlu bahu-membahu dalam beberapa tahun, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang setara dalam hal hak dan kewajiban, baik dalam ekonomi,politik, hukum maupun pendidikan.

Baca Juga  Stunting dan Tanggung Jawab Perempuan

Oleh: Ahmad Muntaha, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sultan Agung Semarang

Ahmad Muntaha
Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Korkom Sultan Agung Semarang Periode 2019/2020, Mahasiswa Teknik Elektro Unissula Semarang.

    Seselip Berkah di Balik Wabah

    Previous article

    Kepada Sembilan Tokoh Oposisi, Rakyat Menaruh Harapan

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Perempuan