Nafasku sesak, seolah tersedat batu di kerongkongan. Air mata tak kunjung berhenti mengguyur pipi, tanganku masih gemetar, dengan selembar foto di sela jemari. Foto sosok laki-laki dewasa yang tersenyum gagah di depan sebuah rumah yang tak asing bagiku. Sosok itu menggali luka yang sudah lama ku kubur, banyangan masa lampau berputar-putar dalam benakku, menjadi tayangan sebuah drama. Kepalaku terasa sangat pening, beban pikir yang tak bisa aku tampung lagi.
Tiga belas tahun lalu, mungkin itu terakhir kali aku melihat wajahnya, yang kata orang-orang aku adalah duplikatnya. Ya, aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan mereka.
Seakan masuk dalam mesin waktu, ingatanku membawa kepada memori empat belas tahun silam.
Aku duduk di sebuah kursi plastik kecil berwarna putih, dengan keadaan masih berseragam merah putih. Kala itu usiaku delapan tahun. Seorang anak perempuan yang seusia denganku berdiri dihadapanku dengan mengenakan seragam yang sama, “Ayu” begitulah aku biasa menyebutnya. Dia adalah teman akrabku sejak Taman Kanak-kanak.
“Udah Sya jangan menangis, nanti Ayu belikan coklat” Katanya berusaha menghiburku. Bagaimana aku tak menangis mendengar ibu dan ayahku dibicarakan oleh ibu-ibu yang berkumpul seolah membentuk sebuh forum, tapi tak memiliki tujuan jelas.
Mereka bilang, ibu dan bapakku bercerai karna ibuku dituduh berselingkuh, dan ibuku tak mau hidup dengan lelaki yang di kelilingi hutang. Apakah benar begitu? Aku tau mereka memang sudah bercerai, tapi mereka tak pernah memberikan satu alasanpun kepadaku. Yang ku ingat keluargaku memang sudah tak harmonis sejak aku masih duduk di Taman Kanak-kanak.
Foto digenggamanku yang semula berbentuk segi empat simetris, kini sudah tak beraturan lagi, menjadi pelampiasan kekesalanku. Apa masih pantas ku sebut dia dengan panggilan “Ayah”.
Ku ingat cerita Tante Fina pagi tadi. Katanya, orang yang tak lagi pantas ku panggil ayah itu telah beristri dan memiliki satu anak lelaki. Lelaki yang menjadi sosok yang paling ku rindukan, yang selalu kusebut namanya dalam setiap runtutan doaku. Apakah dia tak merindukan gadisnya? Bodohnya aku, tentu saja dia tak akan merindukanku. Bahkan ingat denganku saja mungkin tidak.
Lisanku memang tak pernah mengatakan aku merindukannya, tapi hati ku tak bisa berbohong. Aku sangat merindukannya.
Dulu aku yakin waktu yang akan membawa pada pertemuan. Tapi nyatanya waktu malah mengungkapkan kepedihan.
Dddrrrttt, pintu kamar terbuka. Menampakkan sosok perempuan paru baya mengenakan gamis hitam dan jilbab merah muda. Dia masih terlihat sangat anggun diusianya yang sudah tak terbilang muda lagi. Iya, dia ibuku. Orang yang melahirkanku, merawatku, mendidikku, mengorbankan seluruh hidupnya untukku.
Air mataku menetes semakin deras. Melihat sosoknya memutar ingatanku pada perjuangannya. Bagaimana sulitnya dia mencari nafkah. Menerjang hujan, melawan teriknya matahari, semua telah dia korbankan. Aku tak pernah mendengar keluhnya sedikitpun, aku tahu sebenarnya dia amat lelah. Apakah masih pantas aku marah padanya?. Dia memelukku begitu erat. Aku menangis dibahunya, seolah memberitahu apa yang sedang ku rasakan.
Ya, aku sadar, bukan hanya aku saja yang terluka, diapun sama terlukanya denganku. Aku sudah rerlalu banyak melukai hatinya, dengan segala perbuatan tak berakalku. Kami bukan orang yang kaya, tapi aku menuntutnya memenuhi segala kebutuhan mewahku.
“Yuk, temui! Kasihan dia menunggu.” Ucap ibuku, menyadarkan bahwa seorang telah menunggu. Aku melepaskan pelukan kami dan mengukir senyum, sebelum kemudian ku cium tangan bidadari surgaku. “Tampil yang cantik” tutupnya, sebelum meninggalkan kamarku.
***
Aku mulai melangkah menuruni tangga. Nampak seorang pria duduk berhadapan dengan ibuku. Mereka nampaknya sedang asik berbincang. Langkah ini semakin dekat, hingga kaki ini berhenti di hadapan sebuah sofa, kemudian duduk di bangku empuk tersebut, tepat disamping ibuku. Mas Ilham, pria yang kini duduk dihapanku, ia melirik ku dengan manyematkan senyum diwajahnya. “Mengenai perbincangan kita dua minggu lalu. . . . “
***
Dua minggu lalu. Sore ini langit cukup cerah, tak ada kabut mendung yang menyelimuti. Aku baru saja selesai mengajar di sebuah rumah tahfidz, membagai sedikit ilmu yang kumiliki. Setelah aku selesai menjalankan kewajibanku sebagai seorang dosen di sebuah universitas, aku selalu menyempatkan mampir ke tempat ini.
Ku arahkan kakiku berjalan menuju mobil yang terparkir dipinggir jalan, yang tak jauh dari pekarangan. “Nafisya!” langkahku terhenti ketika mendengar namaku di panggil. Aku menoleh ke sebelah kiri, terlihat seorang pria berjalan mendekatiku. “ Mas Ilham?” tanyaku tak percaya. Aku menautkan kedua alisku, heran mengapa pria ini berada disini. “Iya ini saya Ilham. Bisa kita bicara?!” Ucapnya dengan raut memohon.
Kami duduk dibangku yang menghadap ke jalan, tak jauh dari mobilku terparkir, mengamati keramaian di sore hari. “ Hmm, begini Nafisya” kalimat inilah yang menjadi pembuka obrolan, aku belum menanggapinya, menunggu kalimat selanjutnya yang akan ia ucapkan. Kami duduk dengan jarak yang cukup jauh, tak mau menimbulkan berita yang tak sedap untuk menjadi hidangan publik. Mas Ilham adalah seorang pemilik perusahaan yang cukup besar di Kota ini, sehingga tak jarang orang yang mengenalnya. “Saya harap kamu mau mendengar setiap kata yang saya ucapkan di sore ini” Sambungnya, “Saya bukanlah seorang pujangga yang pandai bersyair, bukan pula seorang pria romantis, tapi saya harap sore ini dan perbincangannya akan menjadi sejarah yang terkenang untukmu.” Dia mengambil nafas, sebelum melanjutkan kalimatnya “Kita memang belum mengenal dekat, bahkan bertemupun sangat jarang. Tapi disetiap pertemuan kita yang tak sengaja, kamu selalu membuat saya tak berhenti memikirkanmu. Entah perasaan apa yang saya rasakan. Tapi saya rasa, saya telah melabuhkan hati saya kepadamu.” Logikaku masih berusaha mencerna perkataan yang keluar dari lisan mas Ilham. “Saya mau kamu menjadi wanita yang menemani saya berjuang mecari ridho Allah hingga kesurganya.” Aku menatap mas Ilham dengan tatapan meminta penjelasan. Dia sepertinya paham dengan arti tatapanku. “Nafisya, saya meminta kamu untuk menjadi istri saya. Apa kamu bersedia?” Tuhan, apa aku tak salah dengar. Mas Ilham melamarku. Aku hanya mengetahui sedikit tentangnya, aku juga mengenalnya hanya karna dia adalah sepupu dari sahabat karibku. Apakah aku harus menerimanya? Tapi apakah pantas aku bersanding dengannya? Dia terlahir dari keluarga terpandang, sementara aku? Apakah dia akan menarik ucapannya barusan , ketika dia tau latar belakang nasab ku?
***
“Mengenai perbincangan kita dua minggu lalu, saya sudah memikirkannya dan berbincang dengan keluarga saya, seperti yang kamu sarankan.” Mas Ilham menarik nafas sebelum menyambung ucapannya. “Saya dan keluarga saya menerima kamu apa adanya. Saya tidak pernah mempermasalahkan latar belakang keluargamu. Bukankah Rosulullah lebih mengutamakan untuk menikahi wanita sebab agamanya ketimbang nasabnya?!” Dua minggu lalu aku menceritakan latar belakang keluargaku pada Mas Ilham. Bukan maksutku membuka aib keluargaku, aku hanya tak ingin keluarga Mas Ilham menyesal karna anaknya menikah dengan keluarga yang tidak memiliki nasab yang sebanding dengan keluarganya. Sehingga aku meminta mas Ilham untuk membicarakan dulu pada orang tuanya. Ku kira mas Ilham tak jadi melanjutkan lamarannya, karna dua minggu berlalu, dia tak pernah membagikan kabar lagi.
“Tujuan saya datang kesini, saya ingin mendengar jawabanmu mengenai lamaran saya dua minggu lalu”. Aku hanya mampu menganggukan kepala untuk mewakilkan jawabanku. “Alhamduliilah” ungkapan yang kudengar dari bibir mas Ilham, sebelum kemudian ibuku memelukku. Ya, aku sudah memutuskan untuk melabuhkan hati ini pada mas Ilham, pria yang sekarang akan menjadi imam untukku dan membimbingku untuk meraih ridho-Nya, menjadi lentera dalam gelapku.