وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣
Artinya, “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling nasihat-menasihati untuk menetapi kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (Q.S. Al ‘Ashr: 1-3)
Ketika penulis membaca Surat al-‘Ashr, pertama kali yang muncul dalam benak penulis adalah penegasan dalam surat ini yang menyatakan bahwa manusia dalam keadaan merugi.
Awalnya, karena membaca ayat pertama Surat al-‘Ashr yang bersumpah demi masa (waktu), penulis menyimpulkan bahwa manusia dalam keadaan merugi karena telah menyia-nyiakan waktunya. Namun seiring berjalannya waktu dan setelah mengikuti beberapa pengajian, penulis pun mendapatkan pemahaman baru terkait pernyataan manusia dalam keadaan merugi.
Pemahaman ini, kita akan dapatkan ketika kita benar-benar memahami makna kata rugi. Penulis akan coba berikan dua kasus yang akan membantu untuk memahami kata merugi. Kita sebut saja subjek dalam kasus ini bernama Fulan.
Kasus pertama, Fulan menanam kangkung di pekarangan rumahnya. Setelah ditanam, Fulan tidak mengurus kangkung tersebut. Selang waktu dua pekan (waktu kangkung panen), kangkung tersebut gagal panen..
Kasus kedua, Fulan menanam kangkung di pekarangan rumahnya. Setelah ditanam, Fulan selalu mengurus kangkung tersebut tiap hari. Selang waktu dua pekan (waktu kangkung panen), kangkung tersebut gagal panen.
Berdasarkan dua kasus di atas, manakah kasus yang menggambarkan bahwa Fulan dalam keadaan merugi? Yaps, kita pasti akan menjawab kasus kedua. Sebab, Fulan sudah bekerja tiap hari mengurusi kangkung tersebut, tetapi akhirnya kangkung tersebut gagal panen.
Itulah makna merugi yang sebenarnya. Merugi itu ketika kita melakukan hal tersebut, tetapi tidak mendapatkan hasilnya. Bukan seperti pemahaman pertama penulis yang menyatakan bahwa manusia merugi karena telah menyia-nyiakan waktunya. Sebab, kalau manusia menyia-nyiakan waktunya dengan tidak belajar dan menyebabkannya bodoh itu merupakan konsekuensi alam (sebab-akibat). Beda lagi ceritanya kalau dia belajar tetapi masih tetap bodoh.
Lantas pertanyaan sekarang, ketika kita sudah memahami makna merugi, adalah kenapa manusia dinyatakan berada dalam keadaan merugi. Pertanyaan ini terjawab dengan ayat ketiga Surat al-‘Ashr, yakni orang-orang yang tidak merugi itu adalah orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling nasihat-menasihati untuk menetapi kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.
Namun, sebagai mahasiswa, kita tetap harus mengkritisi hal tersebut, emang ada apa dengan beriman dan beramal saleh serta nasihat-menasehati kepada kebenaran dan kesabaran? Kenapa bisa beberapa kriteria tersebut membuat manusia terlepas dalam keadaan merugi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan memberikan satu kasus sebagai bentuk jawaban secara logika.
Alkisah, ada mahasiswa UIN Walisongo yang ikut belajar di UNDIP untuk mendapatkan ijazah UNDIP. Selama pembelajaran, mahasiswa UIN ini aktif dalam diskusi. Bahkan saat ujian di UNDIP, dia juga ikut ujian dan mendapatkan nilai seratus. Tapi pertanyaannya, apakah mahasiswa UIN ini akan mendapatkan ijazah dari UNDIP? Jelas! Semua akan menjawab tidak.
Lantas apakah mahasiswa UIN ini dalam keadaan merugi? Iya. Mengacu pada pemahaman merugi di atas, mahasiswa ini berada dalam keadaan merugi. Telah belajar tiap hari, ikut aktif diskusi dalam kelas, bahkan saat ujian akhir, ia dapat nilai seratus. Namun, ternyata saat di akhir, dia tidak mendapatkan ijazah UNDIP.
Cerita mahasiswa UIN di atas memiliki hubungan dengan kriteria orang yang tidak merugi dalam Surat al-‘Ashr. Dalam Surat al-‘Ashr, dijelaskan bahwa kriteria pertama orang yang tidak merugi adalah beriman. Inilah yang menjadi landasan utama agar manusia tidak merugi. Kita harus mendaftarkan dulu kepada Allah bahwa kita benar-benar beriman kepada-Nya. Sebab, jika tidak, walaupun kita selalu beramal tetapi belum mengikrarkan diri beriman kepada-Nya, maka amalan-amalan tersebut tidak akan dicatat. Logika inilah yang menjawab kenapa kriteria yang diberikan dalam Surat al-‘Ashr ayat ketiga itu dapat menghapus pernyataan manusia dalam keadaan merugi.
Hal ini selaras dengan cerita mahasiswa UIN yang ingin mendapatkan ijazah UNDIP di atas. Walaupun dia sudah beramal, setiap di kelas aktif berdiskusi, bahkan saat ujian akhir, dia mendapatkan nilai seratus, tetapi ketika dia belum beriman, mengikrarkan dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa UNDIP, maka mahasiswa UIN tersebut dalam keadaan merugi. Sebab, dia sudah beramal terus, tetapi tetap tidak mendapatkan ijazah UNDIP.
Perumpamaan-perumpamaan kasus di atas yang mendasari penulis mendapatkan logika iman, ilmu, dan amal dalam Surat al-‘Ashr. Sebagai umat Islam, kita harus beriman kepada Allah SWT. Setelah itu, kita harus beramal saleh. Untuk bisa beramal saleh, kita membutuhkan ilmu agar bisa membedakan mana yang saleh dan toleh. Jika kita runtutkan, maka kita akan dapatkan trilogi Islam, yakni beriman, berilmu, dan beramal. Wa Allahu A’lam bi al-Shawaab.
Mantab👍