Untuk kesekian kalinya saya kecewa dengan diri saya sendiri. Mengapa saya seperti ini? Saya tervonis komplikasi TBC, Bronkitis, PPOK, serangan jantung, dan asma. Betahun-tahun saya menyembunyikan rasa sakit itu. Demi melihat orang-orang disekitar saya benar-benar bahagia bersama saya.
Egois memang, namun saya bahagia sebab saya hidup karena cinta. Cinta mengajarkan saya untuk mengerti. Bukan lagi menghakimi.
Saya pernah percaya, bahkan hingga saat ini pun saya masih percaya bahwa Cinta adalah penawar kematian. Karena cinta, seseorang kuat melawan badai kematian. Mereka menemukan cinta sejatinya di ujung kematiannya.
Dan saya, percaya jika itu memang benar-benar ada. Saya setiap hari bercumbu dengan obat-obatan. Saya manusia terlemah di dunia. Mencoba melawan kematian diantara beberapa komplikasi yang saya derita dengan satu alasan. Yaitu cinta.
Demi seorang laki-laki yang telah mengisi kehidupan saya. Dia Sang Pemilik Ketulusan. Saya mengaku bertahan dan melawan kematian atas nama cinta. Saya melawannya dengan mengubah pola pikir saya. Bahwa saya mampu dan bisa membahagiakannya. Sebab, kematian yangenentukan adalah Sang Maha Cinta.
Saya percaya, dibalik keperihan perjuangan saya pasti akan berbuah manis. Saya akan mampu menua bersamanya. Walau hanya sebentar.
Saya pernah memintanya untuk pergi. Tapi dia selalu bertanya mengapa? Saya menjawab, “Aku tak bisa menua bersamamu.” Dia mengatakan, “Cinta, percayalah cinta bukanlah perihal bisa menua bersama atau tidak. Akan tetapi bagaimana cara kita tetap hidup abadi dan menjaga cinta itu meskipun sudah berada pada alam yang berbeda”.
Terimakasih, Sang Maha Cinta. Kau telah menghadirkan dia datang di tengah-tengah kehidupanku. Aku bersyukur mampu dipertemukan dengannya.