Beragama dan Beriman dengan Paradigma Perdagangan

Beragama dan beriman seperti orang berdagang di pasar yang selalu mengalkulasi untung-rugi. Umat Islam cenderung berfikir bahwa dengan semakin banyak menghadiri pengajian, semakin sering menjenguk “Rumah Allah” di Mekkah,baik melalui haji maupun umrah, semakin rutin membaca Alqur’an, semakin rajin salat dan berpuasa dan seterusnya maka akan semakin banyak pahala, semakin dekat dengan Allah SWT, dan dengan demikian peluang mendapatkan atau masuk surga akan semakin terbuka lebar.

Watak dan praktek keagamaan umat beragama (termasuk kaum Muslim tentunya) selama ini terlalu berorientasi pada “keselamatan diri” kelak di akhirat ketimbang “keselamatan orang lain” sekarang ini, di dunia ini. Itulah sebabnya (sebagian) umat Islam lebih suka bolak-balik ke Mekkah untuk berhaji atau umrah ketimbang menggunakan uang lebih itu untuk program-program kemanusiaan, lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam di masjid untuk membaca wirid dan i’tikaf daripada “membaca” fenomena sosial-keumatan, lebih rajin mendatangi pengajian ketimbang menyambangi saudara-saudara sesama umat manusia yang kelaparan, lebih merasa berdosa jika tidak bersembahyang ketimbang tidak berderma untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan, dan seterusnya. Semua itu mereka lakukan demi satu hal: mendapatkan sebanyak mungkin pahala sebagai “tiket” untuk masuk surga!

Bukankah ini persis seperti cara berfikirnya kaum pedagang? Bukankah ini sebuah fenomena keagamaan yang “selfish”(atau bahkan “egois”) yang hanya mementingkan keselamatan diri sendiri? Apakah kaum Muslim—dan umat beragama lain—masih mau menyembah Tuhan jika surga yang indah itu hanyalah pepesan kosong? Masihkah umat beragama itu memohon ampun kepada Tuhan jika siksa kubur dan neraka yang mengerikan itu hanyalah dongeng belaka? Masihkah umat Islam bersujud dan memuji kebesaran-Nya, jika ternyata kehidupan paska kematian hanyalah cerita fiksi yang dituturkan para “tengkulak” agama?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijadikan sebagai bahan renungan sekaligus refleksi diri sesungguhnya apa yang umat beragama kejar dalam melakukan “aktivitas peribadatan” guna menilai sejauh mana dedikasi kita kepada Tuhan, untuk menguji sejauh mana tingkat keikhlasan kita dalam beriman kepada Tuhan. Suatu saat Ali Bin Abi Thalib, seperti tertulis dalam Kitab Biharul Anwar, pernah berkata dan saya kira tepat sekali: “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran (adalah) ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas.”

Dalam kesempatan lain, Imam Ali juga pernah berkata: “Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu karena takut terhadap siksa dan rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat Engkau pantas disembah.” Sufi besar Rabiah al-Adawiyah diceritakan pernah menenteng air dalam bejana di tangan kanannya dan obor api di tangan kirinya di tengah banyak manusia saat itu. Maka orang pun bertanya: “Ada apa wahai wali ullah dengan api dan air yang kau bawa itu?” Maka Rabiah menjawab:” Aku akan membakar surga dan memadamkan api neraka agar manusia tidak ada lagi yang menyembah Allah karena berharap surga dan menyembah Allah karena takut neraka-Nya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *