Ulama atau Umara, Mana yang Salah?

Negera Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang dipimpin oleh seorang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Selama lima tahun mereka diberi kesempatan untuk memegang kendali sebagai nahkoda kapal untuk mengarungi samudra yang begitu luas di negera Indonesia. Pada tahun ini merupakan masa resavle penyelenggaraan pemilu yang dilakukan setiap lima tahun sekali oleh komisi pemilihan umum. Pemilu kali ini merupkan pemilu bersejarah yang akan dilakukan oleh bangsa Indonesia. Pemilu kali ini memilih lima pemimpin sekaligus, dari presiden hingga DPRD kabupaten atau kota.

Tidak bisa dipungkiri lagi setiap penyelenggaraan pemilu selalu terjadi problem yang hampir memecah kesatuan umat dan bangsa. Hal itu disebabkan karena banyak orang tidak bisa menerima perbedaan dan terlalu fanatik terhadap pilihannya. Bukan hanya itu, mereka dirasa juga belum menghayati azas pemilu yaitu bebas. Masayarakat bebas menentukan pilihannya sesuai kehendak mereka tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Dalam kontestasi politik kali ini, ada dua kubu yang menjadi sorotan masyarakat. Dua kubu tersebut ialah ulama dan umara. Hal ini dikarenakan salah satu calon berasal dari golongan ulama’ yang juga memiliki jabatan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’. Sebenarnya bukan hanya kali ini ulama duduk dalam kursi pemerintahan sebagai presiden maupun wakil presiden. Periode sebelumnya juga sudah menjadi catatan sejarah tepatnya saat presiden ke 4 Indonesia.

Sebenarnya tidak ada masalah ketika seorang ulama terjun dalam kursi pemerintahan. Akan tetapi, stigma dari masayarakat menganggap hal tersebut menjadi sebuah keburukan yang akan terus menjadi bahan olok-olokan maupun gosipan oleh sebagian masyarakat. Karena mereka sudah terlalu fanatik bahwa ulama itu sebagai pengontrol pemerintah. Jika ulama masuk dalam kursi pemerintahan, lantas siapa yang akan menjadi kontrol saat kebijakan-kebijakan pemerintah dijalankan?

Pertanyaan tersebut seringkali terlontar oleh sebagian masyarakat yang notabene mempunyai pola pikir atau konsep bahwa ulama tidak boleh menjadi pemimpin atau ulama yang menjadi pemimpin adalah ulama yang buruk. Sebenarnya alasan tersebut kurang tepat. Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin Imam Al-Ghazali membagi ulama menjadi dua yaitu ulama dunia dan ulama akhirat.

Menurut penjelasannya ulama dunia merupakan ulama yang menggunakan ilmunya untuk memperoleh kedudukan maupun meningkatkan popularitas dirinya serta mengharapkan imbalan dari setiap yang ia lakukan dari umara. Sedangkan ulama akhirat ialah ulama yang menggunakan ilmunya semata-mata untuk mengharap ridho Allah SWT dan terus menyebarkan amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam penjelasan tersebut kita bisa melihat bahwa tidak selamanya ulama yang masuk pemerintahan dianggap buruk, perlu kita pahami katagori atau sifat mana yang muncul ketika ia menjadi pemerintah. Idealnya jika pemerintah berasal dari kalangan ulama maka sangat sedikit sekali kebijakan-kebijakan yang nantinya akan merugikan masyarakat.

Dalam hal ini, ulama juga dituntut untuk tidak menggantungkan hidupnya kepada seorang pemimpin. Apabila hal tersebut terjadi maka ulama hanya akan menjadi pelayan pemerintah sehingga Ia dianggap rendah oleh pemerintah. Oleh karena itu ulama harus independen agar Ia tidak diperbudak oleh pemerintah. Selain itu, Ia juga harus menyebar amar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun termasuk kepada pemerintah.

Dalam hal ini pemerintah juga harus sadar, bahwa ulama bukanlah alat politik yang ketika butuh di cari dan ketika tidak butuh dibuang. Seharusnya umara (pemerintah) harus sering-sering datang ke ulama untuk meminta petuah dan nasihat ketika ingin menetapkan dan melaksanakan sebuah kebijakan. Sinergitas antara ulama dan umara sangat diperlukan guna mewujudkan negara yang Baldatun Tayyibatun Warabbun Ghofur.

Oleh : Afifah ‘Ainun Nimah, Wakil Direkttur Bidang Literasi Center for Democraci and Religious Studies

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *