Menguji Integritas Wakil Rakyat Soal LGBT

Oleh: Mukharom, Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang

Data menunjukan bahwa 11.238 warga Banten terkena HIV karena hubungan seks sesama jenis (vivanews).  Fenomena lain terjadi di Bekasi, 4.000 pria berperilaku seks menyimpang homoseksual (indonesiainside.id). di Jawa Tengah pun tidak luput dari permasalahan penyimpangan orientasi seksual ini, data menunjukan di Kota Pekalongan tercatat 840 orang gay (Tribunjateng.com). Belum lagi daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, dan kecenderuangannya meningkat jumlahnya. Peristiwa yang terjadi harus disikapi dengan serius, karena tidak biasa, hal ini merupakan kejadian luar biasa. Dan penanganannya pun harus ekstra.

Analisis Psikologi Dr. Margaretha Sih Setija, M.Kes. tentang faktor penyebab orang menyimpang menjadi gay di antaranya: 1. Kondisi biologis sejak dilahirkan. 2. Perubahan hormonal heterogen menjadi homoseksual. 3. Kondisi sosial. Misal, satu group dengan homoseks, lama-lama ikut homo juga. Cara mengatasinya: 1. Konseling dan terapi. Bisa sembuh, namun sulit. Terlebih jika penyebabnya adalah orientasi seksual karena hormon, kondisi neuropsikologis, atau biologis. 2. Bila penyebabnya karena ikut-ikutan, bisa ditreatmen oleh diri sendiri dengan kehendak yang kuat. 3. Orang tua lebih memperhatikan anaknya yang beranjak remaja.

Ancaman yang cukup serius bagi bangsa Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sampai saat ini masih sangat alot dalam hal pengesahan RUU KUHP menjadi KUHP buatan Indonesia, dan itu sudah diidam-idamkan bangsa Indonesia, karena di dalamnya ada ciri khas yang tidak terdapat pada KUHP warisan Belanda yyang saat ini masi digunakan. Diantaranya soal pemidanaan bagi pelaku LGBT, dalam pembahasan RUU KUHP, zina dan LGBT masih kontroversi, apakah masuk perbuatan kriminal atau tidak termasuk tindak kriminal.

Kontroversi ini seharusnya tidak terjadi jika wakil rakyat di DPR RI merujuk pada isi hasil Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1998 di negara Kairo dimana Pemerintah Indonesia dating pada waktu itu, adapun isinya diantaranya adalah agama menjadi sumber hukum dan seluruh agama mana pun tidak menyetujui akan perzinaan, serta masuk pada tindak kriminal.

Proses legislasi memang sangat rawan penyelundupan oleh kepentingan golongan tertentu, hal ini terbukti pada saat pengesahan Undang-Undang Kesehatan pada tahun 2010, dimana ada pasal yang hilang yaitu pasal 113 terkait masalah rokok, yang sering disebut “skandal korupsi ayat rokok” yang menyeret beberapa wakil rakyat di DPR RI. Kasus serupa mungkin saja bisa terjadi lagi di pembahasan soal LGBT ini, apa lagi dikuatkan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan keputusannya telah menolak mengkriminalkan praktik kumpul kebo dan LGBT, dan ini menjadi kewenangan DPR RI.

Terlalu murah jika wakil rakyat menggadaikaian integritasnya, moralitasnya demi melegalkan praktik yang secara agama, sosial, budaya, jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dibandingkan dengan dampak yang terjadi jika legalisasi LGBT berlaku di tanah air. Kerusakan moral, perilaku menyimpang dimana-mana serta agama tidak lagi menjadi pedoman.

Dampak-dampak tersebuat seharusnya menjadi dasar ketika wakil rakyat akan memutuskan, kami sebagai rakyat yang memiliki wakil di DPR RI berharap wakil rakyat masih memiliki integritas yang kokoh sehingga tidak tergoyahkan dengan materi berupa uang, dan masih memiliki hati nurani, yang senantiasa memperjuangkan rakyat yang diwakilinya, dengan mengedepankan kepentingan rakyat bukan kepentingan golongan yang akan menghancurkan kepentangan rakyat Indonesia pada umumnya.

Gagal Faham Konstitusi, Pancasila sebagai landasan idologi sudah jelas menempatkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya semua aturan yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, menyoal LGBT yang sedang dibahas oleh wakil rakyat di DPR sudah barang tentu bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia.

Dalam draf awal RUU KUHP dirumuskan bahwa praktik LGBT bisa dipidana bila dilakukan di bawah usia 18 tahun, yang kedua bahwa praktik LGBT dapat dipidana apabila dilakukan secara terbuka. Dari draf tersebut secara logika hukum, pertama, apabila usianya di atas 18 tahun tidak dipidana ketika melakukan perbuatan LGBT tersebut.

Kedua, apabila perbuatan LGBT dilakukan secara tertutup maka tidak dipidana. Merujuk draf tersebut yang masih tarik ulur di DPR RI, seharusnya draf yang sedang dalam pembahasan bisa dimentahkan oleh wakil rakyat dengan usulan pemberlakuan tindak pidana bagi semua pelaku LGBT, baik di bawah umur maupun sudah dewasa, baik dilakukan secara tertutup maupun terbuka.

Berharap jangan sampai wakil rakyat di DPR RI sebagai penentu berlakunya undang-undang gagal faham konstitusi, dengan membiarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan norma dan konstitusi berhasil lolos dengan memasukan pasal-pasal yang solah-olah melarang LGBT padahal melegalkan. Semoga tidak terjadi “ skandal korupsi ayat LGBT”

Pro dan kontra dilakangan Anggota DPR RI soal LGBT sangat memprihatinkan bagi masyarakat yang diwakilinya dan ini sangat rentan untuk disusupi oleh kepentingan golongan tertentu yang menghendaki eksistensi LGBT di Indonesia. Integritas Anggota Dewan yang terhormat dipertaruhkan dalam soal LGBT, apakah berpihak kepada bangsa Indonesia ataukah sebaliknya berpihak kepada golongan tertentu yang menghendaki LGBT eksis di tanah air, masyarakat berharap wakil rakyat tetap memiliki integritas dan memihak kepada bangsa Indonesia.

Peran keluarga juga sangat penting untuk memberikan pendidikan kepada anak yang beranjak dewasa, terutama pendidikan agama yang harus diberikan sejak awal, karena agama sebagai pemandu dalam kehidupan, untuk mengetahui larangan dan perintah. Kemudian kita pun harus membuat lingkungan yang bagus kepada anak-anak kita, sehingga tidak terpengaruh pergaulan negatif yang datang dari luar.

LGBT jelas dilarang oleh agama manapun, hal ini pus seharusnya diperkuat melalui konstitusi berupa undang-undang yang secara tegas melarang praktek tersebut, dan berharap kepada walik rakyat untuk segera mengesahkan RUU KUHP menjadi KUHP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *