Beberapa waktu yang lalu, saat seleksi pendaftaran calon pimpinan komisi pemberantasan korupsi di buka, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh para Capim adalah membuat makalah bertemakan “Menggagas Akselerasi Peran KPK dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi”. Adanya gagasan tentang akselerasi peran KPK tentu menjadi hal penting, mengingat modus korupsi yang semakin hari semakin berkembang, sementara upaya pencegahan dan penindakan belum memiliki role model yang sempurna untuk menutup ruang-ruang terjadinya korupsi. Terlebih, setelah banyaknya upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK nyatanya belum bisa menghentikan laju korupsi yang terjadi, maka gagasan-gagasan tentang akselerasi peran KPK menjadi keniscayaan untuk membangun sistem pemberantasan korupsi yang memadai.
Berpijak pada kebutuhan akselerasi demikian, sesungguhnya sistem pemberantasan korupsi yang digunakan saat ini masih menggunakan pola-pola klasik dengan lebih mengupayakan tindakan represif dibanding preventif. Satu dari sekian tindakan tersebut adalah operasi tangkap tangan (OTT). Sebagai bagian dari upaya penindakan, tindakan OTT yang dilakukan oleh KPK masih menyisakan perdebatan hukum atas boleh atau tidaknya OTT dilakukan. Hal ini disebabkan karena selain Operasi Tangkap Tangan tidak dikenal dalam khazanah ilmu hukum pidana—yang dikenal adalah Tertangkap Tangan—tindakan OTT sebagaimana dikatakan Romli Atmasasmita juga telah melanggar prinsip due process of law (Baca: OTT KPK). Due process of law adalah segala tindakan pemerintahan yang harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Hanya saja, apabila mengacu pada tindakan OTT yang telah dilakukan KPK, maka hampir bisa dipastikan tindakan ini dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Data dari laporan tahunan KPK mengatakan bahwa tindak pidana korupsi dari tahun 2005 sampai 2017 melalui tindakan OTT jika diakumulasikan secara keseluruhan telah mencapai 77 kasus dan menghasilkan 241 tersangka. Sementara pada tahun 2018, Agus Rahardjo juga mengatakan bahwa telah terjadi 30 kasus tindak pidana korupsi melalui tindakan OTT dan menghasilkan 121 tersangka. Selenjutnya pada tahun 2019 juga telah terjadi 21 tindakan OTT dengan jumlah tersangka 76 orang.
Adanya cerminan pada peningkatan tindakan OTT dari tahun ke tahun, setidaknya telah membuktikan bahwa hukum telah mengalami kegagalan karena tidak bisa bekerja secara efektif dan efisien untuk mempersempit ruang-ruang terjadinya korupsi. Oleh sebab itulah, akselerasi peran KPK dalam pemberantasantan korupsi seharusnya lebih diorientasikan pada upaya pencegahan dibanding dengan pemidanaan. Kenyataan ini selaras dengan pandangan Herbert L. Peker yang mengatakan bahwa upaya pencegahan terhadap tindak pidana lebih memiliki dampak yang luas dibandingkan dengan pemidanaan.
Lebih jauh, Thomas Moore (1478-1535) juga pernah menceritakan bahwa, ada sekitar 72.000 pencuri yang digantung, yang penduduknya hanya berjumlah tiga sampai empat juta orang selama 25 tahun. Menurut Moore, pemberantasan kejahatan dengan metode kekerasan berupa pemidanaan tidak akan mampu untuk membendung kejahatan, tetapi justru akan membuat kejahatan tersebut merajalela.
Dampak Pemidanaan
Dalam buku “Some Considerations on the Possibility of a Rational Criminal Policy” karya Karl O Christiansen, Fauconent dan Roger Hood pernah menegaskan bahwa tujuan pemidanaan adalah a ceremonial reaffirmation of the societal values (untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat secara seremonial). Penegasan nilai-nilai masyarakat seperti ini sesungguhnya merupakan jalan untuk mengingatkan kembali (recolection of meaning), bahwa sesungguhnya perilaku yang dilaksanakan oleh segelintir masyarakat merupakan bagian yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang berkembang di ranah masyarakat. Termasuk dalam pemidanaan tindak pidana korupsi, maka seharusnya upaya pemidanaan merupakan obat terakhir untuk mengembalikan nilai-nilai masyarakat yang perlahan mulai menghilang.
Hanya saja, apabila melihat upaya pemberantasan korupsi melalui tindakan pemidanaan yang setiap hari semakin bertambah, maka hal ini membuktikan bahwa telah terjadi disorientasi pada hakikat penegakan hukum yang sesungguhnya. Satjipto Rahardjo dalam konteks ini berpandangan bahwa penegakan hukum adalah proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum. Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, upaya penegakan hukum yang cenderung dilaksanakan secara represif justru akan mengakibatkan negara disibukkan pada ranah hukum dan penghukuman. Lebih jauh, tentu upaya hukum dan penghukuman juga akan terus berlanjut dan justru akan menimbulkan akses negatif terhadap kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Tindakan penegakan hukum dengan menggunakan sistem pemidanaan pada akhirnya juga akan mengakibatkan negara semakin merugi, karena harus mengeluarkan biaya besar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan, dan pemenjaraan. Lebih jauh, Romli Atmasasmita dalam bukunya berjudul “Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zorder Schuld)” juga menyebutkan bahwa pada tahun 2009 sampai tahun 2014 nilai kerugian keuangan negara yang diselamatkan oleh KPK secara keseluruhan berjumlah Rp. 728.445.149.242, 00, sedangkan pagu anggaran KPK dari tahun 2009 sampai 2014 secara keseluruhan berjumlah Rp. 3.019.822.079.000,00. Selain itu, biaya yang mesti harus dilakukan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan, dan pemenjaraan memerlukan biaya sekitar 250 sampai 500 juta. Sangat fantastis bukan?
Berpijak pada beberapa dampak buruk demikian, maka akselerasi peran KPK dalam upaya pemberantasan korupsi harus lebih diorientasikan pada tindakan pencegahan dibanding penindakan. Adapun dalam praktik penegakan hukum secara represif, maka tindakan pemidanaan seharusnya merupakan obat terakhir (ultimum reidium) untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat yang telah menghilang. Alhasil, wujud akselerasi peran KPK dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi adalah KPK harus menjadi lembaga studi yang mempelajari seluruh sistem-sistem yang dimiliki oleh penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil baik di wilayah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan mempelajari seluruh sistem-sistem dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki KPK, maka lembaga anti rasuah ini akan mengetahui secara jauh tentang titik-titik buta dan modus-modus baru yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya korupsi. dengan mengetahui modtif-motif tersebut, barulah pembangunan sistem dilakukan dengan menutup ruang-ruang terjadinya korupsi (Bambang Tri Bawono: 2019). Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Akselerasi Pemberantasan Korupsi
Baca Juga
Rekomendasi untuk kamu
*Oleh : Bha’iq Roza Rakhmatullah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal Kementerian Agraria dan Tata…
*Oleh : Jessica Yuliana, Mahasiswi Fakultas Hukum UPS Tegal Pasar modal sebagai salah satu instrumen…
Baik ritual keagamaan (tabligh akbar, ziarah, istighatsah, dlsj) maupun pemikiran keislaman kritis (riset, kajian ilmiah,…