Desember telah tiba. Natal menjelang dan tahun baru di depan mata. Bagi umat kristiani, natal begitu ditunggu-tunggu kedatangannya. Di beberapa negara, kemeriahan natal bahkan tampak di jalan-jalan besar. Pun di Indonesia. Mall-mall dipenuhi warna emas dan merah, hijau dan perak. Jingle-Bell berputar ceria. Tak lupa mistletoe yang terpajang manis membentuk sebuah halo dan pohon “cemara” natal di depan pintu masuk mall. Diskon besar-besaran pun terpampang di sebelah patung Sinterklas dan kereta salju terbangnya yang ditarik kumpulan rusa.
Seperti yang diketahui bersama, natal merupakan hari raya umat kristiani. Hari besar ini menjadi salah satu hari besar nasional yang diperingati setiap tahunnya di tanggal 25 Desember. Umat Kristen, atau Nasrani, merayakan hari natal sebagai peringatan kelahiran Yesus. Dimulai dari kebaktian malam di tanggal 24 Desember dan dilanjut dengan kebaktian pagi tanggal 25 Desember.
Dalam bahasa Latin, natal berarti “hari lahir” (Dies Natalis). Namun, dalam Alkitab sendiri, tidak pernah tertulis kata “natal”. Yang ada hanya “hari kelahiran Yesus”.
Nah, tak ubahnya natal di berbagai belahan lain di dunia, salam Merry X`Mas bertukar di antara para pemeluk kristen. Dengan banyaknya gereja yang tersebar di Indonesia, baik gereja kalangan Kristen Protestan dan Kristen Katolik sudah tentu di hari natal akan penuh dengan jemaat.
Berkaca pada UUD 1945 pasal 28 E dan pasal 29 mengenai kebebasan beragama dan jaminan dari negara bagi tiap pemeluk agama, seharusnya Indonesia tidak memperumit hal semacam toleransi. Namun, tempo lalu, berita digemparkan dengan aksi pengeboman di gereja sewaktu kebaktian pagi. Apakah itu yang namanya toleransi? Apakah itu yang disebut keadilan bagi rakyat Indonesia? Bukankah ‘mereka’ ini juga rakyat Indonesia?
Indonesia tidak terdiri atas suku Jawa saja, pun Indonesia tidak cuma punya agama Islam. Salah besar dan terlarang hukumnya membentuk Indonesia menjadi sebuah negara kekhalifahan seperti yang digembar-gemborkan.
Justru Indonesia unik karena keragamannya. Indonesia hebat karena toleransinya. Lihat saja Afghanistan. Atau Pakistan-India. Mereka gagal bertoleransi. Padahal Rasulullah pun dengan kaum kafir tetap saling menghormati dibuktikan dengan lahirnya Piagam Madinah.
Sebagai negara bermayoritas muslim, masyarakat Indonesia tentu harus meneladani Rasulullah. Dan apa yang Rasulullah lakukan, dengan bertoleransi, diterapkan pada kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Indonesia hendaknya bisa menjadi kiblat para pemeluk agama untuk saling toleransi dalam satu negara. “Untukmu agamamu, untukku agamaku.” [al-Kaafiruun: 6]
Natal di Semarang
Di Semarang, tidak hanya ada suku Jawa. Namun, ada pula etnis Cina dan Arab yang sudah turun-temurun menetap. Agama pun bervariasi. Geraja, masjid, dan kelenteng yang pembangunannya saling berdekatan mewarnai keragaman budaya di Semarang. Natal tahun ini pun bisa dipastikan jalan menuju gereja akan memadat.
Bagi orang Semarang, tak perlulah ucapan saling selamat. Sudah tahu sama tahu bahwa adanya perbedaan agama adalah hal biasa. Justru itu menjadi suatu kebanggaan.
Di sekolah negeri bahkan akan sangat tampak perbedaan etnis dan agama akibat ciri fisik dan kebiasaan warga sekolah. Orang berhijab syar`i bisa kumpul bareng dengan etnis Cina kristen. Orang berjilbab bisa berjalan bersama dengan biarawati. Menemukan biarawati berjalan-jalan di mall, misalnya, itu tidak sulit. Dan itu sudah menjadi hal lazim.
Memasuki rumah tetangga yang terpajang miniatur Yesus sedang disalib, mendengar nyanyian dan pujian; itu segelintir hal yang biasa dialami. Apalagi bagi penduduk yang bertempat di sekitar pusat kota dan Johar.
Semarang, kota metropolitan dengan ciri khasnya sendri bukan hanya soal keanekaragaman. Namun, juga bagaimana para pemeluk masing-masing agama hidup berdampingan dalam toleransi.(*)
Berhati-hatilah apabila berbicara mengenai toleransi dlm agama, mengapa?
Seluruh nabi dan para rasul yg di utus Allah S.W.T di muka bumi ini untuk berserah diri (patuh) kepadaNYA begitu juga pengikut mereka.
Nabi Musa a.s tidak pernah di utus untuk kaum yahudi sehingga menjadi agama yahudi
Nabi Isa a.s tidak pernah di utus untuk kaum nasrani atau kaum keristen sehingga menjadi agama nasrani atau agama keristen
dan nabi Muhammad s.a.w tidak pernah di utus untuk membawa agama islam .
karena islam itu berserah diri (patuh) kepada Allah S.W.T,seperti yg dibawa oleh para rasul sebelum beliau.
seluruh manusia yg berserah diri atau patuh tidak semustinya berbicara mengenai toleransi,seolah-olah ada perbedaan antara manusia dan ‘agama’.
wassalamualaikum wr.wb,
ustadz sayyid habib yahya