Indonesia akhir-akhir ini sedang dilanda kejadian yang tidak mengenakan yaitu musibah, dimulai dari kekeringan akibat kemarau panjang yang mengakibatkan panen gagal, kekurangan air bersih, kebakaran dan lain sebagainya. Kini kita memasuki musim hujan, peristiwa sedih pun terjadi, musibah banjir di beberapa daerah di nusantara melanda, termasuk Ibu Kota Negara yaitu Jakarta, diikuti tanah longsor dan timbulnya berbagai penyakit pasca musibah.
Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang disalahkan? Siapa yang bertanggungjawab? Apa solusinya? dan masih segudang pertanyaan yang mengiringi disetiap peristiwa. Akan tetapi sangat sedikit pertanyaan yang ditujukan untuk dirinya sendiri, atas musibah yang dialami saat ini, lebih tepatnya introspeksi atau muhasabah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata musibah diartikan sebagai kejadia menyedihkan yang menimpa, atau malaptaka, atau bencana. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Arab al Munawwir, kata asal musibah dari kata ashaba yang diartikan sebagai bencana atau malapetaka.
Musibah tidak bisa diprediksi kapan datangnya, menimpa siapa dan tidak bisa ditolak oleh siapa pun. Karena musibah bagian dari sunnatullah atau ketentuan Allah Swt. Namun, manusia diperintahkan Allah untuk mencegah, menanggulangi atau menghindarinya. Bukan berarti pasrah bongkokan dengan tidak melakukan apa pun atas musibah yang terjadi, dalam konteks ini adalah melakukan pencegahan dan jika sudah kejadian segera mencari solusi agar segera terkendali.
Jika kita mendalami hakikat musibah, sebenarnya sudah dijelaskan dalam kitab suci Al Qur’an dengan jelas, bahwa musibah merupakan bentuk dari ujian dan teguran. Baik berupa sesuatu yang positif maupun negatif. Hal ini terdapat di 10 ayat di dalam al Qur’an yaitu Surat Al Baqarah ayat 156, Ali Imran ayat 165, An Nisaa’ ayat 62, Al Maidah ayat 49, At Taubah ayat 50, Al Qashash ayat 47, Asy Syura ayat 30, Al Haddid ayat 22 dan At Taghabun ayat 11. Dijelaskan bahwa musibah hakikatnya merupakan rencana Allah dalam penciptaan alam semesta, termasuk menciptakan manusia itu sendiri. Allah pun telah menetapkan sebelum, sesudah dan yang akan terjadi. Tujuannya adalah agar hambanya tidak lalai dalam beribadah dan senantiasa menjaga apa yang telah diciptakan oleh Allah, dengan cara melestariakannya, bukan sebaliknya yaitu merusak.
Terkait pembahasan soal musibah, Rasulullah Saw menjelaskan dalam sabdanya, yang artinya “Barang siapa yang dikehendaki Allah Swt untuk mendapat kebaikan, maka dia akan ditimpa musibah. Yakni di uji dengan berbagai bencana, supaya Allah Swt memberikan pahala kepadanya. Musibah adalah perihal yang turunnya atau kehadirannya pada manusia tidak disukai” jika kita menyadari bahwa dibalik musibah ada hikmah di dalamnya.
Musibah bagian dari bukti Sang Maha Kuasa bahwa manusia tak kuasa atas kehendakNya. Namun demikian, bukan beraarti harus dihadapi dengan kesedihan dan putus asa. Akan tetapi harus dihadapi dengan sabar dan lapang dada. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayidina Ali “Jika engkau bersabar, takdir akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan pahala.Jika engkau berkeluh kesah, takdir juga akan berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan dosa.” Tinggal dipilih, apa mau sabar dan lapang dada atau mau berkeluh kesah atas musah yang menimpa.
Dalam kehidupan, apa yang harus dilakukan ketika mendapat musibah. Langkah-langkah apa yang segera diambil untuk mengatasinya. Pertama. Ambil tindakan dan disertai muhasabah. Misalnya, musibah banjir, tindakan yang segera diambil adalah menyelamatkan diri dengan cara mengungsi ketempat yang lebih aman, karena ini bagian dari ikhtiar, tidak perlu ngomel menyalahkan siapa pun, sambi diiringi do’a agar selamat. Kemudiah lakukan muhasabah, kenapa musibah banjir ini terjadi, apakah karena membuang sampah sembarangan, selokan mampet, terjadi sedimentasi sungai dan lain sebagainya, evaluasi ini penting dilakukan, tidak hanya oleh pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintan, akan tetapi pola hidup dan budaya masyarakat juga perlu untuk dievaluasi sebagai upaya pencegahan sedini mungkin agar tidak terulang.
Kedua. Berprasangka baik (Positif Thingking), karena musibah datang tidak diundang, pergi pun membawa bekas luka, akan tetapi jika dipahami lebih mendalam, ternyata musibah banyak mengandung hikmah termasuk kemuliaan, jika dilihat dari kaca mata iman, termasuk di dalamnya menghapus dosa atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Oleh karena itu, hindari berprasangka buruk terhadap Allah Swt.
Ketiga. Hindari dari berputus asa dan mengeluh. Optimisme adalah langkah yang tepat ketika ada musibah, karena peristiwa yang telah terjadi tidak mungkin dikembalikan seperti semula, harapannya adalah tidak akan terulang kembali kejadian serupa dan menata kembali untuk hidup ebih baik lagi. Ketentuan Allah lebih baik dari keinginan manusia itu sendiri.
Keempat. Senantiasa mengingat Sang Pencipta. Musibah datang kepada hambanya tidak hanya beupa kesedihan, namun kadang berupa kesenangan, apakah dengan kesenangan tersebut akan lebih mendekatkan diri kepada Allah atau sebaliknya akan semaki menjauh. Hal ini perlu dicermati agar hidup semakin berkah dengan senantiasa mengingat Allah Swt, sesuai dengan firman-Nya, terdapat pada Surat At Taghabun ayat 11 yang artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segalasesuatu.”
Semoga musibah yang datang segera berlalu dengan harapan baru, evaluasi dengan tujuan mencegah, menanggulangi harus dilakukan dengan cepat oleh pemangku kebijakan baik daerah maupun pusat, jika musibah masal yang terjadi, agar tidak kembali terlulang. Perilaku negatif masyarakat pun harus diubah dengan membiasakan hidup teratur dan taat aturan. Muhasabah pun harus dilakukan, sebagai introspeksi diri untuk tidak mengulangi dan lebih mendekatkan diri kepada Allah, karena musibah kadang berupa ujian dan teguran dari Allah.
Dan terakhir adalah menjaga alam semesta dengan baik, merusak berarti siap menanggung akibatnya, apa itu ? musibah yang akan datang menimpa. Semoga Allah menguji hambanya yang beriman dengan ujian yang mudah untuk mengatasinya dan menemukan solusinya dengan cepat dan Allah memberikan yang terbaik bagi hambanya yang sabar dan berlpang dada dalam menerima musibah.
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah:
Pertama, Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala[9]. | |
Kedua, Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang.[10]Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”[11] |
|
Allâh Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.[12]Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
”Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.”[13] |
Sebagai penutup, ada sebuah kisah yang disampaikan oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullâh tentang gambaran kehidupan guru beliau, imam Ahlus sunnah wal jama’ah di jamannya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang Mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allâh Ta’ala takdirkan bagi dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“Dan Allâh Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullâh). Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allâh Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi di sisi lain (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya.
Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullâh), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat).
Dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”[14]
[1] | Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah). |
[2] | Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34). |
[3] | Kitab Al-Fawâ-id (hal 121- cet. Muassasatu Ummil Qura’) |
[4] | Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi). |
[5] | Tafsîr Ibnu Katsîr (8/137) |
[6] | Ighâtsatul Lahfân (hal 421-422 – Mawâridul Amân) |
[7] | HR al-Bukhâri (no 7066- cet. Dâru Ibni Katsîr) dan Muslim (no 2675) |
[8] | Lihat kitab Faidhul Qadîr (2/312) dan Tuhfatul Ahwadzi (7/53) |
[9] | Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 422 – Mawâridul Amân) |
[10] | Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân (hal 424 – Mawâridul Amân) |
[11] | HR Muslim (no 2999) |
[12] | Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul lahfân (hal 423 – Mawâridul amân), dan imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (hal 461- cet. Dâr Ibni Hazm). |
[13] | HR al-Bukhâri (no. 6053) |
[14] | Kitab Al-Wâbilush Shayyib (hal 67- cet. Dârul Kitâbil ‘Arabi) |