Cueksime/Istimewa

Era digital menawarkan dua sisi yang tidak bisa dihindari. Sisi positif dijanjikan, jika digitalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemanusiaan dan peradaban. Sementara di sisi lain, ia meninggalkan dampak negatif dan bahkan cenderung berbahaya untuk kemanusiaan dan keadaban. Salah satu dampak negatif yang muncul dan sangat menggejala adalah “cuekisme” atau dalam bahasa Inggris disebut phubbing.

Phubbing adalah sebuah istilah yang muncul bersamaan dengan booming-nya smartphone di masyarakat. Sebuah tindakan acuh tak acuh seseorang di dalam sebuah lingkungan sosial, karena lebih fokus pada gadget daripada membangun sebuah percakapan yang memanusiakan manusia. Istilah baru ini tentu tidak sulit ditemukan bagaimana praktiknya di zaman informasi yang serba digital ini.

Hampir di semua tempat ditemukan sebuah interaksi sosial yang bisa dibilang “aneh” dan “lucu”. Ada sekelompok orang terlihat sedang bergerombol, tetapi mereka justru sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Lalu di mana letak harmonisasi hubungan manusia dalam komunikasi interpersonal dan kelompok? Sebuah pertanyaan retoris yang tidak ditemukan jawabannya. Maka menjadi benar, jika kemudian muncul anekdot: “Gadget itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.”

Dalam konteks ini, kecenderungan pengguna smartphone yang tidak bisa lepas dari perangkat sangat memengaruhi kehidupan sosial mereka. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pinchot dkk (2010) yang menyebutkan, smartphone telah mengubah perilaku komunikasi manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Orang lebih disibukkan dengan gadget atau smartphonenya dibandingkan harus berinteraksi dengan lawan bicara atau membangun hubungan dengan lingkungan.

Dulu, sebelum internet merebak bak jamur di musim hujan, orang bermain HP di saat ada acara itu adalah tindakan yang “saru”. Akan tetapi, kini orang tidak lagi merasa tabu jika harus disibukan dengan gadgetnya, sekalipun ketika di acara pemakaman, bahkan saat beribadah. Tentu ini menjadi masalah yang akan menggeser perilaku sosial ke arah yang negatif dan bahkan cenderung destruktif.

Baca Juga  Bangun! Saatnya Milenial Unjuk Diri

Bagaimana tidak, sebagaimana dikatakan Devito, salah satu bentuk indikator suatu komunikasi dikatakan efektif adalah kesamaan pemahaman antara pengirim dengan penerima pesan. Kesamaan pemahaman itu akan sulit dicapai, jika perilaku komunikasi antara komunikator dan komunikan tidak komunikatif. Kesalahpahamanpun menjadi hal yang potensial terjadi. Kalau sudah demikian, bukan tidak mungkin, seperti menunggu bom waktu, konflikpun akan potensial meledak di mana-mana.

Kesadaran Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Mengenai usaha mewujudkan keteraturan sosial yang memanusiakan manusia ini sesungguhnya telah diatur oleh Islam. Al-Qur’an dan Sunnah telah memberikan panduan kepada umat Islam tentang amar ma’ruf nahi munkar. Perintah mengenai ini disebut di banyak tempat, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Salah satu yang aplikatif dan sangat sesuai dengan problem individualisme, apatisme, dan cuekisme ini terdapat dalam QS al-‘Ashr ayat 3.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran”. (QS. al-Ashr: 1-3). Setelah didasarkan kepada iman murni yang benar dan diikuti dengan amal shalih, manusia yang tidak akan mengalami kerugian itu diperintahkan untuk watawashau (saling nasihat menasihati) dalam kebenaran dan kesabaran. Ayat ini terasa sangat istimewa dan bahkan serasa seperti pusaka umat Islam di tengah prahara melawan apatisme dan cuekisme generasi kita.

Paradigma “saling nasihat menasihati dalam kebenaran” ini harus tertanam dalam diri seorang muslim. Dan inilah nilai yang mestinya terus disebarluaskan seiring dengan kampanye gaya hidup liberal dan individual yang dilakukan oleh Barat. Tentu saja harus digarisbawahi bahwa cara yang ditempuh untuk mengamalkan ini adalah dengan cara yang baik dan benar, sesuai dengan ajaran Islam rahmatan li al-alaimiin. Jangan sampai paradoks, melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang munkar. Ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam membawa rahmat.

Baca Juga  Valentine Day dan Identitas Kita

Dalam hadits yang sangat terkenal, Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa di antara kamu melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selamah-lemahnya iman” (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan/kekuasaan dan lisan berdasarkan kemampuan masing-masing. Dengan demikian, tidak boleh ada orang yang cuek terhadap jika terjadi kemunkaran, setidaknya menolak dengan hati. Itu paling rendah. Karena di bawah itu, dalam redaksi hadis lain disebut, tidak ada iman lagi.

Paradigma QS al-‘Ashr selanjutnya yang harus diresapi oleh setiap muslim salah satunya, adalah “saling nasihat menasihati dalam kesabaran”. Tampak sekilas pesan ayat ini terasa klise, tetapi setelah melihat fenomena budaya K-Pop yang merajalela di mana-mana—yang salah satu potret yang tidak dapat ditutupi adalah “tradisi” buduh diri di Korea, bahkan jauh sebelumnya juga di Jepang—sangat beruntung umat Islam punya panduan yang sempurna, yaitu al-Qur’an, dengan pesan saling menasihati dalam kesabaran. Ketiadaan sabar bisa membuat orang kehilangan kontrol atas dirinya. Dan ini tidak boleh terjadi bagi orang yang beriman.

Pada akhirnya, umat Islam tidak boleh memaklumi fenomena yang sekarang sedang mewabah yakni cuekisme. Sikap ini adalah awal dari malapetaka sosial. Bagaimana mungkin orang akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kalau virus individualisme dan cuekisme menjangkiti generasi kita. Oleh sebab itu, perlu keberanian mengakui bahwa Islam menawarkan cara jitu untuk membangun kemanusiaan yang adil dan beradab. Boleh kita mengambil budaya dari luar yang baik, tetapi tidak melestarikan yang tidak baik tentu adalah kebodohan.

Baca Juga  Kebebasan dan Keterbatasan

Dimulai dari masing-masing diri menuju kesadaran kolektif, bahwa gadget mestinya membuat manusia lebih beradab, bukan sebaliknya. Kesadaran ini penting demi menyelamatkan generasi bangsa kita. Lebih jauh lagi, orang tua perlu memberikan perhatian dan peringatan sejak dini kepada buah hatinya. Jangan hanya karena untuk membuat anak-anak tenang dan tidak membuat barang-barang di rumah berantakan, gadget menjadi pilihan yang diberikan.

Tidak hanya itu, pendidikan kita juga perlu mengarahkan anak didik untuk menjadi subjek digital/internet, bukan hanya objek. Dengan cara memberikan tool untuk produksi ide dan kreasi, kita yakin perkembangan teknologi bisa membuat Indonesia lebih maju. Kita bisa berharap kepada Menteri milenial, Nadiem Makarim. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Mokhamad Abdul Aziz
Direktur Eksekutif Monash Institute

    Saeful Bahri Akui Sumber Duit Suap Untuk Komisioner KPU Berasal Dari Hasto

    Previous article

    Memberi dan Diberi

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi

    More in Retorika