Seorang kawan lama datang menengokku. Ia tak sengaja lewat ke daerah pelosok tempat saya tinggal. Katanya, ia sedang bertugas mengantar surat penelitian di daerah Ciremang, desa yang tak jauh dari tempat saya bekerja menjadi seorang petani.
“Hei, teman. Lama sekali aku tak mendengar kabarmu.” Senyum tulusnya masih saja merekah sebagaimana delapan tahun lalu kala kami masih berada di bangku sekolah dasar.
“Tentu kabar baik yang aku punya. Nyatanya, saat ini, kau bisa menemukan wajahku, Mam.” Jawabku sambil menerima jabat tangannya.
Aku mempersilakannya masuk ke rumah panggung Segitigaku. Ia terlihat keheranan, menerawang atap-atap dan jendela kaca dengan sekat kayu segi empat.
“Kau buat sendiri?” tanyanya dengan mata yang terus mengawasi setiap kulit rumah.
“Iya, Mam. Seadanya. Dengan kayu sisa dan alat sederhana.” aku menerangkan sambil menuangkan teh hangat yang sudah ku siapkan sebelum ia datang.
“Hebat juga.” ia duduk bersila di hadapku, dengan meja panjang sebagai pemisahnya. Ya, di rumahku tidak ada kursi. Hanya ada meja dengan kaki-kaki pendek.
“Aku masih ingat masa kecilmu dulu. Kau itu pemikir hebat. Tak pernah sekalipun engkau tak dapat rangking satu. Otakmu cemerlang, banyak teman perempuan yang suka dan mengidolakan kecerdasanmu.” ia menatapku dengan senyum tulusnya yang masih sama seperti delapan tahun lalu. Sementara aku tetap diam dan membalas pujiannya dengan senyuman.
“Dan saya tidak menyangka, jiwa senimu tak kalah hebatnya.” lanjutnya dengan mata berbinar.
“Kau banyak kemajuan, Mam. Dari penampilanmu saja, sudah mulai tertata. Tentu cara berpikirmu juga semakin ciamik, Mam.” pujiku melihat rambutnya yang kini disemir dan pakaiannya yang rapi teratur.
“Ah. Ini hanya tuntutan kerja. Selebihnya aku masih seperti yang dulu. Yang selalu meminjam sabuk dan sepatumu jika ada pemeriksaan guru keamanan kelas. Hehe”.
Aku menyeruput teh hangat, ia pun mengikutiku.
Malampun datang. Ditandai dengan lembayung di balik bukit gundul Ciremang. Gelap kembali membungkus desa dan tanah pertanian yang luasnya sejauh mata memandang. Persiapan tidur pun menjadi ritual peristirahatan.
***
Subuh baru saja undur diri. Burung-burung sudah pergi menjemput rezeki. Ayam-ayam tak mau kalah mencari makanan di balik jerami.
Begitupun teman baikku masa kecil dulu. Ia sudah rapi dengan tas ransel yang siap untuk dibawa pergi.
“Kau berangkat tak terlalu pagi, Mam?”
“Tidak.” jawabnya sambil menata rambutnya di muka cermin.
“Aku harus melihat para petani di Ciremang berangkat ke ladang. Alat apa yang mereka bawa dan bagaimana cara menanam dan merawat padi sehingga bisa panen dalam waktu satu bulan saja.”
Aku bawakan sebungkus nasi uduk, dua tempe mendoan dan sebotol susu hangat.
“Ini, Mam. Kita belum berkesempatan untuk sarapan bersama. Kau buru-buru.”
“Tak apa. Maaf merepotkan. Nanti malam, kita makan bersama ya. Wah. Terima Kasih banyak. Masakanmu pasti enak sekali.” Senyumnya tulus sekali. Aku menyukai caranya berteman. Bertabur senyum ikhlas, tidak dibuat-buat, dan tidak ada rasa sungkan, meski bertahun-tahun tak berjumpa, yang terkadang hanya melahirkan basa-basi tiada arti. Ia selalu jujur dan mengatakan kebenaran.
“Kau juga sudah bersiap menuju ladangmu. Aku berangkat, Kawan.”
“Hati-hati di jalan, Mam.” Ku perhatikan punggungnya menghilang dari balik pintu dan terdengar langkah kakinya menuruni delapan anak tangga yang terbuat dari kayu.
***
Hari begitu cepat berjalan. Tiba-tiba, malam kembali membungkus desa.
“Selamat malam. Aku datang.” Suara sahabatku memecah keheningan.
“Selamat datang, Mam.” ku lihat lagi senyum tulusnya. Kamipun makan malam bersama, aku hanya memberi sedikit tanya dan lebih banyak mendengar cerita dan penjelasan darinya. Ia memang benar-benar dalam banyak kemajuan. Salah satunya cara bicaranya yang meyakinkan.
Begitulah waktu selama satu minggu berlalu. Hingga tiba Jum’at di hari ke tujuh, malam terakhir bagi kami bersama. Tugas kawanku harus rampung sampai hari itu juga.
***
“Aku benar-benar mendengar kabar kematianmu, Kawan.”
Ia memulai dengan cemas. Meletakkan tas ranselnya di bawah jendela kaca bergaris kayu segi empat.
“Hanya telingamu saja yang mendengar. Tetapi, matamu masih berhasil melihatku sampai detik ini, Mam.” Aku memberi senyum tipis, dan menyilakan Ia duduk di tentang meja panjangku. Ku ambilkan satu buah apel untuknya, dan mengambilkan nasi ke tempat makannya.
“Sebenarnya bukan benar-benar baru saja aku mendengar. Engkau memang benar sudah lama mati.” senyum tulusnya tak terpasang di wajahnya.
“Apa maksudmu, Mam?”
“Kau benar-benar mati sama sekali. Karena kau sudah berhenti menulis.” jawabnya sembari mengambil lauk tanpa selera makan.
Aku mulai memasukkan nasi manis dengan lauk ikan pepes ke dalam mulutku. Mengunyah pelan dan menyiagakan telinga untuk mendengar ceritanya malam ini.
“Ternyata kau guru dari petani-petani Ciremang. Ternyata kau yang memulai membuat penelitian bibit padi manis yang bisa dipanen hanya dengan waktu satu bulan.”
Aku terus melanjutkan makan. Dan ia mulai ikut memasukkan makanan ke mulutnya.
“Aku hanya ingin hidup dalam kesederhanaan, Mam.”
“Apa definisi sederhana menurutmu, Kawan?” ia bertanya serius.
“Seperti yang kau lihat sekarang, Mam.”
“Aku hanya melihat kamu mati, Kawan.”
“Aku hanya ingin hidup di tengah alam, dalam rumah kayu sederhana, makan dari ladang dan hasil tangan, menata alam, dan hidup yang jauh dari kebisingan.”
“Kau meniru cara hidup nabi siapa, Kawan? Benar, nabi kita mengajarkan hidup dengan kesederhanaan. Tetapi tidak dengan dalam kesendirian.”
Aku terus melanjutkan makan.
“Di koran, di internet, dan di sudut pelosok dunia ini, tak ada yang bisa menemukan namamu.”
“Apa perlunya terkenal, Mam? Itu malah menjerumuskan diri ke dalam kesombongan.”
“Semua orang tau siapa presiden pertama kita. Semua orang tau penyanyi terkenal di negeri kita. Setiap tindakkan dan perilakunya menjadi contoh berkehidupan di dunia. Kita bisa merasakan karyanya, mengambil manfaat darinya, bisa belajar dari cerita hidup dan karyanya.”
“Aku hanya orang biasa, Mam. Aku bukan apa-apa, bukan anak siapa-siapa, Mam.”
“Kau benar-benar sudah mati.”
Aku mengambil susu hangat. Meminumnya pelan-pelan.
“Kau orang hebat yang tidak mengetahui kehebatan dirimu sendiri. Kau benar-benar sudah mati.”
Ku palingkan wajahku ke arah jendela. Purnama tampak bersinar bersih dengan sesekali awan putih melintas di hadapannya.
“Dunia ini sedang dikuasai orang-orang serakah. Mengeksploitasi Ibu Pertiwi tanpa rasa iba dan bersalah. Hanya untuk memperkaya diri sendiri. Lalu dengan bangga memamerkan harta kekayaan dan gaya hidupnya. Di luar sana, banyak orang-orang papa yang berloma mengeruk harta, demi kehidupan mewah dan pamer barang-barang berharga bagaimanapun cara mendapatkannya.”
“Maka dari itu, aku memilih hidup sederhana, Mam.”
“Kau tidak hanya memilih hidup sederhana, Kawan. Tetapi kau memilih menggali liang kuburmu sendiri, dan kau merasa tenang mati di dalamnya.”
“Lalu, aku harus bagaimana, Mam? ”
“Mengapa kau tak menulis lagi? mengapa kau tak menerbitkan sebuah buku tentang pertanian hebatmu, tentang alammu, cara hidupmu?”
“Aku tak punya keahlian di sana, Mam.”
“Lalu, kau anggap bodoh para redaktur koran lokal, nasional, bahkan internasional yang pernah memuat tulisanmu semenjak SMP dan SMAmu?”
“Bagaimana kau tahu tentang itu, sedang kita tak pernah bertemu, Mam?”
“Itu karena kau menulis, Kawan.”
Aku hanya diam. Meneguh setetes terakhir susu hangat yang sudah bercampur embun malam.
“Kesederhanaan bukan berarti kesendirian. Kau orang hebat yang harus menebar manfaat. Dunia ini rusak, bukan hanya karena banyaknya orang jahat dan sekarah. Tetapi juga karena diamnya orang-orang baik.”
Purnama semakin tinggi. Kini tak nampak lagi dari jendela. Gelap kembali membungkus desa. Dan akhirnya, kami kembali berpisah.
Pilanggowok, 17 April 2022
Oleh: Ficky Prasetyo Wibowo, Guru Musik dan Seni di Sekolah Alam Nurul Furqon, Penulis Buku Sepasang Telinga yang Terbang