Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi ruang utama bagi kampanye politik, termasuk dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024. Banyak calon Kepala Daerah memanfaatkan platform seperti Instagram dan TikTok untuk menyampaikan visi, misi, serta program kerja mereka. Media sosial menawarkan cara yang cepat, interaktif, dan hemat biaya dibandingkan kampanye konvensional untuk menjangkau audiens luas, terutama generasi muda yang aktif secara digital. Melalui media sosial, calon Kepala Daerah membangun citra, berinteraksi langsung dengan masyarakat, dan menjelaskan program unggulan mereka melalui video pendek, infografis, atau siaran langsung.
Salah satu potensi besar media sosial adalah meningkatkan partisipasi masyarakat, terutama generasi muda, yang kerap kali kurang terlibat dalam proses politik. Fitur seperti polling dan sesi tanya-jawab langsung bertema Pilkada menciptakan ruang diskusi interaktif. Transparansi calon juga meningkat melalui unggahan yang memperlihatkan komitmen mereka terhadap isu tertentu, seperti lingkungan, pendidikan, atau ekonomi. Beberapa calon memanfaatkan platform untuk menjelaskan kebijakan, berdiskusi dengan pakar, atau memperlihatkan aktivitas langsung di lapangan, yang dapat disaksikan secara real-time oleh pengguna media sosial.
Media sosial juga memungkinkan konten kampanye menjadi “viral” dengan cepat, terutama jika melibatkan influencer atau konten kreator. Strategi ini membantu para calon menjangkau masyarakat yang sebelumnya mungkin tidak terpapar pesan kampanye mereka. Fenomena ini menciptakan kedekatan emosional antara masyarakat dan calon kepala daerah yang sulit dicapai melalui media konvensional. Melalui media sosial, calon kepala daerah dapat muncul lebih sering di linimasa pengguna, sehingga mereka lebih dikenali dan diingat.
Namun, media sosial juga membawa tantangan besar, seperti dampak algoritma terhadap preferensi politik. Algoritma sering memprioritaskan konten yang mendapat banyak interaksi tanpa mempertimbangkan akurasi informasi, sehingga pengguna lebih sering terpapar konten sensasional dibandingkan konten informatif. Hal ini memicu pembentukan “echo chamber”, di mana masyarakat hanya menerima informasi yang memperkuat keyakinan mereka, mengurangi keterbukaan terhadap pandangan lain. Selain itu, Fenomena ini diperburuk dengan adanya penyebaran hoaks atau berita palsu yang dirancang untuk merusak citra calon tertentu dan memengaruhi masyarakat yang kurang teliti atau tidak memiliki waktu untuk mengecek kembali fakta informasi kampanye tersebut yang disebarkan oleh akun anonim atau pihak tidak bertanggung jawab.
Tantangan ini juga dihadapi oleh penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, yang kesulitan dalam mengawasi arus informasi yang cepat dan sulit dilacak. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kerja sama antara penyelenggara pemilu dan platform media sosial untuk memastikan algoritma lebih mendukung penyebaran informasi faktual. Selain itu, literasi digital perlu ditingkatkan agar masyarakat mampu memverifikasi informasi sebelum mempercayainya, sehingga kampanye politik di media sosial dapat menjadi lebih sehat dan konstruktif.
Regulasi terkait pengawasan ruang digital telah diatur dalam undang-undang. Seperti, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat (2) melarang penyebaran informasi elektronik yang mengandung hasutan berbasis Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dengan ancaman pidana penjara hingga 6 (enam) tahun atau denda maksimal Rp. 1 Miliar. Pasal 28 ayat (3) melarang penyebaran hoaks yang menimbulkan keresahan masyarakat dengan ancaman serupa.
Fenomena kampanye di media sosial pada Pilkada tahun ini menunjukkan bagaimana teknologi mengubah cara calon mendekati masyarakat sekaligus menimbulkan tantangan baru bagi demokrasi di Indonesia. Kedepannya, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan platform media sosial untuk menciptakan ekosistem kampanye digital yang sehat, transparan, dan bebas dari konten manipulatif. Dengan demikian, masyakarat dapat membuat keputusan yang bijak berdasarkan informasi yang akurat, sehingga demokrasi dapat berjalan dengan lebih transparan serta terpercaya.
*Oleh: Arief Budiman, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.