Cerpen  

A REALM ABOVE THE TREES: OMARIL`S LAMENT

“… Jalan itu kini memanggil. Dan aku harus pergi. Di atas bukit dan di bawah pohon. Lewati daratan di mana tak pernah ada cahaya bersinar. Lintasi sungai keperakan yang mengalir ke laut. Di bawah awan, di bawah gemintang. Di atas salju pada satu pagi musim dingin. Akhirnya aku berbelok ke jalur yang menuntunku pulang. Dan meski begitu ke mana jalan ini `kan membawaku. Aku tak tahu. Kita telah datang sejauh ini. Tapi kini telah tiba harinya. Untuk ucapkan perpisahan ….”

(The Last Goodbye – Billy Boyd)

“Sungguh?”
“Ya, tentu saja.”
“Terima kasih.”
“Mn.”
“Tapi, risikonya …”
“Well, aku cukup yakin punya jalan keluar untuk itu. Bisa kupikirkan nanti.”
**
Tidak! Aku tidak seyakin itu.
Nyatanya, tak ada jalan keluar sama sekali. Tapi, kalau saja kemungkinan terburuk itu terjadi, aku sudah harus bersiap. Risikonya memang besar. Nyawaku yang jadi taruhan. Oh, well, mungkin lebih tepatnya kepalaku.
Di saat seperti ini, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menyunggingkan senyum pahit. Hah, Verill, andai aku bisa jujur padamu.
Hanya tinggal menghitung waktu dan kurang dari dua puluh empat jam kediamanku pasti sudah digerebek pasukan prajurit keamanan. Aku tidak takut. Aku sudah siap mati. Namun, setidaknya, Yang Mulia Raja berkenan memberiku kesempatan untuk sedikit menyampaikan salam perpisahan pada adik Verill. Menyuruhnya bersabar dan menanti kakaknya kembali.
Yah, aku tahu kalau aku melakukan hal bodoh dengan menipu Verill. Tapi, adiknya adalah satu-satunya alasan dia bertahan hingga sekarang. Aku tahu, sangat tahu, dia akan lebih memilih untuk menyelamatkan adiknya daripada khawatir akan hidupnya sendiri. Lagipula, kami akan sama-sama mati di tangan algojo. Atau, kuharap, Raja Elf bermurah hati memberiku kebebasan untuk mati dengan caraku sendiri. Menenggak racun, misalnya.
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Huh, daripada meratapi kemalangan hidup, bukankah lebih baik mengunjungi adik Verill lebih awal? Kasihan, hidupnya di ujung tanduk dan nantinya setelah selamat dari kematian pun dia harus hidup sebatang kara. Biar sajalah aku ditangkap di sana. Toh, sama saja. Tidak ada bedanya.
Bisa-bisanya aku menghadapi maut dengan santai seperti ini. Apa karena aku lelah dengan ratusan tahun hidup yang sudah kujalani? Apa sebenarnya yang kuinginkan?
Begitu memasuki pondok Verill, aku bisa melihat gadis kecil berwajah pucat di ranjang. Hidupnya tergantung pada kakaknya sekarang. Aku mengenggam tangan dingin itu. Anak malang. Orang tuanya sudah mati. Kini, kakaknya yang menjadi satu-satunya keluarganya pun juga akan ikut mati.
“Baik-baiklah. Teruslah hidup dengan bahagia. Setelah ini, aku dan kakakmu sudah tidak bisa menemanimu bermain-main lagi.” Tawa getir keluar dari tenggorokanku. “Kami tidak akan bisa lagi memetikkanmu buah hutan atau bermain di padang hutan barat. Kau mungkin akan kehilangan sosok kakakmu dan tidak bisa lagi bermanja-manja padaku.”
Telinga periku yang awas tiba-tiba saja mendengar derap langkah berat dari luar pintu. Ah, tepat waktu kurasa. Kebisingan lirih yang menegangkan. Cepat-cepat aku melesakkan sesuatu ke dalam genggaman adik Verill. “Ini adalah hadiah perpisahan terakhir dariku dan kakakmu.” Aku tahu itu konyol berbicara pada orang yang sekarat. Tapi, kuharap alam bawah sadarnya mau diajak sedikit bekerja sama. “Ketika kami sudah tiada nanti, aku dan kakakmu, lihatlah bintang di langit malam. Kami akan ada di sana. Aku, kakakmu, ayah, dan ibumu.”
Di kesempatan terakhir, aku mengecup kening gadis malang ini. “Hiduplah dengan baik.”
Dan pintu menjeblak terbuka.
Aku tidak akan terlalu terkejut jika Yang Mulia berkenan hadir di pondok kecil ini demi seorang buronan sepertiku. Meski tidak akan berpengaruh banyak, aku tetap merasa berkewajiban memberi salam pada Sang Raja Elf.
“Yang Mulia.”
“Perintahnya sudah sangat jelas.” Kata-katanya seolah menusukku. Dalam hati, aku hanya bisa mengulang-ulang permintaan maafku.
Dua orang prajurit maju dan seketika itu juga memegang pundakku lalu menendang lututku dari belakang. Aku yang tidak siap pun jatuh berlutut dengan bunyi gedebuk keras. Ai, itu menyakitkan!
Langkah mantap mendekatiku perlahan. Kepalaku masih menunduk, jadi yang bisa kulihat hanyalah sepatu boots berukir lapisan emas dan perak. Suara dari atas kepalaku berkata ketika kedua tanganku dibelenggu di belakang badan.
“Alasan kau melanggar perintahku … kenapa?”
Aku tak hendak menjawab. Percuma. Apakah itu akan mengubah keputusan sang raja?
“Larangan melewati batas kerajaan dan pergi ke tempat manusia. Kalian bersekongkol untuk melanggar perintahku. Kenapa?!” Suara berwibawa itu kian mendesak. “Omaril!”
Aku hanya sanggup memejamkan mata, pasrah.
Helaan napas. “Kau tidak akan menjawabnya, kan?”
Mendengar itu, akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat kepala. Sebuah tekad kuat pasti telah tergambar di wajahku karena Yang Mulia langsung bertitah dengan tatapan kecewanya dan berpaling, “Jebloskan dia ke penjara di gua bawah tanah! Itu tempat yang pantas untuk kriminal sepertinya!”
Yang Mulia berlalu tanpa kata lagi. Beliau pasti sangat kecewa. Menyedihkan. Tak ada yang bisa diharapkan. Ah!
**
Verill, tolong, cepatlah kembali. Adikmu membutuhkanmu. Aku tidak bisa bertahan. Yang Mulia setuju memberiku kebebasan untuk memilih caraku mengakhiri hidup. Jadi, aku memilih mati dengan menenggelamkan diri di sungai beku. Tempat salju abadi di pegunungan utara. Aku mohon maafkan aku karena berbohong padamu. Aku tak punya cara lain. Aku yakin kau akan memilih nyawa adikmu daripada nyawamu sendiri. Dan itu pula yang kulakukan. Setidaknya aku bisa berterima kasih karena kau bersedia menjadi temanku di ratusan tahun hidupku ini. Aku sudah terlalu tua untuk hidup lebih lama di dunia, meski itu begitu singkat bagi kaum peri.
Aku melihat gelembung udara satu-satu keluar dari mulut dan hidungku. Pandangan mataku mengabur dan dadaku terbakar. Apalagi air sungai di utara ini nyaris beku, membuat tubuhku mati rasa. Aku tak bisa berbuat apa pun dengan keadaan seluruh badan terikat kencang oleh tali peri yang konon katanya begitu kuat dan tak mudah dilepas.
Mataku melihat bayangan samar Sang Raja yang berdiri tegap di tepi sungai, melihatku mati kehabisan napas dan kedingingan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *