Escher: Dunia yang Relatif

Baladena.ID

Siklus kehidupan seringkali menjadi misteri, misteri yang kadangkala menjadikan banyak umbaran pertanyaan yang dikeluarkan setiap waktunya oleh para manusia. Keingintahuan menjadi energi pendorong dalam hal ini. Kebingungan dan rasa penasaran menjadikan mereka bertanya untuk menemukan sebuah jawaban yang jelas. Dialektika kemudian berlangsung atas nama keingintahuan, manusia bertanya kemudian menjawab berdasarkan beberapa pandangan. Ada yang berdasarkan rasio, pengalaman, realitas, dan lain sebagainya dengan ragam argumentasi yang menurut mereka kuat.

Melalui hal itu, maka tidak heran jika hari ini  kita mengenal dan menemukan banyak paham dengan argumentasinya masing-masing. Ada rasionalime yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber pengetahuan, empirisme yang berpandangan bahwa pengalaman lah yang menjadi sumber pengetahuan, intuisionisme yang berpandangan bahwa intuisi adalah sumber dari pengetahuan, realisme yang berpusat pada realitas, skeptisme yang selalu meragu, fenomenalisme yang berpusat pada fenoma, ada pragmatis yang beranggapan bahwa kebenaran harus memiliki nilai guna, dan lain sebagainya.

Jawaban-jawaban Itu, kemudian mulai berhamburan. Ada yang berwarna hitam, putih, abu-abu hingga warna-warna yang lainnya. Semua jawaban tersebut, kemudian dikumpulkan dan dipilah untuk diuji bagaimanakah kebenarannya. Apakah itu kebenaran yang hanya bersifat koherensi korespondensi, ataupun pragmatis. Lelucon dan humor, juga tak pernah lepas sebagai iklan. Iyah, barangkali itulah yang dinamakan dilaktika. Dari satu argumentasi melahirkan argumentasi yang lainnya, kemudian menciptakan argumentasi baru dan baru lagi. Dari satu lelucon melahirkan lelucon baru, dan dari satu humor melahirkan humor yang baru. Maka tak keliru jika kebenaran yang berasal dari manusia bersifat relatif.

Kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan, manusia hanyalah makhluk yang ditunjukkan jalan yang lurus oleh Nya, kata Sang Darwis mengutip ayat Al-Quran untuk membuat suatu ungkapan yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan. Berlandaskan itu, akhirnya kita bertanya. Apakah pantas diri kita ini, mengatakan kebenaran yang datang dari kita sebagai kebenaran yang mutlak. Hal itu adalah kekonyolan yang tidak kita sadari keluar dari dalam diri kita sendiri. “menutup diri pada pandangan orang lain, hanya akan membawa pada satu gejala, yakni; buta dan tak dapat melihat kebenaran yang datang dari orang lain”. Kata Sang Darwis untuk kedua kalinya.

(Ohhh manusia siapakah kita sebenernya?) jawabannya tergantung kepada situasinya. Di dalam ruang dimensi ekonomis, ia adalah makhluk ekonomi, di dalam ruang dimensi politik maka ia adalah political animal, dan di dalam dunia pendidikan ia adalah homo ecuandum, begitulah seterusnya. Kotakan-kotakan manusia semakin lama, semakin banyak dan makin sempit. Seperti yang dikatakan Fariduddin Attar dalam bait puisinya  “dan kita membuat peti di dalam peti ini”, potongan puisi Fariduddin Attar.

Akhir kehidupan adalah kematian, akhir percakapan adalah keheningan, akhir kelaparan adalah kekenyangan, dan akhir penderitaan adalah kebahagiaan. Ohh tiada indahnya sebuah kata-kata jika kita tidak mampu meresapi sebuah makna darinya. Dunia kita ini mengandung makna, potongan kata Willbur M. Urban. Makna yang dihasilkan dari banyak hal dan disampaikan lewat beberapa cara oleh masing-masing manusia. Apakah sejatinya hidup ini, dan bagaimanakah kita harus menjalankannya?. Jawaban sederhananya, hidup adalah ketentuan yang ciptakan Tuhan, dunia sebagai panggung kehidupan, tempat manusia menjalankan ketentuan itu. Mereka bekerja mencari makan untuk bertahan hidup, kemudian beragama dan mencari pengetahuan untuk mencerahkan diri ataupun orang-orang sekitarnya. Walaupun, “kadangkala menjadi kasar, hina, dan bodoh dengan dorongan nafsu setan yang dimiliki”.

Begitulah hidup. Selalu dibayang-bayangi dengan kebaikan dan keburukan yang datang setiap harinya. Maka tidak salah jika sebagian orang mengatakan bahwa “manusia sebagai bagian dalam kehidupan, haruslah senantiasa menjalankan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Sebab, jika tidak seperti itu, bukan Tuhan yang menciptakan kehidupan yang akan merugi, melainkan kita yang berada dalam panggung kehidupan inilah yang akan merugi”. Dialektika kehidupan ini, hanyalah simbol dan isyarat dari-Nya untuk menemukan arah mana yang akan kita tuju untuk menemukan jalan yang telah Ia tentukan, yakni jalan yang lurus (baik).

Oleh: Muhammad Ali BagasPecandu Filsafat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *