Cepen: Pembalap Jaket Hijau

Tepat di depan angkringan “Asshiyap” motor dengan status statis bersarang setelah melaju dengan cepat. Ku lihat wajah heran sambil memegang ponsel dan mengecek kebenaran yang ada. Aku merasa ragu apakah namaku termuat dalam pencariannya. Tersontak hati menjadi gelisah. Namun, setelah pengendara itu menyeru namaku dengan nada bertanya: ”Mbak Rindang?” Aku mengangguk perlahan seolah membenarkan pertanyaannya. Kemudian, aku mulai melangkahkan kaki seakan-akan terbuai oleh ajakannya. Sudahlah, aku tak mau terlalu bucin dengan hal tersebut. Aku hanya menginginkan pemberangkatan ke Simpang Lima. Cukup jauh tempatnya. Namun, akan ku tempuh walau harus merenggut lima helai rupiah berwarna kuning kecoklatan.

***

Dia menyodorkan helm dengan ekspresi datar dan bersikap kekar walaupun wajahnya kelihatan tua. Helm yang diberikan sangatlah kecil dan lama kelamaan membuat kepalaku pusing. Tapi apa boleh buat, aku sangat menakuti sosok petugas keamanan berpakaian coklat keabu-abuan di jalan. Akhir-akhir ini, penilangan sangat gencar sekali terjadi. Oleh karena itu, aku terpaksa mengenakan helm tersebut. Aku mulai mengetuk-ngetuk kepalaku sebagai isyarat rasa sakit yang ada. Mungkin dia sengaja membeli helm yang kecil karena kehabisan dana.

***

Perjalanan kami dimulai dengan perkenalan singkat yang diawali dengan kalimat interogatif yang dilontarkan oleh pria berjaket hijau itu. Aku mulai memperkenalkan diriku dengan lengkap sampai asal usul namaku yang terlahir karena kepalaku yang botak dan ibuku ingin agar rambutku tumbuh rindang layaknya pohon. Oleh karena itu, beliau menamaiku “Rindang.” Hal tersebut sebagai do’a agar rambutku subur layaknya anak yang lain. Setelah itu, pria itu menanyakan asal daerahku, tempat kuliahku sampai hal yang kurasa tak perlu ditanyakan. Aku mulai jengkel dengan pertanyaannya karena ini hanyalah pertemuan sementara.

***

Setelah itu, mulailah dia mempresentasikan dirinya dan aku menyimak sambil berusaha merekatkan telinga rapat-rapat agar dapat kudengar penjelsasannya. Hal ini bukan karena aku suka dengannya atau suka mendengar suaranya yang aneh seperti kaleng, tapi keanehannya yang membuatku ingin tahu tentangnya. Hatiku mulai terketuk dan sadar ketika mendengarkan penjelasannya. Terrnyata dia adalah pria yang luar biasa. Penjelasannya mungkin tidak masuk akal. Tapi ku coba untuk memahaminya dengan rasa yang ada, tapi bukan dengan rasa cinta. Dia berusaha menjadi tukang ojek daring karena ingin mengumpulkan  modal guna membuka usaha yang telah lama diidamkan. Usaha antah berantah yang tahu kapan akan terealisasikan kalau pekerjaannya tak menjanjikan semacam ini.

***

Tidak ada deraian air mata dan juga tidak ada ingusan mendidih keluar dari diriku, hanya ada desisan di hati dan hembusan angin dari hidung yang tak beraturan yang tidak ku ketahui sebabnya. Bukan karena hatiku keras, tapi karena pembawaannya yang sangat kekar walau dengan suara kaleng yang sangat sulit untuk ku gambarkan. “Dasar pria aneh.” gumamku dalam hati dan pikiranku mulai aneh karena mengikuti tingkahnya.

***

Lalu alasannya membeli helm yang kecil serasa tak masuk akal dalam benakku, yaitu hanya dengan alasan menyukai saja. Aku mulai merasa pusing sendiri dengan alasannya yang konyol dan tak masuk akal dalam logikaku. Aku selalu berusaha mengotak-atik kepalaku karena merasa bahwa yang dia lontarkan harus segera ku cerna lalu mungkin saja harus ku muntahkan.  Semakin ke tengah pembicaraan, Hubungan kami semakin aneh saja kurasa, ditambah lagi dengan penunjukan wataknya yang begitu gila.

***

Perjalanan kami serasa tak usai-usai dan rasanya aku ingin turun dari kendaraannya yang sangat aneh ini. Aku sudah tak tahan lagi dengan bualan dan argumennya yang gila dan kadang-kadang menyakitkan telinga karena harus berurusan dengan kotoran yang terkandung dalam kata-katanya. Dia memang pria aneh sehingga banyak sekali pertanyaan yang harus ku lontarkan karena keanehannya dalam segala bidang.

***

Kepalaku terus berdenyut karena ukuran helm yang agak kecil dan tak terlalu mencukupi  kepalaku dan aku mulai bertanya dalam dada “ Apakah helm ini helm yang membahayakan bukan malah menyelamatkan kepalaku.” Entahlah,,aku hanya mengira-ngira tanpa argumen yang kuat dan terpercya. Aku selalu mengintruksikan kepada pria jaket hijau itu agar melaju dengan kencang dan sesegera mungkin harus sampai ke tempat tujuan. Hal yang paling tak kusukai adalah ketika  dia masih saja membolot dari perkataanku dan merasa paling benar. Apakah dia sengaja agar aku naik pitam atau dia peduli keselamatan. Semoga niatnya untuk kebaikan bersama.

***

Awalnya aku masih bersabar dan menerima kenyataan. Lama kelamaan, kesabaranku tak dapat terbendung lagi karena tingkahnya yang aneh dan penuh misteri. Serasa dunia ini miliknya sendiri dan aku beserta partikel lain hanya mengontrak dan membayar padanya. Begitulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kehidupan kami sekarang. Bukan, ini bukan kehidupanku tapi kehidupannya, karena aku hanya mengontrak padanya.

***

Mataku sudah memerah karena menahan tangis akibat ulahnya dan jantungku berdetak begitu saja. Pastinya bukan karena aku merasa ada ikatan batin dengan pria berotak dangkal itu . Akan tetapi, karena acara yang harus ku ikuti yang mungkin saja menentukan masa depanku. Kegiatan itu merupakan agenda wajib dan tidak diizinkan masuk jika aku masuk terlambat.

***

Otakku serasa ikut dangkal karena mengikuti kemauannya yang gila. Dia selalu menceramahiku walaupun tak seperti penceramah terkenal di berbagai media. Dia terus-terusan memberitahukanku kalau kita harus taat peraturan dan berhati-hati ketika berkendara. Aku mulai membelot dari perkataannya dan ku kira diriku bukan lagi anak-anak yang harus diurusi dan diceramahi begitu saja. Aku punya prinsip yang kuat yang tak perlu lagi ditolelir.

***

Lama kelamaan, akhirnya dia luluh karena mendengar suara desakanku. Aku memang hebat dalam hal membujuk, apalagi membujuk pria yang tak berdaya dengan suara lirih sambil menitikkan air mata. Sudahlah kata hati, jangan kau bicara dengan lagak sombong, kau tak tahu apa yang kan terjadi jika pria itu berubah pikiran. Lalu mulailah dia menarik gas motornyanya dengan kencang dan akhirnya aku serasa berada di alam bawah sadar dan dibuatnya menikmati hidup yang ada. Angan-anganku mulai melambung serasa ke langit. Ini bukan berarti rasaku mulai berubah untuknya, akan tetapi karena kenikamatan semu yang diberikannya.

***

Dia melaju dengan kencang tanpa kendali dengan gaya angkuhnya. Aku mulai menyadari ternyata dia tidaklah egois dan juga tidak berfikiran dangkal sampai aku mulai salut padanya. Pria aneh dan keras kepala bisa juga luluh hatinya oleh karena perempuan  rewel sepertiku ini. Aku hanya tertawa dalam hati yang terdalam sambil mengernyitkan dahi ditambah tersenyum semu.

***

Ketika di perjalanan, akuu mulai sadar, ternyata dia telah hilang kendali dan aku serasa mabuk kepayang  tak karuan akibat kecepatan yang dia hempaskan. Aku merasa dia memang menghempaskan, mungkin karena amarahnya padaku ataukah karena kasihan padaku. Kepalaku serasa kambuh lagi dan tak dapat menahan rasa sakit yang mendera.

***

Beberapa menit kami lalui bersama telah membawa kami pada posisi terlemah. Tiba-tiba, motornya tak dapat dikendalikan dan tibalah pada suatu titik di mana aku serasa terjun dari motor aneh miliknya. Kepalaku bertekan dengan helm yang sedang ku pakai. Sementara pembalap jaket hijau itu ku lirik dari jarak lima hasta dengan wajah ketakutan sambil memandangku. Adegan dalam film India serasa menambah suasana siang kami dan serasa ingin ku putar lagu syahdu yang menggambarkan suasana yang ada. Spontan hatiku menyebutnya dengan nama pembalab jaket hijau. Nama itu sangat cocok dengan gayanya yang berlagak seperti pembalap handal dan akhirnya jatuh sebelum finish.

***

Untungnya aku tidak terlalu bucin dengan sopir gila dan konyol itu. Aku mulai menahan rasa sakit yang ada di kepalaku dengan memegang kepala. Tiba-tiba, rasa sakit itu serasa mencubit ubun-ubunku. Aku terus menahan dengan memegang kepala layaknya pasien kanker otak yang pernah ku tonton di beberapa serial drama.. Aku harap tak terjadi apa-apa pada diriku dan otakku yang ku pegang dengna penuh rasa. Ketika rasa sakit yang menjadi-jadi terus meluapi kepalaku, aku merasa tak dapat lagi menahannya dan rebah begitu saja.

***

Dalam kondisi setengah sadar, kelopak mataku terbuka dengan sangat hati-hati. Ketika diriku agak sedikit sadar, aku merasakan hawa yang berbeda. Tanpa ku duga sebelumnya, ternyata aku telah berada di sebuah  ranjang dengan kondidi lemah dari sebelumnya. Tak lama setelah itu, datanglah sosok paruh baya yang tak ku kenal memanggilku dengan nada lirih dan bersyukur atas kesadaranku. Namun, aku memang tak mengenali sosok perempuan tua tersebut. Dia terus saja memanggilku dengan panggilan sayang yang mungkin itu adalah panggilan bucin penuh makna. Aku memang benar tak mengenali sosok perempua yang diperkirakan berkepala lima itu. Lalu  dia mulai memproklamasikan dirinya agar menjadi orang yang ku kenal dengan menyatakan bahwa aku adalah sosok yang dia lahirkan.

***

Aku memang telah melupakan banyak hal yang penting yang selama ini telah bersemayam dalam raga ku harapkan selalu terjaga. Namun, hal itu kurasa sia-sia belaka. Hal ini dikarenakan peristiwa mengenaskan yang terakhir ku ingat. Kemudian, perempuan itu mengajakku berbicara sembari mencoba memberikan sinyal yang telah ada untuk ku ingat secara mendalam agar ingatanku kembali pulih seperti sedia kala.

***

Dibalik pembicaraan kami yang santai dan penuh penuh makna, ku dapati seseorang yang masih kuingat betul rupanya sedang mengintip di balik jendela sambil memandang kami berdua dengan rasa bersalah. Iya, aku memang mengenalinya, dia adalah sosok yang telah menjadikanku tak berdaya seperti ini. Dia juga yang ku rasa harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini, peristiwa yang telah memakan ingatanku yang dulunya sangat lincah menjadi tak berdaya.

Setelah ku lirik dirinya secara mendalam, dia mulai mencoba memasuki ruang rawat inap tempat ku terbaring lunglai. Dia mencoba menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Aku merasa itu seemua tidak ada gunanya. Akuu telah dilanda amnesia sebagian dan mungkin memerlukan upaya keras untuk kembali mengingat segalanya.

Namun, seketika kepalaku meradang kembali ketika orang yang menganggap dirinya sebagai  ibuku memegang tangan pria itu seraya berkata, “Kalian adalah saudara dan harus saling memaafkan.”

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *