Akhir akhir ini baik di media sosial ataupun media massa marak adanya berita pelecehan seksual. Bukan kata pelecehan seksualnya saja yang membuat gempar melainkan sang pelaku dibalik kejadian tersebutlah yang tidak disangka sangka dan menjadi warning tersendiri bagi para remaja saat ini.
Sekjen FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), Heru Purnomo dan Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti melaporkan catatan bahwa kasus-kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan, paling tinggi adalah kekerasan fisik dan kedua kekerasan seksual oleh guru, (detikEdu2024).
Ternyata benar badai paling berbahaya itu justru yang awalnya tidak ada tandanya. Seseorang yang notabenya memiliki pangkat ataupun jabatan, orang yang seharusnya dapat dipercaya, mempunyai segudang ilmu dan pengetahuan tetapi justru orang orang seperti itulah yang saat ini banyak terjerat pada kasus pelecehan seksual, mereka seakan lupa status dan tanggungjawab apa yang pada saat itu mereka emban.
Sebenarnya apa yang melatarbelakangi mengapa hal tersebut marak terjadi? Apakah moralitas sebagai guru, pengajar, ustadz itu hanya sebatas pengetahuan tentang yang benar dan salah saja?. Itulah penyebab nilai kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan semakin berkurang.
Lingkungan perguruan tinggi, sekolahan, pondok pesantren idealnya menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi seluruh sivitas akademika untuk berkembang. Namun, kenyataan pahit menunjukkan bahwa masih banyak kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan tersebut.
Banyak orang tua yang tidak percaya lagi menitipkan anaknya dipondok pesantren, asrama dan sebagainya mereka terlalu takut jika anaknya menjadi korban kasus kasus semacamnya. Banyak faktor yang melatarbelakangi pelaku pelecehan seksual yang notabenya adalah orang orang terhormat.
Faktor faktor tersebut tak lain adalah, mereka merasa mempunyai jabatan, kedudukan yang tinggi dan finansial yang mendukung, akhirnya power tersebut digunakan untuk memanipulasi, menjadi seenaknya, menjanjikan rayuan rayuan busuk kepada orang orang yang berada dibawah mereka. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya yang sistematis dan berkelanjutan, salah satunya melalui inkubasi pendidikan tinggi.
Inkubasi dalam konteks ini merujuk pada proses pembudayaan nilai-nilai kesetaraan, penghormatan, dan keamanan terutama dilingkungan tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, agar menjadi bersih dan bebas dari pelecehan seksual dan dapat digunakan semestinya.
Proses ini tidak hanya melibatkan perubahan kebijakan, tetapi juga perubahan mindset dan perilaku seluruh sivitas akademika. Pendidikan tinggi memiliki peran krusial dalam menginkubasi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
Kampus, sekolah, pondok pesantren harus menjadi ruang di mana setiap individu merasa dihargai dan dilindungi, terlepas dari gender, orientasi seksual, atau identitas lainnya. Salah satu langkah penting dalam inkubasi adalah melalui pendidikan seks komprehensif.
Pendidikan seks tidak hanya mengajarkan tentang anatomi dan reproduksi, tetapi juga tentang consent, hubungan yang sehat, dan bagaimana mencegah serta mengatasi kekerasan seksual. Kurikulum pendidikan seks yang komprehensif perlu diintegrasikan ke dalam berbagai mata kuliah, ataupun mata pelajaran sedari Sekolah dasar. Selain itu, juga perlu menyediakan layanan konseling bagi para pelajar yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual.
Selain pendidikan, penegakan aturan dan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual juga sangat penting. Kampus ataupun sekolah perlu memiliki mekanisme pelaporan yang jelas dan mudah diakses, serta proses penanganan kasus yang cepat dan adil.
Pelaku harus diberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya, baik itu berupa sanksi akademik maupun sanksi hukum. Penting juga untuk melibatkan seluruh sivitas akademika dalam upaya menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
Mahasiswa, pelajar, guru, dosen, dan staf perlu diberikan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Singkatnya, inkubasi pendidikan tinggi adalah upaya untuk mengubah tempat belajar menjadi tempat di mana setiap individu merasa dihargai, dilindungi, dan dapat berkembang secara optimal.
*Oleh: Jihan Nabilla, mahasiswa UIN KH.Abdurrahman wahid Pekalongan Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam.