Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasuh Pondok Pesantren & Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Rembang, Guru Utama di Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang, dan Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ
Contradictio in Terminis
Dari istilah beragama maslahat bisa ditarik logika bahwa ada beragama yang tidak maslahat. Padahal agama berasal dari kata a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “tidak kacau”. Dari makna ini, tujuan agama adalah menciptakan keteraturan untuk kebaikan hidup umat manusia. Dengan demikian, istilah beragama maslahat sesungguhnya mengandung contradictio in termisnis.
Memang cukup sering terjadi tindakan-tindakan yang mengatasnamakan agama tertentu, tetapi sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran agama itu. Penyebabnya secara umum adalah pemahaman keagamaan tidak tepat, sehingga mendorong tindakan yang tidak benar. Dalan skala tertentu perilaku yang tidak tepat ini menyebabkan kerusakan dan membahayakan, bukan hanya pelakunya, tetapi juga orang lain dan lingkungan secara luas. Dalam konteks ini, sama juga dengan istilah moderasi beragama. Yang diperlukan sesungguhnya adalah memahami agama dengan benar. Kalau Islam dipahami dengan benar, maka akan melahirkan sikap yang sangat menguntungkan, bukan hanya untuk diri sendiri, bukan pula untuk hanya sesama pemeluk agama yang sama, tetapi juga pemeluk-pemeluk agama yang lain.
Perspektif al-Qur’an dan Hadits
Terutama dalam pandangan al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad saw., tujuan kemaslahatan beragama sangatlah jelas. Bukan hanya bisa dipahami dengan melakukan interkoneksi antar ayat yang terpenggal-penggal dan letaknya berjauhan. Pandangan paling singkat tetapi utuh di dalam al-Qur’an tentang ini terdapat dalam surat al-‘Ashr: 1-3.
وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-Ashr: 1-3)
Sedangkan sabda Nabi Muhammad yang juga singkat, padat, dan jelas, tetapi sangat komprehensif mengenai cara beragama yang tepat adalah:
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»
Dari Tamim Ad-Dari bahwa Nabi saw. bersabda: “Agama adalah komitmen.” Kami (sahabat Nabi) bertanya: “Untuk atau kepada siapa?” Beliau menjawab: “Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Syafi’i, Ahmad, Darimi, Ibnu Hibban, Thabran, dll).
Di dalam al-‘Ashr: 3, Allah secara tegas menyatakan bahwa ada empat komponen dasar dalam beragama, yaitu: iman, amal saleh, memerintahkan kepada kebenaran, dan juga memerintahkan untuk sabar (memiliki daya tahan tinggi). Beriman dengan benar menunjukkan bahwa orang yang beragama harus sudah benar sejak dalam pikiran. Dalam hal ini, iman yang benar didasarkan kepada lima kriteria, yaitu iman kepada Allah sebagai satu-satunya tuhan dan Muhammad sebagai utusan terakhirnya. Jika kepercayaan tidak benar, impelementasinya pasti akan tidak benar dan implikasinya pasti—entah besar atau kecil—merugikan, bisa atas diri sendiri, tetapi bahkan juga kemanusiaan dan lingkungan secara luas. Namun, kepercayaan yang benar, belum tentu diimplementasikan dalam bentuk amal saleh atau maslahat. Karena itu, iman dan amal saleh dalam al-Qur’an selalu disebut dalam satu kesatuan, sehingga bisa diibaratkan sebagai dua sisi dari sekeping mata uang yang apabila salah satunya tidak ada, maka sama dengan ketiadaan keduanya.
Iman dana mal saleh, dua hal itu saja memang sudah cukup, tetapi belum akan bisa mewujudkan umat terbaik. Karena itu, masih ada dua hal lagi yang disebutkan, yaitu memerintahkan kepada kebenaran (al-haqq) dan memerintahkan kepada kesabaran (al-shabr). Ini selaras dengan QS. Ali Imran: 110 yang di dalamnya sesungguhnya menjelaskan tentang dua hal itu dengan didahului iman secara benar. Di dalam ayat ini, dua hal itu disebut dengan istilah lain yaitu: amar ma’ruf dan nahy munkar:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, sedangkan kalian beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali Imran: 110)
Dari dua ayat ini saja, sudah sangat nampak betapa Islam menekankan maslahat yang berskala luas, karena bukan untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Iman dan amal saleh yang konteksnya adalah ibadah atau hubungan vertikal dengan Allah hanya akan bermanfaat bagi diri sendiri. Amal saleh yang konteksnya adalah hubungan horizontal, akan menghasilkan manfaat berupa maslahat untuk diri sendiri dan juga orang lain. Namun, amal saleh ini belum sampai kepada dorongan kepada orang lain agar kebaikan memiliki daya yang lebih besar. Karena itu, al-Qur’an memberikan tambahan lagi untuk memerintahkan atau mengajak orang lain untuk mengerjakan kebaikan yang sama. Dan bukan hanya itu, secara bersamaan juga mengajarkan untuk memerintahkan orang lain bertahan untuk tidak melakukan tindakan yang tidak baik yang dalam istilah lainnya adalah menahan atau mencegah kemunkaran. Sebab, tidak jarang terjadi, orang melakukan kebenaran atau kebaikan, tetapi secara bersamaan juga melakukan kebathilan atau kemunkaran. Yang diinginkan oleh al-Qur’an dan juga Nabi Muhammad adalah orang menjalankan kebenaran dan secara bersamaan juga menjauhi kebathilan. Itulah yang disebut dengan takwa.
Pelaku Utamanya Pemimpin
Maslahat yang dimaksudkan akan benar-benar bisa terwujud apabila para pemimpin memahami agama dengan tepat, lalu mentransformasikannya ke dalam kebijakan politik kenegaraan dengan cara objektivikasi. Produk kebijakan politik kenegaraan yang benar, utamanya yang berupa Undang-Undang sesungguhnya merupakan wujud amar ma’ruf nahy munkar dalam kehidupan masyarakat modern. Dengan peraturan itulah, warga negara bisa dipaksa untuk menjalankan kebenaran dan kebaikan di satu sisi dan di sisi lain secara bersamaan juga dipaksa untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar yang berimplikasi merugikan.
Presiden terpilih, Prabowo Subianto misalnya, memiliki program untuk memberikan makan gratis misalnya, itu sesungguhnya adalah perintah agama yang terdapat dalam QS. al-Ma’un. Namun, Prabowo mendapat perspektif ini bukan dari ayat al-Qur’an, melainkan dari sains yang objektif yang sesungguhnya adalah tanda dari Allah juga yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang cerdas.
Pemimpin di Indonesia yang bertakwa kepada Allah Swt. mestinya mampu membuktikan bahwa agama yang mereka anut benar-benar berimplikasi kepada maslahat dalam penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi. Jika Indonesia bebas dari korupsi, maka banyak sekali maslahat yang akan nampak, mulai dari terpenuhi gizi seimbang untuk seluruh warga negara, sehingga memiliki kecerdasan yang cukup. Mereka akan mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, sehingga menjadi SDM-SDM tangguh dan berdaya saing tinggi dalam dunia global. Wallahu a’lam bi al-shawab.