Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang berkesempatan menikmati bangku perkuliahan. Mahasiswa sering direpresentasikan sebagai individu yang berilmu dan memiliki taraf intelektualitas lebih tinggi dibandingkan dengan pelajar lainnya.
Mahasiswa merupakan maha dari para siswa atau pelajar. Tiga kewajiban pokok yang melekat pada mahasiswa sebagai kaum intelektual adalah diskusi, aksi, dan publikasi.
Diskusi bukanlah hal asing bagi mahasiswa, bahkan menjadi makanan sehari-hari. Topik-topik yang dibahas dalam diskusi umumnya adalah materi yang diberikan oleh dosen sebagai pemantik, yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang sedang terjadi di masyarakat.
Fungsi diskusi bagi mahasiswa bukan hanya sebagai media untuk melatih berbicara dan mengemukakan pendapat yang didasarkan pada teori-teori ilmiah, tetapi sebagai sarana untuk berlatih berpikir kritis secara mendalam dan komprehensif juga.
Diskusi yang berhasil idealnya memunculkan berbagai pendapat baru yang dapat menjadi solusi atas topik yang dibahas. Namun, penulis merasa perlu menyampaikan keresahan mengenai fenomena ini.
Orangtua seringkali merasa bangga memiliki anak yang berorientasi besar pada masa depan melalui pendidikan. Mereka berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya dapat berstatus sebagai mahasiswa.
Harapan yang besar ini seringkali diiringi dengan bayangan bahwa anak-anak mereka sedang berjuang keras untuk mewujudkan impian mereka. Namun, kenyataannya banyak mahasiswa yang hanya menggugurkan kewajiban mereka terhadap perjuangan orangtuanya dengan datang, duduk, dan mendengarkan.
Ketika bertugas sebagai presentator, mereka hanya membaca teks atau slide PowerPoint. Jika mendapat tugas dari dosen, tugas itu dikerjakan secepat mungkin dengan kualitas yang minim.
Betapa malangnya para orang tua yang memiliki harapan begitu tinggi, dan betapa ironisnya kondisi pendidikan di negeri ini. Para mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual seringkali hanya datang ke kelas dengan impian-impian semu, tanpa usaha ekstra, sementara mereka juga asyik dengan balutan fashion gaya terkini.
Tidak masalah jika euforia dalam berpenampilan ini diimbangi dengan usaha yang serius dalam belajar. Entah sebutan apa yang tepat untuk fenomena ini. Namun, yang jelas hal ini mencerminkan suatu kecacatan dalam aspek pendidikan.
Penulis tidak menafikan bahwa kemampuan tiap individu berbeda-beda. Namun perlu diingat, kampus adalah tempat yang memberikan privilese untuk belajar dan mengeksplorasi berbagai potensi yang mungkin masih terpendam atau perlu dikembangkan lebih lanjut.
Tugas mahasiswa adalah belajar dan berusaha keluar dari zona nyaman untuk menjelajahi berbagai pengalaman. Menyadari privilese ini, betapa banyak orang yang sebenarnya sangat siap dan mampu mengemban tugas mulia ini, tetapi tidak berkesempatan mendapatkannya, sementara ada orang-orang yang menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Selain itu, mahasiswa yang khususnya berkuliah di kampus berstatus BLU (Badan Layanan Umum) harus menyadari bahwa kesempatan yang mereka dapatkan merupakan hasil dari kontribusi banyak orang.
Sebagian dari biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang mereka bayarkan telah disubsidi oleh pemerintah melalui pajak rakyat. Artinya mahasiswa memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan isu-isu yang berkembang di dalamnya.
Jika budaya diskusi saja tidak berjalan, bagaimana hasil diskusi bisa menjadi aksi nyata? Apalagi untuk dipublikasikan secara luas. Dengan demikian, mungkinkah cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat tercapai dengan kualitas sumber daya manusia, khususnya mahasiswa, seperti yang ada saat ini?.
*Septi Wulandari, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.